+62 (0717) 422145 Senin-Jumat: 07.30 - 16.00 WIB
Link Penting UBB

Artikel UBB

Universitas Bangka Belitung's Article
15 Juli 2010 | 17:40:45 WIB


Pelaku Pemerkosaan Pantas Dihukum Berat


Ditulis Oleh : Admin

Pemerkosaan bukan hanya sebagai penyakit masyarakat tetapi juga merusak masa depan serta pemaksaan kehendak terhadap korban dan mengoyak hak asasi manusia. Perkosaan tidak hanya merupakan masalah antar individu, melainkan sebagai problem sosial yang terkait dengan masalah hak-hak asasi, khususnya yang berkaitan dengan perlindungan dari segala bentuk penyiksaan, kekerasan, dan pengabaian martabat manusia terhadap wanita. Jadi terhadap pelaku kasus perkosaan harus dihukum seberat-beratnya tanpa terkecuali. Lemahnya hukum terhadap para pelaku pemerkosaan menyebabkan jumlah kasus kejahatan ini terus meningkat serta hukuman yang dijatuhkan terhadap para pelaku tidak membuat jera.

Pengertian Perkosaan


Perkosaan(rape) berasal dari bahasa latin rapere yang berarti mencuri, memaksa, merampas.Perkosaan adalah suatu usaha untuk melampiaskan nafsu seksual yang dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap perempuan dengan cara yang dinilai melanggar menurut moral dan hukum. Perkosaan juga dapat terjadi dalam sebuah pernikahan. Di dalam Pasal 285 KUHP disebutkan bahwa : "barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia diluar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. Pada pasal ini perkosaan didefinisikan bila dilakukan hanya di luar perkawinan". Selain itu kata-kata bersetubuh memiliki arti bahwa secara hukum perkosaan terjadi pada saat sudah terjadi penetrasi. Pada saat belum terjadi penetrasi maka peristiwa tersebut tidak dapat dikatakan perkosaan akan tetapi masuk dalam kategori pencabulan.

Dampak perkosaan dan penyembuhannya


Korban perkosaan dapat mengalami akibat yang sangat serius secara fisik maupun secara kejiwaan (psikologis). Akibat fisik yang dapat dialami oleh korban antara lain kerusakan organ tubuh seperti robeknya selaput dara, pingsan, meninggal, korban sangat mungkin terkena penyakit menular seksual, kehamilan tidak dikehendaki. Sementara itu, korban berpotensi untuk mengalami trauma yang cukup parah membuat shock bagi korban. Goncangan kejiwaan dapat dialami pada saat perkosaan maupun sesudahnya. Goncangan kejiwaan dapat disertai dengan reaksi-reaksi fisik. Secara umum peristiwa tersebut dapat menimbulkan dampak psikologis jangka pendek maupun jangka panjang. Proses penyembuhan korban dari trauma perkosaan ini membutuhkan dukungan dari berbagai pihak. Dukungan ini diperlukan untuk membangkitkan semangat korban dan membuat korban mampu menerima
kejadian yang telah menimpanya sebagai bagian dari pengalaman hidup yang harus ia jalani. Korban perkosaan memerlukan kawan bicara, baik teman, orangtua, saudara, pekerja sosial, atau siapa saja yang dapat mendengarkan keluhan korban. Diharapkan dengan adanya dukungan ini maka korban akan mampu menjalani kehidupannya seperti sedia biasanya.

Kelemahan Hukum


Perkosaan harus ditanggulangi, salah satu sarananya dengan hukum pidana. Tumpuan pada hukum akan menghadapi problematika ketidak-mampuan hukum dalam bekerjanya untuk menangani tindak pidana perkosaan. Rumusan tindak pidana perkosaan dalam Pasal 285 KUHP dinilai diskriminatif, dan ikut berperan serta dalam membakukannilai yang berlaku di masyarakat berkenaan dengan harkat dan martabat wanita. Di mata hukum pidana Indonesia khususnya kasus perkosaan keberadaan wanita diperkecil maknanya menjadi vagina saja, diatur hanya bila vaginanya terganggu.

Perumusan pasal perkosaan menunjukkan standar nilai/moral yang dipakai masyarakat dalam memperlakukan perempuan khususnya isteri. Seorang isteri dalam hubungan seksual tidak mempunyai hak apapun terhadap suaminya. Sehubungan dengan itu, bukan saja Pasal 285 KUHP perlu diganti, akan tetapi juga nilai-nilai sosial budaya dan mitos-mitos yang mengisyaratkan adanya dominasi pria terhadap wanita atau sesamanya perlu diganti. Berdasarkan Pasal 285 KUHP tidak termasuk perkosaan dalam rumah tangga atau suami memperkosa isterinya yang disebut marital rape. Ketentuan ini tidak melarang perkosaan terhadap isteri oleh suaminya. Kelemahan hukum pidana ditentukan pula karena usia KUHP yang sudah tua sebagai induk hukum pidana, Permasalahannya, menyangkut nilai yang ada dibalik norma-norma hukum (KUHP), yang sudah barang tentu dilatar-belakangi budaya barat yang lebih kental nilai-nilai individualistisnya. Sementara itu, nilai-nilai masyarakat kita lebih bersifat komunal, dan perkembangannya menuju nilai-nilai universal, khususnya nilai keadilan yang semestinya diwujudkan melalui hukum, termasuk keadilan jender. Penegakan hukum tidak lain berarti menegakkan norma-norma hukum sekaligus nilai-nilai di belakang norma tersebut.

Jadi, selama ini yang ditegakkan adalah nilai-nilai individualistis, yang mengabaikan prinsip keadilan. Hukum pidana hanya mempersoalkan 3 hal yaitu perbuatan yang dilarang, pertanggung-jawaban (orangnya/pelaku), dan sanksi pidana, sehingga korban tidak menjadi perhatian. Sehubungan dengan kasus perkosaan, kedudukan korban dalam proses peradilan pidana hanyalah sebagai saksi korban. Korban justru dirugikan dan seolah-olah tidak dimanusiakan hanya penting untuk memberikan keterangan tentang apa yang dilakukan pelaku, dan dijadikan barang bukti untuk mendapatkan visum et repertum. Perlindungan korban lebih banyak bersifat perlindungan abstrak atau perlindungan tidak langsung. Artinya, dengan adanya berbagai perumusan tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan selama ini berarti pada hakikatnya telah ada perlindungan in abstrakto secara tidak langsung terhadap berbagai kepentingan hukum dan hak-hak asasi korban. Hal ini tentu tidak memuaskan karena tidak dapat menjadikan pedoman perlindungan korban. Hukum positif menunjukkan pengaturan mengenai korban yang tidak memadai, seperti ketentuan dalam Pasal 14c KUHP, KUHAP (Pasal 98-101 BAB XIII). Padahal, kerugian yang diderita korban sangat berat. Perempuan korban perkosaan menanggung beban mental yang lebih berat dibandingkan hukuman bagi pemerkosanya. Korban akan mengalami cacat seumur hidup dan menerima tekanan dari masyarakatnya. Dampak lain menyangkut gangguan emosi sebagai beban psikologis dan berpengaruh secara psikis (misalnya schizoprenia) dan fisik (physiological disorder), ketakutan, tak adanya rasa aman, ketidakbahagiaan, merasa terbuang, cacat tubuh, serta kematian. Di samping itu, cemoohan dari masyarakat, perasaan tertekan merasa dirinya telah kotor dan berdosa. Ditambah lagi tekanan-tekanan yang timbul dari proses peradilan baik sebelun sidang, selama sidang, maupun setelah sidang semakin menderitakan korban.

Faktor penyebab dan Upaya Mengatasi Perkosaan


Vonis yang ringan terhadap kasus perkosaan tidak memenuhi rasa keadilan korban dan keluarganya. Pemerintah terkesan mengabaikan hak anak karena hingga kini belum mengalokasikan anggaran untuk perlindungan anak dan akan membuat masyarakat tidak percaya terhadap hukum. Adapun faktor-faktor yang menyebabkan seseorang melakukan tindak kejahatan pemerkosaan, antara lain adalah faktor ekonomi, agama, mass media, tingkat pendidikan dan faktor lingkungan sosial, baik dalam masyarakat maupun dalam keluarga. Sedangkan upaya yang dapat dilakukan oleh warga masyarakat maupun aparat penegak hukum untuk mengatasi tindak kejahatan pemerkosaan antara lain melalui penanaman nilai-nilai sosial dan nilai-nilai keagamaan, dan penerapan sanksi hukum yang berat serta peningkatan rutinitas dan intensitas razia terhadap media cetak dan elektronik yang memuat unsur-unsur pornografi dan tidak mudah percaya terhadap pihak-pihak yang belum dikenal apalagi menawarkan pekerjaan yang belum jelas dengan gaji yang besar. serta agar kiranya warga masyarakat dan aparat penegak hukum secara bersama-sama dapat saling bekerjasama secara sinergis dengan memanfaatkan berbagai lembaga yang ada di masyarakat baik yang bersifat formal maupun non formal, sehingga dapat mencegah terjadinya tindak kejahatan khususnya tindak kejahatan pemerkosaan. Ada banyak faktor yang menjadi penghambat dalam menanggulangi tindak kekerasan seksual terhadap perempuan tersebut, baik itu faktor internal maupun faktor eksternal antara lain karena korban merasa malu untuk melaporkan kejadian yang dialaminya, penegak hukum dan materi hukum yang dirasakan kurang berpihak dan tidak memberikan rasa keadilan bagi perempuan korban kekerasan, disamping itu ditunjang pula oleh budaya hukum masyarakat yang sering menyalahkan korban sebagai penyebab terjadinya kekerasan tersebut dan tidak memadainya sarana dan prasarana yang ada dan pengaturan kembali mengenai tindak kekerasan terhadap perempuan dalam ketentuan perundang-undangan dan memberdayakan lembaga pendampingan korban kekerasan.




Written By : Rio Armanda Agustian, S.H., M.H.
Dosen, Kriminolog, Peneliti Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial
Universitas Bangka Belitung




UBB Perspectives

Juga Untuk Periode Berikut

Untuk Periode Berikut

Stereotipe Pendidikan Feminis

Urgensi Perlindungan Hukum Dan Peran Pemerintah Dalam Menangani Pekerja Anak Di Sektor Pertambangan Timah

Isolasi dan Karakterisasi Bakteri Asam Laktat Asal Ikan Mujair (Oreochromis mossambicus) yang Berpotensi Sebagai Probiotik

Pemanfaatan Biomikri dalam Perlindungan Lingkungan: Mengambil Inspirasi dari Alam Untuk Solusi Berkelanjutan

FAKTOR POLA ASUH DALAM TUMBUH KEMBANG ANAK

MEMANFAATKAN POTENSI NUKLIR THORIUM DI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG : PELUANG DAN DAMPAK LINGKUNGAN

Pengaruh Sifat Fisika, Kimia Tambang Timah Terhadap Tingkat Kesuburan Tanah di Bangka Belitung

Akuntan dan Jurnalis: Berkolaborasi Dalam Optimalisasi Transparan dan Pertanggungjawaban

Sustainable Tourism Wisata Danau Pading Untuk Generasi Z dan Alpa

Perlunya Revitalisasi Budaya Lokal Nganggung di Bangka Belitung

Semangat PANDAWARA Group: Dari Sungai Kotor hingga Eksis di Media Sosial

Pengaruh Pembangunan Produksi Nuklir pada Wilayah Beriklim Panas

Pendidikan dan Literasi: Mulailah Merubah Dunia Dari Tindakan Sederhana

Mengapa APK Perguruan Tinggi di Babel Rendah ?

Dekonstruksi Cara Pikir Oposisi Biner: Mengapa Perlu?

PENINGKATAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK DENGAN ASAS GOOD GOVERNANCE

UMP Bangka Belitung Naik, Payung Hukum Kesejahteraan Pekerja atau Fatamorgana Belaka?

Membangun Kepercayaan dan Kesadaran Masyarakat Dalam Membayar Pajak Melalui Peningkatan Kualitas Pelayanan Serta Transparansi Alokasi Pajak

Peran Generasi Z di Pemilu 2024

Pemilu Serentak 2024 : Ajang Selebrasi Demokrasi Calon Insan Berdasi

Menelusuri Krisis Literasi Paradigma dan Problematik di Bumi Bangka Belitung

Peran Pemerintah Terhadap Pemenuhan Kebutuhan Protein Hewani Melalui Pemanfaatan Probiotik dalam Sistem Integrasi Sapi dan Kelapa Sawit (Siska)

TIMAH “BERPERI”

Jasa Sewa Pacar: Betulkah Menjadi sebuah Solusi?

Peran Sosial dan Politis Dukun Kampong

Mahasiswa dan Masalah Kesehatan Mental

Analogue Switch-off era baru Industri pertelevisian Indonesia

Di Era Society 50 Mahasiswa Perlu Kompetensi SUYAK

HUT ke-77 Kemerdekaan Republik Indonesia, sudah merdekakah kita?

Pemblokiran PSE, Pembatasan Kebebasan Berinternet?

Jalan Ketiga bagi Sarjana

Pentingnya Pemahaman Moderasi Beragama Pada Mahasiswa di Perguruan Tinggi Umum

SOCIAL MAPPING SEBAGAI SOLUSI TATA KELOLA SUMBER DAYA ALAM

Bisnis Digital dan Transformasi Ekonomi

Merebut Hati Gen Z

Masyarakat Tontonan dan Risiko Jenis Baru

Penelitian MBKM Mahasiswa Biologi

PEREMPUAN DI SEKTOR PERTAMBANGAN TIMAH (Refleksi atas Peringatan Hari Kartini 21 April 2022)

Kiat-kiat Menjadi “Warga Negara Digital” yang Baik di Bulan Ramadhan

PERANG RUSIA VS UKRAINA, NETIZEN INDONESIA HARUS BIJAKSANA

Kunci Utama Memutus Mata Rantai Korupsi

Xerosere* Bangka dan UBB

Pengelolaan Sumber Daya Air yang Berkelanjutan

SI VIS PACEM PARABELLUM, INDONESIA SUDAH SIAP ATAU BELUM?

RELASI MAHA ESA DAN MAHASISWA (Refleksi terhadap Pengantar Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum)

KONKRETISASI BELA NEGARA SEBAGAI LANGKAH PREVENTIF MENGHADAPI PERANG DUNIA

Memaknai Sikap OPOSISI ORMAWA terhadap Birokrasi Kampus

Timah, Kebimbangan yang Tak akan Usai

Paradigma yang Salah tentang IPK dan Keaktifan Berorganisasi

Hybrid Learning dan Skenario Terbaik

NEGARA HARUS HADIR DALAM PERLINDUNGAN EKOLOGI LINGKUNGAN

Mental, Moral dan Intelektual: Menakar Muatan Visi UBB dalam Perspektif Filsafat Pierre Bourdieu

PEMBELAJARAN TATAP MUKA DAN KESIAPAN

Edukasi Kepemimpinan Milenial versus Disintegrasi

Membangun Kepemimpinan Pendidikan di Bangka Belitung Berbasis 9 Elemen Kewarganegaraan Digital

Menuju Kampus Cerdas, Ini yang Perlu Disiapkan UBB

TI RAJUK SIJUK, DIANTARA KESEMPATAN YANG TERSEDIA

TATAP MUKA

Mengimajinasikan Dunia Setelah Pandemi Usai

MENJAGA(L) LINGKUNGAN HIDUP

STOP KORUPSI !

ILLEGAL MINING TIMAH (DARI HULU SAMPAI HILIR)

KARAKTER SEPERADIK

SELAMAT BEKERJA !!!

ILLEGAL MINING

Pers dan Pesta Demokrasi

PERTAMBANGAN BERWAWASAN LINGKUNGAN

GENERASI (ANTI) KORUPSI

KUDETA HUKUM

Inflasi Menerkam Masyarakat Miskin Semakin Terjepit

NETRALITAS DAN INTEGRITAS PENYELENGGARA PEMILU

Siapa Penjarah dan Perampok Timah ???

Memproduksi Kejahatan

Potret Ekonomi Babel

Dorong Kriminogen

Prinsip Pengelolaan SDA

Prostitusi Online

Menjaga Idealisme dan Kemandirian Pers

JUAL BELI BERITA

POLITIK RAKYAT DAN TANGGUNG JAWAB PEMIMPIN

Penelitian Rumpon Cumi Berhasil di Perairan Tuing, Pulau Bangka

Budidaya Ikan Hias Laut

Gratifikasi, Hati-Hatilah Menerima Sesuatu

KEPUASAN HUKUM

JANGAN SETOR KE APARAT

JAKSA TIPIKOR SEMANGAT TINGGI

Perairan Tuing, Benteng Sumberdaya Perikanan Laut di Kabupaten Bangka

GRAND DESIGN KEPENDUDUKAN (Refleksi Hari Penduduk Dunia)

Berebut Kursi Walikota