UBB Perspective
Universitas Bangka Belitung
Artikel UBB
Universitas Bangka Belitung's Article
02 Agustus 2022 | 10:45:22 WIB
Jalan Ketiga bagi Sarjana
Ditulis Oleh : Herza, M.A.
(Dosen Sosiologi FISIP UBB)
Pada 19 Juli 2022, Universitas Bangka Belitung (UBB) kembali mewisuda mahasiswa sebanyak 99 orang. Sebelumnya, pada bulan Maret tahun ini, UBB juga menamatkan 357 mahasiswa menjadi sarjana. Artinya, sampai pertengahan tahun ini saja, salah satu kampus ternama di Bangka Belitung ini sudah menyematkan gelar sarjana kepada 456 mahasiswa. Sementara itu, Universitas Muhammadiyah Bangka Belitung pada bulan Juni kemarin telah mewisuda sebanyak 139 Mahasiswa (Bangka Pos, 2022). Belum lagi ditambah kampus IAIN Syaikh Abdurrahman Siddik dan Institut Sains dan Bisnis Atma Luhur yang biasanya setiap tahun bisa mewisuda ratusan sarjana.
Sebagian besar sarjana dari pelbagai kampus tersebut bisa dipastikan berasal dari Provinsi Kepulauan Bangka Belitung ini sendiri. Bisa kita bayangkan, berapa banyak anak muda beserta orang tua di negeri serumpun sebalai pada tahun ini yang merasa senang, karena bagaimana pun menjadi sarjana adalah penanda bahwa para anak muda ini telah sukses menunaikan tanggung jawab mereka (baik untuk diri sendiri atau pun untuk orang tuanya) dalam ranah pendidikan formal yang berlevel tinggi, yakni kampus. Tidak semua anak muda yang beruntung merasakan bagaimana momen-momen saat disematkan gelar sarjana tersebut.
Tapi tunggu dulu. Apakah rasa senang atau bahagia itu tidak menyertakan kekhawatiran atau kedilemaan bagi mereka para sarjanawan?
Berdasarkan hasil perjumpaan dan obrolan dengan teman-teman yang sudah menyandang gelar sarjana, juga berlandaskan hasil pengamatan, penulis ingin mengatakan bahwa, para sarjana akan dihadapkan dengan kondisi apakah mereka akan tetap teguh dengan idealisme, yakni berkarya atau bekerja di tempat yang sesuai dengan skill, pengetahuan, ataupun gelar keilmuwan yang diperoleh selama kuliah— berupaya menciptakan atau merintis ruang berkarya/bekerja sendiri yang berbasis pada keinginan diri. Atau mengenyampingkan idealisme itu untuk langsung memanfaatkan setiap peluang berkarya/bekerja yang ada. Dalam bahasa yang berbeda, setiap peluang yang ada akan diambil meski perkejaan itu nantinya bertolak belakang dengan skill dan pengetahuan yang selama ini diasah di dunia kampus. Artinya, dalam konteks ini para sarjana harus merelakan kekalahan idealisme mereka karena keadaan yang tidak memungkinkan. Bahasa lainnya, mereka memilih untuk bersikap pragmatis saja, karena dianggap lebih rasional untuk bertahan hidup.
Jika pun tetap memilih bertahan dengan idealisme sebagaimana yang penulis maksud sebelumnya, tentu mereka akan dibayangi banyak risiko. Tidak bisa cepat mendapatkan kesempatan untuk berkarya, karena posisi ideal biasanya akan mendapatkan persaingan yang ketat dari banyak sarjana lainnya. Selain risiko itu, ditolak institusi atau perusahaan berkali-kali adalah konsekuensi yang besar kemungkinannya terjadi. Begitu pun ketika ingin meng-creat ruang berkarya secara mandiri sesuai potensi diri, juga tidaklah mudah. Butuh modal, sekaligus beban untuk mengembangkan ruang berkarya/bekerja itu, lebih banyak dibebani kepada diri sendiri. Kondisi begini adalah kondisi yang sulit dan kerap membuat orang-orang menyerah.
Jalan Ketiga
Di tengah adanya persoalan mendasar yang dialami para sarjana tersebut, bukan berarti semata-mata realitas hidup ini hanya memungkinkan mereka untuk bisa memilih salah satu di antara dua pilihan itu— bertahan dengan idealisme atau memilih untuk bersikap pragmatis. Alih-alih memilih salah satu di antara keduanya, menurut penulis, para sarjana tetap bisa mempertahankan dan mengimplementasi idealisme sembari memanifestasikan jalan pragmatis yang mereka pilih. Inilah yang penulis sebut sebagai “jalan ketiga bagi sarjana.” Bagaimana maksudnya?
Bagi penulis, boleh saja para sarjana untuk misalnya bekerja atau bekarya di tempat (ranah, institusi atau perusahaan tertentu) yang memang tidak relate dengan keilmuwannya. Namun di tempat itu, seseorang bergelar sarjana harus bisa sekreatif mungkin mencari ruang agar skill dan pengetahuan yang telah didapatkannya di kampus, sedikit banyaknya bisa disalurkan. Atau kalau di tempat bekerja terasa sulit untuk menyalurkan idealisme akademiknya, entah itu karena memang tak tersedia ruang, ataupun takut akan risiko buruk yang mengancam posisinya sebagai pekerja, maka sang sarjana ini bisa beralih ke ruang lain (yang tak ada hubungan dengan tempat pekerjaannya) untuk mengimplementasi dan merawat idealisme tersebut. Berikut penulis berikan contoh konkrit dari gagasan ini.
Dalam beberapa tahun terakhir, banyak sarjana sosiologi yang bekerja di perusahaan finance atau yang biasa disebut leasing, dan mereka ditempatkan di posisi yang justru lebih banyak menuntut untuk menguasai ilmu marketing atau manajemen yang basisnya adalah keilmuwan ekonomi. Kalau berkaca pada tataran idealnya seorang sarjana dari bidang keilmuwan sosiologi, maka profesi itu tidaklah pas, melainkan idealnya sarjana sosiologi menjadi seorang pemikir/analis sosial, pekerja sosial, peneliti sosial, konsultan sosial politik- sosial budaya, ataupun aktivis yang pro kepentingan masyarakat luas. Dalam konteks seperti ini, lantas bagaimana seorang sarjana sosiologi bisa tetap merawat dan mengimplementasikan dimensi idealita atau idealisme akademiknya?
Bagi penulis ada banyak jalan, pertama, sembari menjalankan peran sebagai pekerja perusahaan, mereka bisa saja mencari celah agar bisa mendapatkan ruang untuk berkontribusi memberikan perspektif sosiologisnya bagi program-program perusahaan finance tersebut, agar di satu sisi tetap bisa “laris” di masyarakat, dan di sisi lain program-programnya lebih humanis dan sosialis. Kedua, mereka bisa saja mengimplementasi idealismenya sebagai intelektual sosiologi dengan cara berani aktif mengkritisi sistem kerja perusahaan ketika bertentangan dengan nalar akademisnya. Ketiga, jika memang tak memungkinkan menjalankan dua skema di atas, maka sebagai seorang sarjana sosiologi, mereka bisa meng-creat ruang lain untuk berkontribusi dalam upaya mengkritisi atau memperbaiki kehidupan sosial yang ada di sekelilingnya. Bisa dengan menempuh jalan melalui tulisan, terlibat menjadi aktivis melaui lembaga tertentu, ataupun terlibat di ruang-ruang dan alternatif jalan lainnya.
Contoh konkrit lain dari jalan ketiga ini yang kontekstual dengan kondisi di Bangka Belitung, yakni ketika sarjana yang bukan berasal dari keilmuwan Pertanian atau Agrikultur, yang kita misalkan saja sarjana dari Ilmu Hukum. Lalu, dia dipaksakan oleh keadaan atau dengan sengaja terjun ke dunia perkebunan karena alasan pragmatis seperti yang diceritakan di awal-awal tulisan tadi.
Bagi penulis, sang sarjana ilmu hukum ini akan tetap bisa merawat dan mengimplementasikan idealismenya sebagai lulusan ilmu hukum di tengah jalan pragmatis yang dipilihnya melalui banyak cara. Salah satunya yang paling mungkin dilakukan adalah diawali dengan membangun interaksi sosial serta relasi yang baik dengan para petani/pekebun di sekelingnya. Ketika itu sudah terwujud, maka sang sarjana hukum ini bisa pelan-pelan memberikan kontribusi dengan cara membangun kesadaran dan/atau memberi pencerahan terkait produk hukum dari pemerintah yang berasosiasi langsung dengan profesi mereka sebagai petani/pekebun. Tidak hanya itu, para pekebun atau petani di desa-desa juga kerapkali membutuhkan advokasi secara hukum, dan menurut penulis, jika terdapat petani lainnya yang basis keilmuwannya berasal dari ilmu hukum, maka akan lebih utama diharapkan mengisi peran itu. (Artikel sudah pernah dimuat di rubrik opini Bangkapos, edisi 1 Agustus 2022)
UBB Perspectives
FAKTOR POLA ASUH DALAM TUMBUH KEMBANG ANAK
MEMANFAATKAN POTENSI NUKLIR THORIUM DI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG : PELUANG DAN DAMPAK LINGKUNGAN
Pengaruh Sifat Fisika, Kimia Tambang Timah Terhadap Tingkat Kesuburan Tanah di Bangka Belitung
Akuntan dan Jurnalis: Berkolaborasi Dalam Optimalisasi Transparan dan Pertanggungjawaban
Sustainable Tourism Wisata Danau Pading Untuk Generasi Z dan Alpa
Perlunya Revitalisasi Budaya Lokal Nganggung di Bangka Belitung
Semangat PANDAWARA Group: Dari Sungai Kotor hingga Eksis di Media Sosial
Pengaruh Pembangunan Produksi Nuklir pada Wilayah Beriklim Panas
Pendidikan dan Literasi: Mulailah Merubah Dunia Dari Tindakan Sederhana
Mengapa APK Perguruan Tinggi di Babel Rendah ?
Dekonstruksi Cara Pikir Oposisi Biner: Mengapa Perlu?
PENINGKATAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK DENGAN ASAS GOOD GOVERNANCE
UMP Bangka Belitung Naik, Payung Hukum Kesejahteraan Pekerja atau Fatamorgana Belaka?
Peran Generasi Z di Pemilu 2024
Pemilu Serentak 2024 : Ajang Selebrasi Demokrasi Calon Insan Berdasi
Menelusuri Krisis Literasi Paradigma dan Problematik di Bumi Bangka Belitung
Jasa Sewa Pacar: Betulkah Menjadi sebuah Solusi?
Peran Sosial dan Politis Dukun Kampong
Mahasiswa dan Masalah Kesehatan Mental
Analogue Switch-off era baru Industri pertelevisian Indonesia
Di Era Society 50 Mahasiswa Perlu Kompetensi SUYAK
HUT ke-77 Kemerdekaan Republik Indonesia, sudah merdekakah kita?
Pemblokiran PSE, Pembatasan Kebebasan Berinternet?
Pentingnya Pemahaman Moderasi Beragama Pada Mahasiswa di Perguruan Tinggi Umum
SOCIAL MAPPING SEBAGAI SOLUSI TATA KELOLA SUMBER DAYA ALAM
Bisnis Digital dan Transformasi Ekonomi
Masyarakat Tontonan dan Risiko Jenis Baru
Penelitian MBKM Mahasiswa Biologi
PEREMPUAN DI SEKTOR PERTAMBANGAN TIMAH (Refleksi atas Peringatan Hari Kartini 21 April 2022)
Kiat-kiat Menjadi “Warga Negara Digital” yang Baik di Bulan Ramadhan
PERANG RUSIA VS UKRAINA, NETIZEN INDONESIA HARUS BIJAKSANA
Kunci Utama Memutus Mata Rantai Korupsi
Pengelolaan Sumber Daya Air yang Berkelanjutan
SI VIS PACEM PARABELLUM, INDONESIA SUDAH SIAP ATAU BELUM?
KONKRETISASI BELA NEGARA SEBAGAI LANGKAH PREVENTIF MENGHADAPI PERANG DUNIA
Memaknai Sikap OPOSISI ORMAWA terhadap Birokrasi Kampus
Timah, Kebimbangan yang Tak akan Usai
Paradigma yang Salah tentang IPK dan Keaktifan Berorganisasi
Hybrid Learning dan Skenario Terbaik
NEGARA HARUS HADIR DALAM PERLINDUNGAN EKOLOGI LINGKUNGAN
Mental, Moral dan Intelektual: Menakar Muatan Visi UBB dalam Perspektif Filsafat Pierre Bourdieu
PEMBELAJARAN TATAP MUKA DAN KESIAPAN
Edukasi Kepemimpinan Milenial versus Disintegrasi
Membangun Kepemimpinan Pendidikan di Bangka Belitung Berbasis 9 Elemen Kewarganegaraan Digital
Menuju Kampus Cerdas, Ini yang Perlu Disiapkan UBB
TI RAJUK SIJUK, DIANTARA KESEMPATAN YANG TERSEDIA
Mengimajinasikan Dunia Setelah Pandemi Usai
ILLEGAL MINING TIMAH (DARI HULU SAMPAI HILIR)
PERTAMBANGAN BERWAWASAN LINGKUNGAN
Inflasi Menerkam Masyarakat Miskin Semakin Terjepit
NETRALITAS DAN INTEGRITAS PENYELENGGARA PEMILU
Siapa Penjarah dan Perampok Timah ???
Menjaga Idealisme dan Kemandirian Pers
POLITIK RAKYAT DAN TANGGUNG JAWAB PEMIMPIN
Penelitian Rumpon Cumi Berhasil di Perairan Tuing, Pulau Bangka
Gratifikasi, Hati-Hatilah Menerima Sesuatu
Perairan Tuing, Benteng Sumberdaya Perikanan Laut di Kabupaten Bangka
GRAND DESIGN KEPENDUDUKAN (Refleksi Hari Penduduk Dunia)
Kenalkan Bangka Belitung dengan Foto !