UBB Perspective
Universitas Bangka Belitung
Artikel UBB
Universitas Bangka Belitung's Article
24 Juni 2022 | 15:58:06 WIB
Masyarakat Tontonan dan Risiko Jenis Baru
Ditulis Oleh : Herza, M.A.
(Dosen Sosiologi Universitas Bangka Belitung)
Dunia sosial hari ini semakin menunjukkan ke arah karakteristik masyarakat yang disebut Guy Debord (seorang teoretisi dan filsuf dari Perancis) sebagai masyarakat tontonan (society of the spectacle). Era masyarakat tontonan ditandai dengan kondisi ketika orang-orang sibuk berlomba merepresentasikan dirinya ke pelbagai media, khususnya media sosial, seperti Instagram, Facebook, Youtube dan TikTok, untuk ditonton dan dimaknai oleh siapa saja. Seolah tidak hidup, jika tak menampilkan atau merepresentasikan semua bentuk kreatifitas diri ke media sosial. Seberapa banyak atau seberapa tertarik orang-orang menonton, sudah menjadi ukuran utama eksistensi dan relasi sosial yang berhasil seseorang bangun.
Apalagi dengan populernya pelbagai platform media sosial seperti yang penulis sebut di atas, semakin membuka banyak ruang yang bisa mewujudkan paripurnanya justifikasi bahwa masyarakat hari ini adalah betul-betul masyarakat tontonan. Bukan lagi dominan masyarakat industrial (abad 18, 19 dan 20 awal) yang aktifitas utama masyarakatnya adalah terfokus kepada produksi barang-barang manufaktur. Trennya saat ini adalah orang-orang dengan hasrat yang sangat tinggi untuk memproduksi dan menyebarkan pelbagai jenis konten (baik yang sifatnya informatif atau sekadar entertaining) di media sosial, yang basisnya adalah internet dan telekomunikasi.
Kalimat kunci dari Guy Debord (1970), tontonan bukan hanya kumpulan gambar atau citra, melainkan relasi sosial yang terjalin di antara orang-orang, yang dimediasi oleh gambar-gambar atau citra (The spectacle is not a collection of images but a social relation among people mediated by images). Lebih jauh, relasi sosial yang terbangun di era ini akan lebih banyak terjadi melalui pelbagai media massa atau media sosial, ketimbang secara langsung di dunia fisik. Oleh karenanya, dunia yang isinya relasi melalui citra-citra dan simbol representasi dari orang-orang itu, bahkan terasa lebih real dari dunia yang dianggap kebanyakan orang sebagai dunia real, yakni dunia yang bisa mempertemukan fisik manusia secara langsung.
Masyarakat Risiko Jenis Baru
Risiko yang hadir di era masyarakat tontonan, berbeda dengan risiko pada masyarakat industrial sebagaimana yang dibahas oleh Ulrich Beck dalam bukunya “Risk Society: Towards a New Modernity (1992)”. Jika bicara risiko dalam konteks masyarakat industrial, maka pembahasannya tidak terlepas dari persoalan kerusakan dan degradasi lingkungan yang dihasilkan dari proses industrialisasi, risiko kesehatan bagi para pekerja kelas bawah, atau persoalan tentang hasil produksi (barang, makanan dan peralatan) yang bisa membahayakan diri para pemakainya (Beck, 1992). Sementara pada masyarakat tontonan, risiko yang akan muncul pada setiap individu, akan berbeda dari apa yang sudah disebutkan itu.
Di era masyarakat tontonan saat ini, siapa saja bisa dengan mudah dan cepat merasakan risiko sanksi sosial berupa hujatan yang massif atau bahkan dilaporkan ke aparatus hukum, ketika memproduksi, lalu mendiseminasikan informasi atau konten yang tidak sesuai dengan standarisasi etika bermedia. Sedetik saja informasi atau konten tersebut diposting, semuanya memiliki potensi untuk disaksikan secara cepat oleh banyak orang, lalu viral, dan berujung kepada pujian atau cacian. Realitas ini terjadi, disebabkan oleh kemajuan teknologi informasi yang luar biasa, khususunya di bidang peranti elektronik dan internet.
Di era pra-masyarakat tontonan, tentu akan berbeda ceritanya. Salah bicara, salah sebar informasi, tak beretika bersikap, imbasnya hanya mendapat komentar oleh orang-orang di sekelilingnya saja. Tapi sekarang, ketika individu melakukan kesalahan seperti tersebut di atas melalui akun media sosialnya, maka orang-orang yang tidak kenal sekalipun akan bisa dengan mudah menghujat dan ikut memberi sanksi. Inilah salah satu risiko yang kerap menimpa individu-individu yang hidup di era masyarakat tontonan.
Risiko yang hadir di era masyarakat totonan, berbeda juga polanya dengan risiko yang terjadi pada masyarakat industrial. Pada masyarakat industrial (modern), mereka yang berada di kelas atas, entah itu karena memiliki banyak uang, pengusaha, pejabat publik, atau para pekerja yang levelnya sudah tinggi di dalam perusahaan tertentu, cenderung bisa menangani risiko yang diakibatkan oleh industrialisasi. Sebab, mereka bisa dengan mudah mengakses asuransi untuk keamanan kesehatan mereka jika sewaktu-waktu mengalami sakit yang diakibatkan oleh aktivitas-aktivitas industrial (Beck, 1992). Mereka juga bisa memilih tempat tinggal yang jauh dari lokasi industrial yang berpotensi untuk menganggu kesehatan dan lingkungan. Sehingga dalam konteks ini, individu-individu pada kelas atas, akan cenderung lebih safety, ketimbang individu-individu yang berada di kelas bawah.
Pola risiko yang hadir pada masyarakat industrial, yakni yang masih bisa membuat aman individu-individu dari kalangan tertentu tersebut, tidaklah berlaku di era masyarakat tontonan. Mau dia dari kalangan apapun, atau memiliki status sosial ekonomi yang tinggi sekalipun, tetap saja, orang-orang ini sangat memungkinkan untuk menerima pelbagai risiko dari setiap informasi atau konten yang tampilkannya di media.
Risiko lainnya yang akan terjadi pada individu-individu yang hidup di era masyarakat tontonan adalah konsumsi informasi palsu mengenai objek yang ditonton (di media sosial), yang kemudian berujung kepada penafsiran yang keliru. Kita tahu, di satu sisi, pada era ini orang-orang telah menganggap realitas yang berupa kumpulan citra-citra atau image yang disaksikannya di media adalah representasi dari diri penampil (pembuat konten). Tapi di sisi lain, apa yang ditampilkan itu adalah citra-citra/image yang kerapkali hanya menunjukkan bagian terbaik dari diri penampil saja, dengan kata lain tidak merepresentasikan seutuhnya kondisi dari diri penampil. Artinya yang dihadirkan di media adalah representasi yang setengah palsu atau bahkan bisa saja keseluruhannya palsu.
Pertanyaannya, apakah subjek yang menonton paham akan adanya pola representasi yang begitu? Di sinilah problemnya, pada era masyarakat tontonan ini, orang-orang kerap mengabaikan atau bahkan tidak sadar bahwa yang mereka konsumsi di media itu sarat dengan kepalsuan. Kebanyakan orang menganggap apa yang mereka tonton adalah betul-betul representasi dari realitas yang sebenarnya. Dan dari sinilah dimulainya penafsiran realitas yang berujung keliru, sebagaimana yang penulis maksud di atas.
Note: Artikel ini dimuat juga di Bangka Pos, edisi 23 Juni 2022
UBB Perspectives
Peran Generasi Z di Pemilu 2024
Pemilu Serentak 2024 : Ajang Selebrasi Demokrasi Calon Insan Berdasi
Menelusuri Krisis Literasi Paradigma dan Problematik di Bumi Bangka Belitung
Jasa Sewa Pacar: Betulkah Menjadi sebuah Solusi?
Peran Sosial dan Politis Dukun Kampong
Mahasiswa dan Masalah Kesehatan Mental
Analogue Switch-off era baru Industri pertelevisian Indonesia
Di Era Society 50 Mahasiswa Perlu Kompetensi SUYAK
HUT ke-77 Kemerdekaan Republik Indonesia, sudah merdekakah kita?
Pemblokiran PSE, Pembatasan Kebebasan Berinternet?
Pentingnya Pemahaman Moderasi Beragama Pada Mahasiswa di Perguruan Tinggi Umum
SOCIAL MAPPING SEBAGAI SOLUSI TATA KELOLA SUMBER DAYA ALAM
Bisnis Digital dan Transformasi Ekonomi
Penelitian MBKM Mahasiswa Biologi
PEREMPUAN DI SEKTOR PERTAMBANGAN TIMAH (Refleksi atas Peringatan Hari Kartini 21 April 2022)
Kiat-kiat Menjadi “Warga Negara Digital” yang Baik di Bulan Ramadhan
PERANG RUSIA VS UKRAINA, NETIZEN INDONESIA HARUS BIJAKSANA
Kunci Utama Memutus Mata Rantai Korupsi
Pengelolaan Sumber Daya Air yang Berkelanjutan
SI VIS PACEM PARABELLUM, INDONESIA SUDAH SIAP ATAU BELUM?
KONKRETISASI BELA NEGARA SEBAGAI LANGKAH PREVENTIF MENGHADAPI PERANG DUNIA
Memaknai Sikap OPOSISI ORMAWA terhadap Birokrasi Kampus
Timah, Kebimbangan yang Tak akan Usai
Paradigma yang Salah tentang IPK dan Keaktifan Berorganisasi
Hybrid Learning dan Skenario Terbaik
NEGARA HARUS HADIR DALAM PERLINDUNGAN EKOLOGI LINGKUNGAN
Mental, Moral dan Intelektual: Menakar Muatan Visi UBB dalam Perspektif Filsafat Pierre Bourdieu
PEMBELAJARAN TATAP MUKA DAN KESIAPAN
Edukasi Kepemimpinan Milenial versus Disintegrasi
Membangun Kepemimpinan Pendidikan di Bangka Belitung Berbasis 9 Elemen Kewarganegaraan Digital
Menuju Kampus Cerdas, Ini yang Perlu Disiapkan UBB
TI RAJUK SIJUK, DIANTARA KESEMPATAN YANG TERSEDIA
Mengimajinasikan Dunia Setelah Pandemi Usai
ILLEGAL MINING TIMAH (DARI HULU SAMPAI HILIR)
PERTAMBANGAN BERWAWASAN LINGKUNGAN
Inflasi Menerkam Masyarakat Miskin Semakin Terjepit
NETRALITAS DAN INTEGRITAS PENYELENGGARA PEMILU
Siapa Penjarah dan Perampok Timah ???
Menjaga Idealisme dan Kemandirian Pers
POLITIK RAKYAT DAN TANGGUNG JAWAB PEMIMPIN
Penelitian Rumpon Cumi Berhasil di Perairan Tuing, Pulau Bangka
Gratifikasi, Hati-Hatilah Menerima Sesuatu
Perairan Tuing, Benteng Sumberdaya Perikanan Laut di Kabupaten Bangka
GRAND DESIGN KEPENDUDUKAN (Refleksi Hari Penduduk Dunia)
Kenalkan Bangka Belitung dengan Foto !
DNSChanger dan Kiamat Kecil Internet
Kebablasan Otonomi Daerah : Obral Izin Pertambangan
Tips Menjadi Jurnalis Online Sejati
Saatnya Mencontoh Sumber Energi Alternatif Brazil