+62 (0717) 422145 Senin-Jumat: 07.30 - 16.00 WIB
Link Penting UBB

Artikel UBB

Universitas Bangka Belitung's Article
08 Mei 2009 | 18:54:09 WIB


TRADISI ADAT dan BUDAYA SEDEKAH KAMPUNG di PERADONG BANGKA BARAT - INDONESIA


Ditulis Oleh : Admin

Sebagaimana halnya tradisi Nganggung dan Perang Ketupat yang sudah dikenal di Bangka Belitung, tradisi Sedekah Kampung adalah salah satu tradisi turun temurun lainnya yang bisa dijumpai di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Sedekah Kampung merupakan tradisi masyarakat Bangka Belitung yang banyak dilakukan di Kabupaten Bangka Barat, khususnya di Kecamatan Kelapa dan Simpang Teritip, salah satunya di Desa Peradong.

Peradong merupakan desa yang sedikit terpencil, bagian dari Kecamatan Simpang Teritip dan tergolong daerah pedalaman yang telah melakukan ritual Sedekah Kampung selama puluhan tahun, yang diwariskan oleh nenek moyang. Akan tetapi selama itu pula tradisi tersebut belum dikenal masyarakat luas, khususnya di Kepulauan Bangka Belitung.

Sedekah Kampung seperti halnya tradisi-tradisi lainnya merupakan bagian dari rumpun Pesta Adat yang banyak dikenal dan dilakukan di wilayah pedesaan. Dalam pelaksanaannya tidak terlepas dari unsur-unsur atau nilai keagamaan yang mendominasi dalam ritual pelaksanaan Sedekah Kampung.


A. Persiapan Sebelum Upacara

Perayaan Sedekah Kampung telah dilaksanakan secara turun temurun dan tidak diketahui asal usul serta awal mulai dilaksanakannya. Perayaan ini biasa dilaksanakan penduduk Desa Peradong setiap tahun bertepatan dengan bulan Maulud (Rabiul Awwal) dan acaranya berlangsung selama 2 hari yang biasanya pada hari Sabtu dan Minggu. Biasanya acara ini dilaksanakan antara tanggal 15 sampai 30 Rabiul Awwal. Sebelum pelaksanaan acara tersebut, jauh sebelumnya pada malam hari sang tetua adat (dukun) sekarang Kek Jemat mengadakan ceriak (beceriak/beceritamusyawarah) pemanggilan orang-orang kampung sebagai pemberitahuan akan dilaksankannya upacara adat dan menentukan tanggal yang cocok untuk pelaksanaan upacara tersebut.

Pada tanggal yang telah ditetapkan tetua adat sebagai pawang desa dengan dibantu penduduk setempat memulai membuat batu persucian (taber) dengan menggunakan bahan-bahan tradisional serta dedaunan dan gaharu (dupa) dari kayu buluh (bambo). Menurut sang dukun dahulu kala penggunaan dupa ini adalah sebagai alat untuk menarik minat orang-orang cina yang berdiam didesa tersebut agar memeluk agama Islam.[1]


B. Jalannya Upacara

Setelah persiapan, seperti; batu persucian (taber) dan gaharu selesai, kemudian pada hari yang telah ditentukan tersebut, tetua adat dan masyarakat menyiapkan makanan dan minuman, serta buah-buahan, uang dan binatang peliharaan seperti; ayam dan bebek untuk diperbutkan setelah ritual upacara permohonan izin dilakukan. Semua peralatan telah dipersiapkan, kira-kira pukul 1 siang dimulai dari balai adat, tetua adat bersama penduduk arak-arakan menuju istana[2] dengan diiringi semarang (selawatan barzanji) guna untuk meminta izin dan memulai pelaksanaan sedekah kampung. Setelah sampai disana, sang dukun kemudian duduk diatas makam bersamaan dengan dihidangkan berbagai macam jenis makanan khas desa, uang serta hewan peliharaan seperti ayam dan bebek, kemudian mulai pembacaan doa dan mantera. Setelah pembacaan doa dan mantera selesai, penduduk naik keatas makam dan memperebutkan ayam, bebek dan buah-buahan serta uang yang ada diatas makam tersebut. Upacara kemudian dilanjutkan penampilan silat yang dilakukan oleh dua orang, kemudian sang dukun dan penduduk pembantunya melakukan pemberian tangkel (jimat) di empat penjuru dimulai dari istana tersebut menuju gerbang pintu masuk kedesa sampai akhir perbatasan desa tersebut. Pemberian jimat ini dimaksudkan untuk menangkal segala bentuk gangguan dari luar yang tidak menginginkan acara ini berlangsung.

Dalam pelaksanaa upacara ini, terdapat beberapa pantangan yang harus dipatuhi oleh semua orang yang mengikuti jalannya upacara ritual ini, yaitu duduk diatas pagar, meletakkan jemuran/pakaian berupa apapun diatas pagar dan bermain senter. Menurut penduduk apabila pantangan tersebut dilanggar, maka akan didatangi oleh makhluk-makhluk halus dan mengubahnya menjadi tepuler (kepala dengan wajah terbalik kebelakang). Untuk tetua adat selama acara berlangsung, tidak boleh makan dan minum.


C. Ritual Tradisi Sedekah Kampung Peradong

  1. Tamat Ngaji/Betamat Massal

    Tamat ngaji (betamat/tamatan Quran) merupakan upacara yang dilakukan sebagai petanda bahwa seorang yang telah melaksanakan tamat ngaji dianggap telah pandai membaca al-Quran. Upacara ini dilakukan dalam rangka mensyukuri anak-anak khususnya dan remaja yang telah menamatkan bacaan al-Quran. Dalam tamat ngaji, peserta yang ikut dalam upacara tersebut membaca surat-surat pendek dari al-Quran secara bergantian. Biasanya pembacaan surat-urat pendek tersebut dimulai dari surat ad-Dhua sampai an-Naas. Anak-anak dan remaja yang tidak (belum) pernah menamatkan pembacaan al-Quran tentu tidak dapat ikut betamat. Namun bagi mereka yang telah menamatkan al-Quran boleh mengikuti untuk kedua kalinya. Bagi masyarakat Peradong, tamatnya anak-anak mereka membaca 30 juz al-Quran merupakan sesuatu yang sangat istimewa, sehingga perlu disyukuri secara khusus. Ritual ini memiliki makna dan fungsi yang sangat penting dalam pendidikan keagamaan di masyarakat karena orang yang tidak mampu membaca al-Quran atau tidak fasih dalam membacanya akan menanggung malu dan mendapat gunjingan dari masyarakat.[3] Untuk upacara ini, tampuk kegiatan dipegang oleh pak Penghulu mulai acara berlangsung sampai selesai.

    Jalannya upacara ini di mulai pukul 15.00 dengan mengadakan arak-arakan penjemputan peserta kerumah masing-masing. Arak-arakan masyarakat tersebut dimulai dari balai desa diiringi dengan selawatan barzanji menuju perbatasan kampung, kemudian setelah sebagian peserta bergabung dalam arak-arakan tersebut, rute kembali menuju ke perkampungan. Kalau dalam upacara Sayyang Pattudu di Kabupaten Polewali Mandar Sulawesi Barat, peserta tamat al-Quran duduk di atas kuda dengan satu kaki ditekuk ke belakang, lutut menghadap ke depan, sementara satu kaki yang lainnya terlipat dengan lutut dihadapkan ke atas dan telapak kaki berpijak pada punggung kuda. Dengan posisi seperti itu, para peserta didampingi agar keseimbangannya terpelihara ketika kuda yang ditunggangi menari.[4] Dalam upacara Sedekah Kampung, peserta (anak-anak dan remaja) tamat ngaji duduk di atas sepeda yang telah dihiasi dengan berbagai bentuk dan variasi yang didorong oleh orang tuanya dan orang dewasa lainnya dengan diikuti anak-anak dan remaja lainnya yang sebaya. Setelah semua peserta bergabung dalam arak-arakan tersebut, rute terus dilakukan menuju ke masjid. Sesampai di masjid, acara dimulai dengan sambutan dari penghulu, kepala desa dan guru ngaji, sebagaimana tersusun dalam susunan acara. Kemudian mulailah tamat ngaji dilakukan, diawali oleh guru ngaji memberikan aba-aba kepada peserta. Mulailah peserta membaca surat-surat pendek dalam al-Quran, yaitu dalam juz 30 diawali dari surat ad-Duha terus menerus secara bergantian hingga sampai pada surat an-Naas. Setelah selesai, dilanjutkan dengan pembcaan doa khatam alQuran yang biasanya dibacakan oleh penghulu. Akhirnya selesailah upacara tamat ngaji, peserta dan orang tuanya keluar dari masjid menuju ke rumah masing-masing. Bagi orang tua yang mampu, biasanya pada malam harinya atau ada juga sebagain yang langsung setelah tamat ngaji mengadakan selamatan di rumahnya. Bunga dijadikan sebagai simbol tamat ngaji yang dibawa olah keluarga peserta yang dihiasi dengan telor ayam yang digantungkan disetiap dahan.


  2. Nganggung

    Nganggung adalah suatu tradisi turun temurun yang hanya bisa dijumpai di Bangka. Karena tradisi nganggung merupakan identitas Bangka, sesuai dengan slogan Sepintu Sedulang, yang mencerminkan sifat kegotong royongan, berat sama dipikul ringan sama dijinjing.[5]

    Nganngung atau yang dikenal masyarakat Bangka dengan Sepintu Sedulang merupakan warisan nenek moyang yang mencerminkan suatu kehidupan sosial masyarakat berdasarkan gotong-royong. Setiap bubung rumah melakukan kegiatan tersebut untuk dibawa kemasjid, surau atau tempat berkumpulnya warga kampung. Adapun nganggung merupakan suatu kegiatan yang dilakukan masyarakat dalam rangka memperingati hari besar agama Islam, menyambut tamu kehormatan, acara selamatan orang meninggal, acara pernikahan atau acara apapun yang melibatkan orang banyak. Nganggung adalah membawa makanan di dalam dulang atau talam yang ditutup tudung saji ke masjid, surau, atau balai desa untuk dimakan bersama setelah pelaksanaan ritual agama.[6]

    Dalam acara ini, setiap kepala keluarga membawa dulang yaitu sejenis nampan bulat sebesar tampah yang terbuat dari aluminium dan ada juga yang terbuat dari kuningan. Untuk yang terakhir ini sekarang sudah agak langka, tapi sebagian masyarakat Bangka masih mempunyai dulang kuningan ini. Didalam dulang ini tertata aneka jenis makanan sesuai dengan kesepakatan apa yang harus dibawa. Kalau nganggung kue, yang dibawa kue, nganggung nasi, isi dulang nasi dan lauk pauk, nganggung ketupat biasanya pada saat lebaran. Dulang ini ditutup dengan tudung saji yang dibuat dari daun, sejenis pandan, dan di cat, tudung saji ini banyak terdapat dipasaran.Dulang ini dibawa ke masjid, atau tempat acara yang sudah ditetapkan, untuk dihidangkan dan dinikmati bersama. Hidangan ini dikeluarkan dengan rasa ikhlas, bahkan disertai dengan rasa bangga.

    Namun dalam perkembangannya sekarang kegiatan nganggung yang masih eksis dipertahankan pada saat memperingati hari besar agama Islam, dan menyambut tamu kehormatan.


  3. Sunatan Adat

    Sunat atau khitan secara harfiah berarti sama dengan sunnah dalam bahasa Arab.[7] Sunat merupakan upacara pemotongan ujung penis anak-laki dalam ukuran tertentu dalam ajaran Islam bagi anak yang akan memasuki akil baligh. Dalam tradisi Betawi, sunat diartikan sebagai proses atau etape pembeda. Bagi seorang anak laki-laki yang telah disunat berarti telah memasuki dunia akil baligh, maka dia dituntut atau seharusnya telah mampu membedakan antara yang hak dan yang bathil. Ia sudah selayaknya mampu menjaga diri dari perbuatan-perbuatan yang melanggar ajaran agama dan adat kesopanan di masyarakat.[8] Dengan kata lain, seorang anak laki-laki yang telah disunat dianggap sudah menjadi manusia yang sempurna dalam arti untuk menjalankan kewajiban sebagaimana halnya manusia dewasa sebagai pengabdi. Pelaksanaan sunat adat yang dilakukan oleh mudim (tukang sunat kampung).

    Pelaksanaan upacara sunat adat dimulai pukul 03.00 WIB peserta (anak-anak) yang akan disunat berendam didalam air (di aek kapong) kurang lebih selama 3 jam, kemudian kira-kira pukul 06.00-07.00 pelaksanaan sunatan yang dilakukan oleh mudim (tukang sunat kampung), orang Betawi menyebutnya dengan bengkong. Setelah selesai, peserta sunat diarak-arak keliling kampung dengan menggunakan kereta hiasan dengan berbagai macam variasi.[9] Sebagaimana dikutip dari Majalah Kompas tanggal 04 September 2001 tentang proses pelaksanaan sunatan massal di desa Kundi Kecamatan Simpang Teritip yang juga sama dengan proses pelaksanaan di desa Peradong:

    Menjelang pelaksanaan khitanan adat, dini hari sekitar pukul 03.30, warga dibangunkan dengan pukulan kenong oleh Jenang dari Balai Pertemuan sederhana yang disebut warga Kundi sebagai balai desa. Pukulan kenong itu terdengar jauh juga, sehingga bisa memba-ngunkan orang yang tengah terlelap tidur. Meski demikian, kehidupan pasar malam di Kundi yang berlangsung sampai hampir tengah malam, agaknya banyak membuat warga Kundi kelelahan sehingga hanya sedikit yang bisa datang ke balai desa.

    Di balai desa inilah empat anak yang akan dikhitan kemudian duduk bersama dua orang Jenang, dibacakan doa, sementara sejumlah warga lainnya, tua maupun muda, melakukan tarian Tabo dengan diiringi kenong dan tiga gendang. Beberapa seri tarian Tabo dimainkan, sampai kemudian para anak yang akan dikhitan dibawa berjalan beriringan menuju sungai yang lebih mirip kolam. Di tempat yang jauhnya sekitar satu kilometer dari Bal.

    Pukulan kenong itu terdengar jauh juga, sehingga bisa membangunkan orang yang tengah terlelap tidur. Meski demikian, kehidupan pasar malam di Kundi yang berlangsung sampai hampir tengah malam, agaknya banyak membuat warga Kundi kelelahan sehingga hanya sedikit yang bisa datang ke balai desa.

    Di desa inilah, keempat anak itu kemudian diminta berendam di sebuah kolam yang terlebih dulu didoa-doai oleh dua orang Jenang. Anak-anak itu ditemani para orang tua, sebagian warga, dengan iringan musik kenong dan gendang. Dari pukul 04.00 sampai 06.20 keempat anak itu berjongkok merendam setengah badan bagian bawahnya dalam air, membius kemaluan mereka agar tidak terasa sakit ketika dikhitan nanti.[10]

    Setelah berendam di aek kapong selama kurang lebih 3 jam, kira-kira pukul 06.00-07.00 pelaksanaan sunatan dilakukan oleh mudim (tukang sunat kampung) secara bergantian kepada peserta. Alat-alat yang digunakan untuk memotong ujung penis laki-laki tersebut masih menggunakan alat tradisional, seperti; daun sirih yang digunakan untuk menghentikan pendarahan, gunting, kapas, bambu yang telah ditajamkan (dahulunya dipakai sebagai alat untuk memotong ujung penis, sekarang sudah menggunakan pisau) dan tali dari kain yang digunakan untuk mengikat sekaligus penahan bagi penis agar tidak bergerak.


    Sunat Diarak Keliling Kampung

    Setelah upacara sunat adat selesai, kemudian anak-anak tersebut diarak-arak keliling kampung didampingi teman-temannya yang sebaya. Arak-arak dilakukan dengan menggunakan tandu dan sepeda yang telah dihiasi dengan berbagai macam hiasan dan diiringi dengan selawatan barzanji, mulai dari ujung kampung (tempat sunat dilaksanakan, di dekat aek kapong) menuju lorong (gang) hingga kejalan umum, kemudian diselingi dengan penampilan pencak silat dan akhirnya kembali ketempat masing-masing.

    Dalam adat Betawi, peserta (pengantin sunat) diarak duduk di atas kuda yang dirias dengan sedemikian rupa, anatar lain dengan bunga-bunga dan bermacam buah-buahan. Di dekat ekor kuda digantungkan seikat padi dan sebuah kelapa. Biasanya, si pengantin sunat akan didampingi teman-temannya mengiringinya dengan naik delman. Berjalan di barisan paling depan adalah grup ondel-ondel yang menari berkeliling kampung. Rebana ketimpring terus mengiringi sepanjang perjalanan.[11] Tidak demikian halnya di desa Peradong, peserta sunat diarak sebagaimana arak-arakan tamat ngaji, yaitu dengan duduk di atas sepeda yang telah dihiasi dengan berbagai bentuk dan variasi yang didorong oleh orang tuanya dan orang dewasa lainnya dengan diikuti anak-anak dan remaja lainnya yang sebaya. Rombongan depan adalah sebagai pembaca selawatan barzanji yang dikomandoi oleh tetua adat. Setelah selesai, bagi keluarga (orang tua anak) yang mampu, biasanya mengadakan hajatan (selamatan) di rumah masing-masing.


  4. Selawatan Barzanji

    Selawatan Barzanji merupakan bacaan shalawat yang diambil dari kitab al-Barzanji yang dibacakan ketika mengiringi setiap arak-arakan yang dilakukan, baik untuk arak-arakan tamat ngaji maupun untuk sunat adat. Pembacaan tersebut dilakukan oleh rombongan arak-arakan di baris depan, yang dikomandoi oleh tetua adat. Untuk irama pembacaan tersebut, hanya beberapa orang saja yang masih bisa untuk melafalkannya.

    Selawat dilakukan tanpa ada paksaan, bagi remaja yang telah bisa membaca selawatan tersebut juga diperbolehkan untuk membaca selawat barzanji. Selain untuk mengiringi arak-arakan, juga untuk memeriahkan dan meramaikan sekaligus untuk menghibur peserta yang diarak. Khusus untuk arak-arakan tamat nagaji, bertujuan untuk memotivasi bagi anak-anak dan remaja lainnya agar menamatkan 30 juz al-Quran, sehingga bisa menjadi peserta tamat ngaji di tahun depan. Begitu juga dengan arak-arakn sunat adat, juga untuk memberikan semangat dan keberanian kepada mereka yang belum disunat.


  5. Penampilan Pencak Silat

    Upacara ini dilakukan untuk menghibur para penonton yang menyaksikan jalannya kegiatan upacara sedekah kampung dan juga untuk menghibur anak yang baru saja disunat. Karena selain masyarakat Peradong, banyak para pengunjung yang datang untuk menyaksikan jalannya acara tersebut. Pencak silat tersebut diperankan oleh masyarakat dengan pakaian bebas, bahkan hansip pun boleh memperagakannya sebagai aktor.

    Pencak silat ini tidak seperti halnya silat pada umumnya, karena dalam pencak silat ini hanya menirukan sebagian gerakan-gerakan saja. Dalam penampilannya, terlihat sedikit lucu karena gerakan-gerakannya bukan gerakan-gerakan dalam jurus silat. Gerakan tersebut dilakukan sesuai dengan gaya masing-masing pemeran dengan sedikit meniru gerakan dalam jurus silat kampung. Yang menarik perhatian dari penampilan pencak silat tersebut, adalah ketika pemeran (sebagai aktor) berupaya memperebutkan uang yang diletakkan masyarakat dan pengunjung yang dikeluarkan dengan suka rela.

    Dengan gayanya yang sedikit konyol, merekapemeran berupaya mempertahankan uang yang telah mereka dapatkan agar tidak diambil oleh pemeran lainnya. Penampilan ini biasanya dilakukan oleh dua orang.



  • [1] Dinas Perhubungan , Kebudayaan dan Pariwisata Kab. Bangka Barat, Booklet Pariwisata Negeri Sejiran Setason, hal. 6.
  • [2] Istana adalah sebutan masyarakat terhadap makam keturunan tetua adat yang dijadikan sebagai tempat ritual upacara permohonan izin untuk melaksanakan Sedekah Kampung (makam leluhur yang merupakan kakek buyut tetua adat dan sekarang sudah keturunan kelima).
  • [3] Zulkifli, Ibid., hal. 54.
  • [4] Mancung64s Weblog, Theme: Andreas04 oleh Andreas Viklund. Blog pada WordPress.com. Membawa Cerita, Cinta, Budaya dan Mestika dari Bumi Persada.
  • [5] Mancung64s Weblog, Theme: Andreas04 oleh Andreas Viklund. Blog pada WordPress.com. Membawa Cerita, Cinta, Budaya dan Mestika dari Bumi Persada.
  • [6] Zulkifli, Ibid., hal. 53.
  • [7] Yahya Andi Saputra, Upacara Daur Hidup Adat Betawi, (Jakarta Selatan: Wedatama Widiya Sastra, 2008), cet. Pertama, hal. 17.
  • [8] Ibid.
  • [9] Runi Pardi (Kepala Desa), Wawancara, di desa Peradong.
  • [10] https://www.kompas.com/kompas-cetak/0109/04/daerah/sema20.htm, Semangat Kundi Mempertahankan Adat, Kompas/rakaryan sukarjaputra, From: apakabar@saltmine.radix.net, Date: Tue Sep 04 2001 - 10:54:29 EDT, Selasa, 4 September 2001, di akses tanggal 07 November 2008.
  • [11] Yahya Andi Saputra, ibid,. Hal. 21.




Tag Keyword : Sejarah Adat Budaya Culture Wisata Sunat Sunatan Pengajian Khatam Hatan Khitan Nganggung Pencak SIlat Melayu Bangka Belitung kampung Peradong BaBel






Written By : Suryan Masrin (Sekretaris Karang Taruna Peradong 2007-2012 dan Anggota HMI Babel)
Alamat: Riding Panjang Merawang Bangka
Email : mia_aza@yahoo.com




UBB Perspectives

Juga Untuk Periode Berikut

Untuk Periode Berikut

Stereotipe Pendidikan Feminis

Urgensi Perlindungan Hukum Dan Peran Pemerintah Dalam Menangani Pekerja Anak Di Sektor Pertambangan Timah

Isolasi dan Karakterisasi Bakteri Asam Laktat Asal Ikan Mujair (Oreochromis mossambicus) yang Berpotensi Sebagai Probiotik

Pemanfaatan Biomikri dalam Perlindungan Lingkungan: Mengambil Inspirasi dari Alam Untuk Solusi Berkelanjutan

FAKTOR POLA ASUH DALAM TUMBUH KEMBANG ANAK

MEMANFAATKAN POTENSI NUKLIR THORIUM DI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG : PELUANG DAN DAMPAK LINGKUNGAN

Pengaruh Sifat Fisika, Kimia Tambang Timah Terhadap Tingkat Kesuburan Tanah di Bangka Belitung

Akuntan dan Jurnalis: Berkolaborasi Dalam Optimalisasi Transparan dan Pertanggungjawaban

Sustainable Tourism Wisata Danau Pading Untuk Generasi Z dan Alpa

Perlunya Revitalisasi Budaya Lokal Nganggung di Bangka Belitung

Semangat PANDAWARA Group: Dari Sungai Kotor hingga Eksis di Media Sosial

Pengaruh Pembangunan Produksi Nuklir pada Wilayah Beriklim Panas

Pendidikan dan Literasi: Mulailah Merubah Dunia Dari Tindakan Sederhana

Mengapa APK Perguruan Tinggi di Babel Rendah ?

Dekonstruksi Cara Pikir Oposisi Biner: Mengapa Perlu?

PENINGKATAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK DENGAN ASAS GOOD GOVERNANCE

UMP Bangka Belitung Naik, Payung Hukum Kesejahteraan Pekerja atau Fatamorgana Belaka?

Membangun Kepercayaan dan Kesadaran Masyarakat Dalam Membayar Pajak Melalui Peningkatan Kualitas Pelayanan Serta Transparansi Alokasi Pajak

Peran Generasi Z di Pemilu 2024

Pemilu Serentak 2024 : Ajang Selebrasi Demokrasi Calon Insan Berdasi

Menelusuri Krisis Literasi Paradigma dan Problematik di Bumi Bangka Belitung

Peran Pemerintah Terhadap Pemenuhan Kebutuhan Protein Hewani Melalui Pemanfaatan Probiotik dalam Sistem Integrasi Sapi dan Kelapa Sawit (Siska)

TIMAH “BERPERI”

Jasa Sewa Pacar: Betulkah Menjadi sebuah Solusi?

Peran Sosial dan Politis Dukun Kampong

Mahasiswa dan Masalah Kesehatan Mental

Analogue Switch-off era baru Industri pertelevisian Indonesia

Di Era Society 50 Mahasiswa Perlu Kompetensi SUYAK

HUT ke-77 Kemerdekaan Republik Indonesia, sudah merdekakah kita?

Pemblokiran PSE, Pembatasan Kebebasan Berinternet?

Jalan Ketiga bagi Sarjana

Pentingnya Pemahaman Moderasi Beragama Pada Mahasiswa di Perguruan Tinggi Umum

SOCIAL MAPPING SEBAGAI SOLUSI TATA KELOLA SUMBER DAYA ALAM

Bisnis Digital dan Transformasi Ekonomi

Merebut Hati Gen Z

Masyarakat Tontonan dan Risiko Jenis Baru

Penelitian MBKM Mahasiswa Biologi

PEREMPUAN DI SEKTOR PERTAMBANGAN TIMAH (Refleksi atas Peringatan Hari Kartini 21 April 2022)

Kiat-kiat Menjadi “Warga Negara Digital” yang Baik di Bulan Ramadhan

PERANG RUSIA VS UKRAINA, NETIZEN INDONESIA HARUS BIJAKSANA

Kunci Utama Memutus Mata Rantai Korupsi

Xerosere* Bangka dan UBB

Pengelolaan Sumber Daya Air yang Berkelanjutan

SI VIS PACEM PARABELLUM, INDONESIA SUDAH SIAP ATAU BELUM?

RELASI MAHA ESA DAN MAHASISWA (Refleksi terhadap Pengantar Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum)

KONKRETISASI BELA NEGARA SEBAGAI LANGKAH PREVENTIF MENGHADAPI PERANG DUNIA

Memaknai Sikap OPOSISI ORMAWA terhadap Birokrasi Kampus

Timah, Kebimbangan yang Tak akan Usai

Paradigma yang Salah tentang IPK dan Keaktifan Berorganisasi

Hybrid Learning dan Skenario Terbaik

NEGARA HARUS HADIR DALAM PERLINDUNGAN EKOLOGI LINGKUNGAN

Mental, Moral dan Intelektual: Menakar Muatan Visi UBB dalam Perspektif Filsafat Pierre Bourdieu

PEMBELAJARAN TATAP MUKA DAN KESIAPAN

Edukasi Kepemimpinan Milenial versus Disintegrasi

Membangun Kepemimpinan Pendidikan di Bangka Belitung Berbasis 9 Elemen Kewarganegaraan Digital

Menuju Kampus Cerdas, Ini yang Perlu Disiapkan UBB

TI RAJUK SIJUK, DIANTARA KESEMPATAN YANG TERSEDIA

TATAP MUKA

Mengimajinasikan Dunia Setelah Pandemi Usai

MENJAGA(L) LINGKUNGAN HIDUP

STOP KORUPSI !

ILLEGAL MINING TIMAH (DARI HULU SAMPAI HILIR)

KARAKTER SEPERADIK

SELAMAT BEKERJA !!!

ILLEGAL MINING

Pers dan Pesta Demokrasi

PERTAMBANGAN BERWAWASAN LINGKUNGAN

GENERASI (ANTI) KORUPSI

KUDETA HUKUM

Inflasi Menerkam Masyarakat Miskin Semakin Terjepit

NETRALITAS DAN INTEGRITAS PENYELENGGARA PEMILU

Siapa Penjarah dan Perampok Timah ???

Memproduksi Kejahatan

Potret Ekonomi Babel

Dorong Kriminogen

Prinsip Pengelolaan SDA

Prostitusi Online

Menjaga Idealisme dan Kemandirian Pers

JUAL BELI BERITA

POLITIK RAKYAT DAN TANGGUNG JAWAB PEMIMPIN

Penelitian Rumpon Cumi Berhasil di Perairan Tuing, Pulau Bangka

Budidaya Ikan Hias Laut

Gratifikasi, Hati-Hatilah Menerima Sesuatu

KEPUASAN HUKUM

JANGAN SETOR KE APARAT

JAKSA TIPIKOR SEMANGAT TINGGI

Perairan Tuing, Benteng Sumberdaya Perikanan Laut di Kabupaten Bangka

GRAND DESIGN KEPENDUDUKAN (Refleksi Hari Penduduk Dunia)

Berebut Kursi Walikota