UBB Perspective
Universitas Bangka Belitung
Artikel UBB
Universitas Bangka Belitung's Article
16 Mei 2023 | 09:40:07 WIB
Dekonstruksi Cara Pikir Oposisi Biner: Mengapa Perlu?
Ditulis Oleh : Herza, M.A.
(Dosen Sosiologi Universitas Bangka Belitung)
Kita selalu suka berpikir dan memaknai banyak hal dalam kerangka oposisi biner— semisal, peradaban Eropa lebih baik dari peradaban Asia, masyarakat kota pasti lebih maju dan banyak terdidik dibandingkan masyarakat desa, laki-laki lebih diutamakan menjadi pemimpin daripada perempuan, ilmu pengetahuan lebih mulia ketimbang pengetahuan-pengetahuan yang berkembang di masyarakat lokal, modernitas lebih baik ketimbang ke-tradisional-an, dan ada banyak lagi pembedaan-pembedaan lainnya yang kita ciptakan secara oposisi biner.
Apa itu Oposisi Biner?
Oposisi biner secara sederhana dapat diartikan sebagai pembedaan terhadap objek, sesuatu atau persitiwa tertentu yang diposisikan secara hierarkis. Artinya pembedaan yang diberikan tersebut tidak setara— mengunggulkan suatu hal, objek, atau peristiwa, dan secara bersamaan merendahkan hal, objek, atau peristiwa lainnya.
Adalah Jacques Derrida, seorang pemikir (bisa disebut Filsuf maupun Sosiolog) kontemporer Perancis menganjurkan kita untuk mempersoalkan sekaligus membongkar oposisi biner yang selama ini eksis dalam pandangan banyak orang melalui apa yang Ia sebut sebagai dekonstruksi. Ada beberapa alasan mengapa Derrida getol menyuarakan dekonstruksi terhadap oposisi biner. Di antaranya; pertama, oposisi biner yang hakikatnya memberi keistimewaan pada satu hal dan mendudukkan hal lainnya dalam posisi subordinat, bagi Derrida selalu mendasarkan pada pemikiran pusat—yakni pemikiran-pemikiran yang dimenangkan oleh zaman dan sekelompok orang, yang kemudian didiseminasikan sebagai sebuah landasan, dasar atau sistem pemikiran yang valid dijadikan panduan oleh banyak orang. Pemikiran-pemikiran ini hegemonik, lintas geografis, dan bahkan lintas sejarah. Bentuk konkretnya bisa ideologi, gagasan dari tokoh-tokoh kuat, agama, aliran filsafat dan lain sebagainya (Ritzer, 2012; Sarup, 2003). Sistem Pemikiran Pusat (biasa disebut juga logosentrisme) telah menunjukkan pengabaian kepada yang namanya pluralitas atau keberagaman, maka adalah kebodohan dan membawa diri pada kecelakaan jika masih terus meyakini makna-makna yang dihasilkannya (termasuk binary oppositions/oposisi biner yang didiseminasi selama ini). Oleh karena itu, bagi Derrida kita harus mempersoalkan, membongkar, dan menyusun sendiri versi kita masing-masing terhadap makna-makna yang selama ini kita jadikan panduan. Secara sederhana, anjuran inilah yang disebut sebagai dekonstruksi.
Kedua, kalau jeli memerhatikan pemaknaan yang termuat dalam setiap oposisi biner yang hadir melalui teks atau bahasa, menurut Derrida kita akan menemukan yang namanya paradoks (Haryatmoko, 2016, Sarup, 2003; Silinder, 2022). Maksud dari paradoks di sini, yakni dalam satu konsep pemaknaan selalu tersimpan ketidakkonsistenan, mengandung dua sisi yang saling kontradiktif, dan pemberian makna yang tak pernah bisa utuh. Contoh, ketika banyak orang yang lebih mengunggulkan Eropa dari sisi budaya dan peradaban ketimbang Asia, karena konon Eropa lebih baik dalam banyak hal ketimbang Asia. Sistem pendidikan lebih bagus, pembangunan lebih pesat, banyak ilmuwan berpengaruh yang dihasilkan Eropa, banyak negara di Eropa yang sangat aware dengan HAM, dan lain sebagainya. Namun demikian, klaim tersebut bisa runtuh ketika kita mempertanyakan atau bahkan menunjukkan sisi lain dari Eropa, yakni bagaimana tingginya tingkat kriminalitas yang terjadi di beberapa negara Eropa, lalu banyak orang di Eropa justru kerap bermasalah dengan rasisme, belum lagi jika kita tarik ke sejarah bagaimana peristiwa penjajahan yang dipraktikkan banyak negara eropa kepada penduduk di Asia dan Afrika, dan persoalan-persoalan lainnya. Dengan membongkar semua peristiwa-peristiwa itu, menurut penulis, oposisi biner yang menempatkan budaya dan peradaban Eropa lebih tinggi ketimbang Asia menjadi ketahuan sisi paradoksalnya, dan oleh karena itu adalah salah jika dianggap sebagai kebenaran mutlak.
Ketiga, dalam oposisi biner terdapat hierarkis yang kejam. Salah satu pengertian dalam oposisi biner itu mengendalikan yang lain, dan menduduki posisi yang lebih tinggi (Ritzer, 2012). Pembaca tak sulit membayangkan alasan ketiga ini, yakni cukup perhatikan dengan seksama uraian yang sudah penulis utarakan pada poin pertama dan kedua di atas. Sebagai tambahan penjelasan, bukankah banyak perbedaan yang selama ini terstruktur secara oposisi biner yang sebenarnya bisa kita posisikan kedudukannya sebagai sesuatu yang setara. Misal, konsep kecantikan yang kerap direpresentasikan dengan sosok perempuan berkulit putih, hidung mancung, tubuh langsing dan tinggi, serta memiliki tingkat pendidikan formal yang tinggi. Di luar representasi ini maka sosok perempuan tidak bisa menempati kategori cantik. Dalam hal ini pemaknaan kecantikan telah menciptakan hierarkis yang kejam pada kaum perempuan. Pemaknaan yang termuat dalam konsep kecantikan tersebut telah mengabaikan pluralitas warna kulit, dan tak memperhitungkan adanya kondisi-kondisi natural yang membuat banyak perempuan tidak bisa memiliki tubuh langsing dengan postur yang tinggi, berpendidikan formal yang tinggi, pun berhidung mancung. Lantas mereka yang bercirikan lain atau di luar dari konsep kecantikan tersebut akan menempati kedudukan lebih rendah, tersubordinasi, dan bahkan termarginalisasi. Akibat dari eksisnya pemaknaan oposisi biner seperti ini, bukan tidak mungkin turut menciptakan fenomena rasisme dan juga membuat banyak perempuan mengidap ‘penyakit’ insecure ketika bertemu dengan perempuan-perempuan yang memenuhi standar pemaknaan kecantikan yang telah mandarah daging tersebut.
Apa itu Dekonstruksi dan Apa Tujuannya?
Sebenarnya, melalui pemaparan di atas, gambaran mengenai dekonstruksi Derrida sudah disentil cukup sering. Namun sebelum menutup tulisan ini, sepertinya penulis perlu memberi deskripsi yang lebih jelas terkait apa itu dekonstruksi dan sebenarnya apa tujuan dari dekonstruksi. Secara umum, dekontruksi dapat kita artikan sebagai serangkaian strategi analisis kritis terhadap teks ataupun peristiwa yang bertujuan untuk membuka pengandaian-pengandaian yang sebelumnya tidak muncul atau dipertanyakan, serta membongkar kontradiksi-kontradiksi internal yang terdapat di dalam teks atau peristiwa tertentu (Faiz, 2022). Teks dalam pemikiran Derrida sebenarnya tidak dibatasi pada tulisan atau bahasa verbal saja, namun mencakup segala hal yang bisa tercerap dalam pikiran dan kemudian diberi tafsir oleh kita sebagai manusia dan bagian dari masyarakat. Kata Derrida, “nothing outside the text” (Faiz, 2022). Sementara itu, bagi Gayatri Spivak (dalam pengantar buku terjemahan Derrida, Of Grammotology), dekonstruksi merupakan upaya untuk “menemukan teks marginal yang menjanjikan, menyingkap, membongkar momen yang tidak dapat dipastikan dengan alat penanda yang positif, membalikkan hierarki yang ada, agar dapat diganti; membongkar agar dapat membangun kembali apa yang selalu telah tertulis”. Ingat, terminologi teks pada pembahasan dekonstruksi dari Derrida ini memiliki arti luas—bukan hanya sebatas teks tertulis, maupun bahasa verbal.
Adapun jika menyitir tulisan Haryatmoko (2016) dengan judul “Membongkar Rezim Kepastian: Pemikiran Kritis Post-Strukturalis”, ada empat tujuan yang ingin dicapai dekonstruksi. Pertama, dekonstruksi menganjurkan cara dan langkah untuk mendeteksi kontradiksi dalam politik teks sehingga membantu kita untuk mencapai kesadaran lebih tinggi akan adanya bentuk-bentuk inkonsistensi dalam teks. Kedua, dengan melakukan dekonstruksi kita terbawa untuk bisa memperlakukan teks, konteks, dan tradisi sebagai sarana yang mampu membuka kemungkinan baru untuk perubahan melalui hubungan yang tak terkirakan sebelumnya. Contoh, ketika konsep ‘pribumi’ didefinisikan sebagai asli karena dianggap sebagai mereka yang lebih awal tinggal di suatu daerah. Maka, orang bisa juga memberi penafsiran bahwa pendatang harusnya bisa juga dinilai sebagai pribumi karena tinggal lebih dulu daripada cucu-cucu orang pribumi tersebut. Ketiga, dekostruksi membantu meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan melihat cara-cara bagaimana pengalaman ditentukan oleh ideologi yang tidak kita sadari, sebab ideologi sudah dibangun atau menyatu di dalam bahasa yang kita cerap di kehidupan sehari-hari. Maka dekonstruksi bertujuan membongkar ideologi yang sudah menyatu dan membeku dalam yang namanya bahasa tersebut. Keempat, tujuan dekonstruksi adalah memampukan kita mengubah teks, merumuskan pemaknaan baru yang bisa membuat para pembaca menjadi asing terhadap sesuatu yang bagi dirinya familiar, serta membuat orang-orang terkejut ketika disingkap makna-makna yang terpinggirkan.
Mari Men-Dekonstruksi !
Setelah memahami apa itu dekonstruksi Derrida, serta mengerti potensinya dalam memberi ruang terhadap terciptanya pemaknaan baru dan/atau perubahan terhadap realitas sosial yang lebih menghargai keberagaman (dan the others), penulis ingin mengajak para pembaca untuk mencoba melakukan dekonstruksi terhadap pelbagai oposisi biner yang selama ini menentukan cara pikir dan tindakan kita. Termasuk men-dekonstruksi oposisi biner yang penulis singgung di bagian awal tulisan tadi, yakni cara pikir yang mengasumsikan “peradaban eropa lebih baik dari peradaban di Asia, masyarakat kota pasti lebih maju dan banyak terdidik ketimbang masyarakat desa, Laki-laki lebih diutamakan menjadi pemimpin ketimbang perempuan, ilmu pengetahuan lebih mulia ketimbang pengetahuan-pengetahuan yang berkembang di masyarakat lokal, modernitas lebih baik ketimbang ke-tradisional-an”.
(Artikel telah dimuat di Bangka Pos edisi Kamis, 11 Mei 2023)
UBB Perspectives
FAKTOR POLA ASUH DALAM TUMBUH KEMBANG ANAK
MEMANFAATKAN POTENSI NUKLIR THORIUM DI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG : PELUANG DAN DAMPAK LINGKUNGAN
Pengaruh Sifat Fisika, Kimia Tambang Timah Terhadap Tingkat Kesuburan Tanah di Bangka Belitung
Akuntan dan Jurnalis: Berkolaborasi Dalam Optimalisasi Transparan dan Pertanggungjawaban
Sustainable Tourism Wisata Danau Pading Untuk Generasi Z dan Alpa
Perlunya Revitalisasi Budaya Lokal Nganggung di Bangka Belitung
Semangat PANDAWARA Group: Dari Sungai Kotor hingga Eksis di Media Sosial
Pengaruh Pembangunan Produksi Nuklir pada Wilayah Beriklim Panas
Pendidikan dan Literasi: Mulailah Merubah Dunia Dari Tindakan Sederhana
Mengapa APK Perguruan Tinggi di Babel Rendah ?
PENINGKATAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK DENGAN ASAS GOOD GOVERNANCE
UMP Bangka Belitung Naik, Payung Hukum Kesejahteraan Pekerja atau Fatamorgana Belaka?
Peran Generasi Z di Pemilu 2024
Pemilu Serentak 2024 : Ajang Selebrasi Demokrasi Calon Insan Berdasi
Menelusuri Krisis Literasi Paradigma dan Problematik di Bumi Bangka Belitung
Jasa Sewa Pacar: Betulkah Menjadi sebuah Solusi?
Peran Sosial dan Politis Dukun Kampong
Mahasiswa dan Masalah Kesehatan Mental
Analogue Switch-off era baru Industri pertelevisian Indonesia
Di Era Society 50 Mahasiswa Perlu Kompetensi SUYAK
HUT ke-77 Kemerdekaan Republik Indonesia, sudah merdekakah kita?
Pemblokiran PSE, Pembatasan Kebebasan Berinternet?
Pentingnya Pemahaman Moderasi Beragama Pada Mahasiswa di Perguruan Tinggi Umum
SOCIAL MAPPING SEBAGAI SOLUSI TATA KELOLA SUMBER DAYA ALAM
Bisnis Digital dan Transformasi Ekonomi
Masyarakat Tontonan dan Risiko Jenis Baru
Penelitian MBKM Mahasiswa Biologi
PEREMPUAN DI SEKTOR PERTAMBANGAN TIMAH (Refleksi atas Peringatan Hari Kartini 21 April 2022)
Kiat-kiat Menjadi “Warga Negara Digital” yang Baik di Bulan Ramadhan
PERANG RUSIA VS UKRAINA, NETIZEN INDONESIA HARUS BIJAKSANA
Kunci Utama Memutus Mata Rantai Korupsi
Pengelolaan Sumber Daya Air yang Berkelanjutan
SI VIS PACEM PARABELLUM, INDONESIA SUDAH SIAP ATAU BELUM?
KONKRETISASI BELA NEGARA SEBAGAI LANGKAH PREVENTIF MENGHADAPI PERANG DUNIA
Memaknai Sikap OPOSISI ORMAWA terhadap Birokrasi Kampus
Timah, Kebimbangan yang Tak akan Usai
Paradigma yang Salah tentang IPK dan Keaktifan Berorganisasi
Hybrid Learning dan Skenario Terbaik
NEGARA HARUS HADIR DALAM PERLINDUNGAN EKOLOGI LINGKUNGAN
Mental, Moral dan Intelektual: Menakar Muatan Visi UBB dalam Perspektif Filsafat Pierre Bourdieu
PEMBELAJARAN TATAP MUKA DAN KESIAPAN
Edukasi Kepemimpinan Milenial versus Disintegrasi
Membangun Kepemimpinan Pendidikan di Bangka Belitung Berbasis 9 Elemen Kewarganegaraan Digital
Menuju Kampus Cerdas, Ini yang Perlu Disiapkan UBB
TI RAJUK SIJUK, DIANTARA KESEMPATAN YANG TERSEDIA
Mengimajinasikan Dunia Setelah Pandemi Usai
ILLEGAL MINING TIMAH (DARI HULU SAMPAI HILIR)
PERTAMBANGAN BERWAWASAN LINGKUNGAN
Inflasi Menerkam Masyarakat Miskin Semakin Terjepit
NETRALITAS DAN INTEGRITAS PENYELENGGARA PEMILU
Siapa Penjarah dan Perampok Timah ???
Menjaga Idealisme dan Kemandirian Pers
POLITIK RAKYAT DAN TANGGUNG JAWAB PEMIMPIN
Penelitian Rumpon Cumi Berhasil di Perairan Tuing, Pulau Bangka
Gratifikasi, Hati-Hatilah Menerima Sesuatu
Perairan Tuing, Benteng Sumberdaya Perikanan Laut di Kabupaten Bangka
GRAND DESIGN KEPENDUDUKAN (Refleksi Hari Penduduk Dunia)