UBB Perspective
Universitas Bangka Belitung
Artikel UBB
Universitas Bangka Belitung's Article
12 April 2022 | 09:37:37 WIB
Xerosere* Bangka dan UBB
Ditulis Oleh : Eddy Nurtjahya - Dosen Jurusan Biologi
Mengingat tercapainya kesuburan membutuhkan bantuan manusia (Mitchell 1959; Ang 1994), pemilihan jenis tanaman dan teknik budidaya dibutuhkan untuk mempercepat restorasi tailing timah pasir. Penambangan meninggalkan perubahan bentang alam dan kualitas sifat fisik, kimia, dan biologi lingkungan yang menurun (Gambar 1). Beberapa jenis pohon eksotik dipergunakan secara meluas pada program rehabilitasi, namun dinilai tidak bijaksana untuk terus menerus mengandalkannya (Lamb & Tomlinson 1994). Pohon kertas (Acacia mangium Willd.) adalah jenis eksotik dominan, mencapai 75 % ditanam di tailing timah di Pulau Bangka sejak 1993 (Nurtjahya 2001). Beberapa peneliti menganjurkan beberapa jenis pohon lokal; van Steenis (Whitten et al. 2000) menyarankan Ploiarium, Rhodamnia, dan Rhodomyrtus; Sambas dan Suhardjono (1995) merekomendasikan Schima wallichii (DC.) Korth. (Theaceae), Syzygium racemosum (Blume) DC. (Myrtaceae), Vitex pinnata L. (Lamiaceae), Syzygium zeylanicum (L.) DC. (Myrtaceae), Calophyllum pulcherrimum Wall. ex Choisy (Calophyllaceae), dan Campylospermum serratum (Gaertn.) Bittrich & M.C.E.Amaral (Ochnaceae) sebagai kandidat potensial untuk merevegetasi tailing pasir. Di Pulau Bangka dan Pulau Belitung Anacardium occidentale L. (Anacardiaceae) ditanam di tailing pasir, walau dalam persentase yang kecil dibandingkan A. mangium dan dinilai cukup adaptif.
Memperhatikan upaya penggunaan jenis pohon lokal dalam merevegetasi lahan pasca tambang timah, dan kondisi lingkungan yang tidak mendukung pertumbuhan tanaman, informasi terkait regenerasi alami penting bagi perencanaan dan penentuan strategi revegetasi (Leteinturier et al. 1999; Corrêa et al. 2007).
* = tahapan suksesi di lingkungan kering; eksotik = berasal dari lingkungan luar
Perubahan Struktur
Pencucian tanah pada ekstraksi biji timah memisahkan sejumlah kecil volum konsentrat butiran pasir timah, dan sejumlah besar tailing pasir. Air dengan konsentrat ampas yang berukuran lebih kecil atau tailing slime mengendap di lokasi yang lebih jauh dan landai. Tailing pasir hasil cucian adalah miskin hara, miskin bahan organik, dan hampir dipastikan tidak mengandung soil propagule dan mikro dan meso flora dan fauna. Dari pengamatan di lahan bekas tambang di Desa Riding Panjang, Desa Sempan, Desa Gunung Muda, Desa Riau, serta hutan Desa Sempan, komponen pasir dari semua lahan pasca tambang timah pada kedalaman 0-40 cm, berkisar 80-97% sementara hutan 66-78% (Gambar 2). Tekstur semua lahan pasca tambang berumur 0, 7, 11, dan 38 tahun adalah sand dan tekstur hutan adalah loamy sand.
Kecuali lahan pasca tambang berumur 11 tahun, rasio C/N lahan pasca tambang berumur 0, 7, dan 38 tahun berkisar 10-15 poin lebih tinggi dibandingkan hutan. Secara umum, konsentrasi P2O5 dan K2O pada lahan pasca tambang lebih rendah dibandingkan dengan P2O5 di hutan (20-22 mg 100g-1) dan K2O (5 mg 100g-1), dan konsentrasi K, Ca, Mg, dan Na berangsur-angsur meningkat sejalan dengan semakin bertambahnya usia lahan pasca tambang (Gambar 2). Jumlah konsentrasi keempat kation dapat ditukar tersebut di lahan pasca tambang berkisar 0,3-0,6 cmol(+) kg-1, sementara jumlah konsentrasi keempat unsur di hutan adalah 0,4 cmol(+) kg-1.
Kapasitas tukar kation (KTK) semua lahan pasca tambang timah tergolong sangat rendah dan berkisar antara 0,4-3,9 cmol(+) kg-1, sedangkan KTK hutan 5,2-5,8 cmol(+) kg-1. Konsentrasi Al3+ di lahan pasca tambang timah berkisar 0,1-0,9 cmol(+) kg-1, sementara konsentrasi Al3+ di hutan 2,0 cmol(+)kg-1. Semakin lama lahan pasca tambang ditinggalkan semakin rendah persentase pasirnya dan semakin meningkat persentase debu dan liat.
Selain lahan pasca tambang timah memiliki porositas yang tinggi, temperatur permukaan tailing yang tidak stabil dan mencapai sekitar 42 oC dan kelembapan yang rendah di siang hari, dan luasnya tailing pasir menyebabkan area tailing semakin rentan akan hembusan angin dan meningkatnya evapotranspirasi tumbuhan.
Perubahan Biota
Jasad renik
Jumlah spora fungi mikoriza arbuskula (FMA) (Gambar 3) per 50 g tanah di bawah tiga jenis tumbuhan dominan pada kedalaman 0-20 cm di lahan pasca tambang timah berangsur-angsur meningkat sejalan dengan semakin lamanya lahan pasca tambang timah ditinggalkan. Genus Glomus (Glomaceae) mendominasi (44-100%) dibandingkan Gigaspora, Scutellospora, dan Acaulospora.
Perbedaan jumlah spora FMA pada berbagai umur lahan pasca tambang diduga terpicu oleh berkurangnya total fosfat di dalam tanah. Rendahnya jumlah spora di lahan pasca tambang berumur 0 tahun diduga terkait oleh sifat obligat fungi yang membutuhkan inang (Setiadi 2004). Semakin beragam tumbuhan, semakin meningkat peluang jumlah spora.
Struktur vegetasi
Jumlah individu, jumlah jenis, dan jumlah famili di lahan pasca tambang timah semakin meningkat sejalan dengan usia lahan pasca tambang ditinggalkan (Gambar 4). Jumlah jenis tumbuhan di lahan pasca tambang berumur 0 tahun adalah nol, jumlah jenis tumbuhan di lahan pasca tambang berumur 7 tahun adalah enam yang terdiri atas empat jenis rumput dan dua jenis semak, jumlah jenis tumbuhan di lahan pasca tambang berumur 11 tahun adalah delapan yang terdiri atas lima jenis rumput, satu jenis herba, dan dua jenis semak, dan jumlah jenis tumbuhan di lahan pasca tambang berumur 38 tahun adalah enam belas yang terdiri atas empat jenis rumput, tiga jenis herba, enam jenis semak, dua jenis tingkat semai dan satu jenis tingkat semai dan sapihan dan jumlah jenis di hutan sebesar delapan puluh lima yang meliputi herba, liana / climber, semak, semua tingkatan pohon, dan tidak diketemukan jenis rumput.
Jumlah individu pada lahan pasca tambang berumur 7 tahun sebesar 890, pada lahan pasca tambang berumur 11 tahun sebanyak 1.720, dan pada lahan pasca tambang berumur 38 tahun sebesar 2.180, sedangkan hutan sebanyak 7.295. Jumlah famili di tiap lokasi penelitian menunjukkan pola serupa.
Perawakan (life form) liana / climber seperti Urceola brachysepala Hook.f. (Apocynaceae), dan stadium pertumbuhan tiang dan pohon seperti seruk (S. wallichii) hanya ditemukan di hutan.
Komposisi vegetasi
Tidak ada jenis tumbuhan ditemukan di lahan pasca tambang timah 0 tahun. Pada lahan pasca tambang berumur 7 tahun, tercatat rumput Fimbristylis pauciflora R.Br. (Cyperaceae), Imperata cylindrica (L.) P.Beauv. (Poaceae), Melastoma malabathricum L. (Melastomataceae), Austroeupatorium inulifolium (Kunth) R.M.King & H.Rob. (Asteraceae), Paspalum orbiculare G.Forst. (Poaceae), Paspalum conjugatum P.J.Bergius (Poaceae). Pada lahan pasca tambang berumur 11 tahun tercatat Blumea balsamifera (L.) DC. (Asteraceae), P. conjugatum, I. cylindrica, F. pauciflora, dan M. malabatrichum, Eragrostis chariis (Schult.) Hitchc. (Poaceae), Scleria levis Retz. (Cyperaceae), dan Commersonia bartramia (L.) Merr. (Malvaceae). Pada lahan pasca tambang berumur 38 tahun tercatat Rhodomyrtus tomentosa (Aiton) Hassk. (Myrtaceae), Eriachne pallescens R.Br. (Poaceae), Ischaemum sp. (Poaceae), Crotalaria sp. (Fabaceae), dan M. malabatrichum, F. pauciflora, Glechenia sp. (Gleicheniaceae), S. levis, V. pinnata, S. wallichii, E. inulaefolium, T. orientale, Dillenia suffruticosa (Griff.) Martelli, Nephentes sp.1. S. wallichii, V. pinnata, dan T. orientale adalah tiga jenis pohon tingkat semai dan hanya tingkat sapihan S. wallichii ditemukan di lahan pasca tambang berumur 38 tahun.
Species richness di lahan pasca tambang berumur 7 tahun yakni 0-2,2 meningkat menjadi 0-2,4 di lahan pasca tambang berumur 11 tahun, dan 0-5,3 di lahan pasca tambang berumur 38 tahun, dan 6,5-15,3 di hutan. Nilai dominansi jenis tercatat rendah di hutan yakni 0,05-0,15.
Pionir
Jenis tumbuhan pionir di lahan pasca tambang yang baru ditinggalkan atau pionir awal (early pioneer) adalah rumput-rumputan dari famili Cyperaceae dan Poaceae. Dengan semakin bertambah usia lahan pasca tambang timah yang mengandaikan peningkatan kualitas lingkungan, perawakan beberapa herba dan semak atau pionir akhir (late pioneer) dijumpai. Tumbuhan pionir bertindak sebagai nurse species bagi jenis tumbuhan yang akan mengkoloni selanjutnya, seolah-olah mempersiapkan perbaikan sifat fisik, kimia, dan biologi lahan agar pionir selanjutnya mampu hidup dan berkembang.
Jumlah jenis dan jumlah individu dari masing-masing perawakan meningkat sejalan dengan semakin bertambah usia suksesi. Jumlah jenis rumput di lahan pasca tambang berumur 0, 7, 11, dan 38 tahun berturut-turut sebesar nol, empat, lima, dan empat jenis dengan beberapa jenis di antaranya sama. Perawakan herba baru tercatat satu jenis pada lahan pasca tambang berumur 11 tahun dan meningkat menjadi empat jenis di lahan pasca tambang berumur 38 tahun, sekalipun jumlah tersebut masih lebih rendah dibandingkan di hutan.
Tiga jenis pohon pada tingkat semai dan satu jenis tingkat sapihan baru tercatat pada lahan pasca tambang timah berumur 38 tahun. Indeks kemiripan vegetasi bawah antara hutan dan lahan pasca tambang berumur 38 tahun tercatat 1,5%. Sangat lambatnya suksesi alami diduga sebagai konsekuensi atas rendahnya hara, rendahnya bahan organik, rendahnya pH dan kapasitas simpan air (Kielhorn et al. 1999). Prediksi Elfis (1998) bahwa 150 tahun dibutuhkan bagi lahan pasca tambang timah di Pulau Singkep menjadi hutan kerangas seperti sedia kala.
Pada tahapan ekosistem klimaks seperti hutan primer, atau sekunder lanjut, rumput tidak dijumpai lagi karena stratifikasi tumbuhan menghalangi cahaya matahari ke lantai hutan. Perawakan liana dan climber di hutan menunjukkan tingkat kesuburan tanah yang lebih tinggi dan mikroklimat yang sesuai. Pada tahapan proses dimana kondisi baru, keberadaan pionir dibutuhkan kembali sejauh ketersediaan bank biji (seed bank) di dalam tanah masih ada dan mampu tumbuh.
Suksesi Alami
Pada suksesi terjadi dekomposisi serasah yang meningkatkan bahan organik dan hara, dan menurunkan rasio C/N dan komponen pasir. Suciatmih dan Sastraatmadja (1998) juga melaporkan hal serupa di Pulau Singkep.
Suksesi alami ditunjukkan oleh perubahan jenis dan perawakan tumbuhan. Pada lahan pasca tambang yang baru saja ditinggalkan tidak ada jenis tumbuhan apa pun, kemudian pada lahan pasca tambang berumur 7 tahun ditemui empat jenis yakni rumput dari famili Cyperaceae dan Poaceae terutama F. pauciflora (Cyperaceae), Imperata cylindrica (Poaceae) yang lebih mendominasi dibandingkan dua jenis semak M. malabatrichum (Melastomataceae) dan E. inulaefolium (Asteraceae). Pada lahan pasca tambang berumur 11 tahun, lima jenis rumput (E. chariis, F. pauciflora, I. cylindrica, P. conjugatum, dan S. levis) masih mendominasi sekalipun tercatat satu jenis herba (B. balsamifera), dan dua jenis semak (C. bartramia dan M. malabatrichum).
Pada lahan pasca tambang berumur 38 tahun, dominasi empat jenis rumput jauh berkurang dan digantikan terutama oleh dominasi semak di samping tercatat lima jenis semak lain. Jenis rumput pun mengalami perubahan dari lahan pasca tambang berumur 7, dan 11 tahun. Hanya F. pauciflora, yang diduga memiliki adaptasi yang tinggi, yang tetap tercatat di lahan pasca tambang berumur 7, 11, dan 38 tahun. Pionir di lahan pasca tambang timah yang baru ditinggalkan akan digantikan oleh jenis yang lain sejalan dengan meningkatnya kesuburan tanah. Pionir tailing pasir pun berbeda dengan pionir tailing slime karena perbedaan sifat fisika dan kimia kedua jenis tailing itu.
Dari antara empat jenis rumput, E. pallescens dan Ischaemum sp. lebih mendominasi. Selain itu, perawakan di lahan pasca tambang berumur 38 tahun lebih banyak yakni tercatatnya tingkat semai dan tingkat sapihan dari tiga jenis pohon dan tiga jenis herba. Tahap suksesi pada lahan pasca tambang berumur 38 tahun diduga masih jauh sekali dengan hutan klimaks berdasarkan komposisi dan struktur vegetasinya. Pada beberapa tahapan di proses ini, alam seperti angin dan curah hujan, serta beberapa kelompok hewan seperti serangga, burung dan mammalia berperan penting pada penyebaran biji dan propagul.
Percepatan dengan Bantuan
Suksesi dapat dipercepat dengan bantuan manusia (assisted regeneration) dengan pemilihan jenis yang sesuai lingkungan saat itu dan pembenahan tanah yang tepat. Saran penggunaan semak dari famili Melastomataceae dan Myrtaceae, atau pohon Rhodamnia sp. oleh van Steenis (Whitten et al. 2000), atau pohon Fagraea fragans dan Casuarina equisetifolia (Mitchell 1957) akan lebih membutuhkan upaya pembenahan tanah lebih besar dan teknik budidaya yang lebih kompleks dalam memanipulasi lingkungan. Adaptasi xerofitik (tahan cekaman kekeringan) tampaknya dibutuhkan sebagai bagian dari kriteria pemilihan jenis agar tujuan tercapai.
Pemilihan atas dasar kategori pionir awal seperti T. orientale, Mallotus paniculatus (Lam.) Müll.Arg., Macaranga gigantea (Rchb.f. & Zoll.) Müll.Arg., Macaranga triloba (Thunb.) Müll.Arg., Macaranga hypoleuca (Rchb.f. & Zoll.) Müll.Arg. (Cheah 1995) dan Litsea sp. (Kanzaki M 2004, komunikasi pribadi), maupun pionir akhir seperti Scaphium sp., Dyera spp., dan Endospermum sp. (Cheah 1995) dan Vitex pubescens (Kanzaki M 2004, komunikasi pribadi) tidaklah cukup untuk setiap kondisi lahan terganggu dan setiap tahapan lahan pasca tambang timah.
Perjalanan UBB
Ilustrasi regenerasi alami atau suksesi alami di lahan bekas tambang timah di Bangka di atas menyerupai perjalanan Universitas Bangka Belitung (UBB) dari penggabungan Politeknik Manufaktur Timah (Polman Timah), Sekolah Tinggi Teknologi Pahlawan 12 (STT Pahlawan 12), dan Sekolah Tinggi Pertanian Bangka (STIPER Bangka) yang memperoleh izin penyelenggaraan sebagai universitas dan izin penyelenggaraan delapan Program Studi (Biologi, Teknik Mesin, Teknik Elektro, Perikanan, Manajemen, Akutansi, Ilmu Hukum, dan Sosiologi) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 52/D/O/2006 tanggal 12 April 2006, dan menjadi Perguruan Tinggi Negeri pada tahun 2010 dengan penambahan fakultas dan program studi dan pengembangan unit-unit pendukung lainnya.
Percepatan terus dilakukan dan semakin intens dalam beberapa tahun terakhir untuk memantapkan diri sebagai perguruan tinggi negeri yang lebih berkualitas sesuai Visi UBB 2035. Selamat ulang tahun ke 16.
UBB Perspectives
FAKTOR POLA ASUH DALAM TUMBUH KEMBANG ANAK
MEMANFAATKAN POTENSI NUKLIR THORIUM DI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG : PELUANG DAN DAMPAK LINGKUNGAN
Pengaruh Sifat Fisika, Kimia Tambang Timah Terhadap Tingkat Kesuburan Tanah di Bangka Belitung
Akuntan dan Jurnalis: Berkolaborasi Dalam Optimalisasi Transparan dan Pertanggungjawaban
Sustainable Tourism Wisata Danau Pading Untuk Generasi Z dan Alpa
Perlunya Revitalisasi Budaya Lokal Nganggung di Bangka Belitung
Semangat PANDAWARA Group: Dari Sungai Kotor hingga Eksis di Media Sosial
Pengaruh Pembangunan Produksi Nuklir pada Wilayah Beriklim Panas
Pendidikan dan Literasi: Mulailah Merubah Dunia Dari Tindakan Sederhana
Mengapa APK Perguruan Tinggi di Babel Rendah ?
Dekonstruksi Cara Pikir Oposisi Biner: Mengapa Perlu?
PENINGKATAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK DENGAN ASAS GOOD GOVERNANCE
UMP Bangka Belitung Naik, Payung Hukum Kesejahteraan Pekerja atau Fatamorgana Belaka?
Peran Generasi Z di Pemilu 2024
Pemilu Serentak 2024 : Ajang Selebrasi Demokrasi Calon Insan Berdasi
Menelusuri Krisis Literasi Paradigma dan Problematik di Bumi Bangka Belitung
Jasa Sewa Pacar: Betulkah Menjadi sebuah Solusi?
Peran Sosial dan Politis Dukun Kampong
Mahasiswa dan Masalah Kesehatan Mental
Analogue Switch-off era baru Industri pertelevisian Indonesia
Di Era Society 50 Mahasiswa Perlu Kompetensi SUYAK
HUT ke-77 Kemerdekaan Republik Indonesia, sudah merdekakah kita?
Pemblokiran PSE, Pembatasan Kebebasan Berinternet?
Pentingnya Pemahaman Moderasi Beragama Pada Mahasiswa di Perguruan Tinggi Umum
SOCIAL MAPPING SEBAGAI SOLUSI TATA KELOLA SUMBER DAYA ALAM
Bisnis Digital dan Transformasi Ekonomi
Masyarakat Tontonan dan Risiko Jenis Baru
Penelitian MBKM Mahasiswa Biologi
PEREMPUAN DI SEKTOR PERTAMBANGAN TIMAH (Refleksi atas Peringatan Hari Kartini 21 April 2022)
Kiat-kiat Menjadi “Warga Negara Digital” yang Baik di Bulan Ramadhan
PERANG RUSIA VS UKRAINA, NETIZEN INDONESIA HARUS BIJAKSANA
Kunci Utama Memutus Mata Rantai Korupsi
Pengelolaan Sumber Daya Air yang Berkelanjutan
SI VIS PACEM PARABELLUM, INDONESIA SUDAH SIAP ATAU BELUM?
KONKRETISASI BELA NEGARA SEBAGAI LANGKAH PREVENTIF MENGHADAPI PERANG DUNIA
Memaknai Sikap OPOSISI ORMAWA terhadap Birokrasi Kampus
Timah, Kebimbangan yang Tak akan Usai
Paradigma yang Salah tentang IPK dan Keaktifan Berorganisasi
Hybrid Learning dan Skenario Terbaik
NEGARA HARUS HADIR DALAM PERLINDUNGAN EKOLOGI LINGKUNGAN
Mental, Moral dan Intelektual: Menakar Muatan Visi UBB dalam Perspektif Filsafat Pierre Bourdieu
PEMBELAJARAN TATAP MUKA DAN KESIAPAN
Edukasi Kepemimpinan Milenial versus Disintegrasi
Membangun Kepemimpinan Pendidikan di Bangka Belitung Berbasis 9 Elemen Kewarganegaraan Digital
Menuju Kampus Cerdas, Ini yang Perlu Disiapkan UBB
TI RAJUK SIJUK, DIANTARA KESEMPATAN YANG TERSEDIA
Mengimajinasikan Dunia Setelah Pandemi Usai
ILLEGAL MINING TIMAH (DARI HULU SAMPAI HILIR)
PERTAMBANGAN BERWAWASAN LINGKUNGAN
Inflasi Menerkam Masyarakat Miskin Semakin Terjepit
NETRALITAS DAN INTEGRITAS PENYELENGGARA PEMILU
Siapa Penjarah dan Perampok Timah ???
Menjaga Idealisme dan Kemandirian Pers
POLITIK RAKYAT DAN TANGGUNG JAWAB PEMIMPIN
Penelitian Rumpon Cumi Berhasil di Perairan Tuing, Pulau Bangka
Gratifikasi, Hati-Hatilah Menerima Sesuatu
Perairan Tuing, Benteng Sumberdaya Perikanan Laut di Kabupaten Bangka
GRAND DESIGN KEPENDUDUKAN (Refleksi Hari Penduduk Dunia)
Kenalkan Bangka Belitung dengan Foto !