+62 (0717) 422145
Link Penting UBB

Artikel Feature UBB

Universitas Bangka Belitung's Feature
26 Agustus 2008 | 05:42:51 WIB


Permasalahan Tanah Adat Di Bangka Belitung


Di wilayah Bangka Belitung, tanah adat masih menjadi pengetahuan yang abstrak hingga saat ini. Tanah adat sering juga disebut dengan tanah ulayah atau tanah kawasan.

Tanah tersebut pada awalnya adalah tanah yang dimanfaatkan penduduk pemukim di mana mereka hidup menetap dan mencari penghidupan di dalamnya, tanah kawasan itu menjadi milik bersama karena mereka bergantung hidup di dalamnya secara tradisional turun temurun; baik berburu, berladang atau pun mencari hasil-hasil hutan di dalamnya.

Jadi tanah ulayah pada dasarnya adalah sumber dari segala sumber kehidupan mereka. Dari filosopi inilah kemudian kita mengenal sebutan “Tanah Tumpah Darahku” sebagai wujud kecintaan yang sakral pada tanah tempat mereka dilahirkan dan tumbuh berkembang di sana.

Tanah ulayah itu berlanjut terus berabad-abad karena tradisi tersebut, seiring bertambahnya jumlah penduduk dan meluasnya pemukiman; dari hutan menjadi huma, kelekak, parong, kubok, kampung, desa, dan seterusnya maka perubahan itu memerlukan pengaturan karenanya munculah kemudian istilah tanah adat atau wilayah yang diatur untuk kepentingan masyarakat yang memanfaatkannya. eksisnya tanah adat yang di atur oleh ketua adat di pemukiman tersebut; kepala suku, dukun, batin, depati, raja, dan lain-lain dengan sistem yang di sesuaikan dengan wilayah yang kemudian di sebut dengan aturan adat.

Aturan itu kemudian disebut hukum adat, hukum itu ada yang tertulis dan tidak tertulis, sejauh ketaatan penduduk di situ tetap berjalan maka hukum adat selalu tidak tertulis karena pada dasarnya masyarakat yang beradat dan sadar dengan adat istiadat maka mereka pasti menghormati hukum itu. Masyarakat tradisional Bangka Belitung termasuk kategori masyarakat adat yang sadar dan taat pada hukum adat yang tak tertulis.

Karenanya itulah, tanah adat adalah tanah penduduk pemukim yang mengitari wilayahnya secara turun-temurun sesuai dengan proses seperti uraian di atas. Munculnya istilah tanah negara, itu baru ada setelah terbentuknya Negara Repuklik Indonesia. Tetapi negara dalam kebijakannya tetap berpihak pada rakyat maka negara tetap berpendirian dan menghargai hak tanah rakyat atau tanah adat itu. Karena itu, pada pasal 33 UUD 1945 ayat 3. “Penguasaan tanah” oleh negara tetap dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.


Munculnya berbagai kepentingan atau usaha pemanfaatan tanah maka sistem pengaturan tata guna tanah kemudian diatur dengan undang-undang pokok agraria. Persoalan yang muncul sekarang adalah ketika kita tidak berpedoman pada pasal 33 sebagai pasal yang lebih kuat dari segala pasal yang ada terhadap undang-undang yang mengatur ditingkat bawahnya maka akan terjadi salah penafsiran atau mungkin disalahtafsirkan.

Banyak kemudian, demi kepentingan institusi atau orang-perorang; kapitalis, broker, atau pribadi lainnya yang mau menguasai apa yang di sebut tanah negara yang di dalamnya terdapat tanah ulayah tersebut, mereka menguasainya tanpa mengindahkan kepentingan yang lebih luas seperti yang di amanatkan oleh pasal 33 ayat 3 UUD 1945 tersebut. Karenanya timbulah konplik kepentingan di dalamnya. fenomena konplik ini sudah menjadi persoalan klasik di negara ini.

termasuk beberapa persoalan tanah di wilayah Bangka Belitung. Karena itulah, sepatutnya kita berkiblat pada kepentingan untuk kemakmuran rakyat. Karena tolokukur kemakmuran menjadi berbeda dari tiap dimensi maka seringkali ketika pemanfaatan tanah, baik oleh institusi, kapitalis, atau perorangan yang justru mengeliminasi atau memiskinkan rakyat pemukim di wilayah tanah ulayahnya, seperti penomena urbanisasi pada masyarakat agraris; padahal ketika petani kehilangan tanahnya maka pemerintah mendapatkan persoalan sosial baru yang tak kalah tragis jika dibandingkan dengan rakyat yang “tak makmur” tapi hidup tentram di tanah wilayah pemukimannya.


Rakyat atau masyarakat di sekitar tanah ulayahnya dengan ukuran kemakmuran masing-masing seharusnya tidak terusik oleh kepentingan yang hanya menguntungkan diri sendiri, atau kelompk yang lebih kecil karena itulah pemerintah hendaknya lebih teliti dan jeli jika ada perorangan yang banyak menguasai tanah dengan legislasi hukum tapi tak jelas pemanfaatannya secara produktif.


Karena itu juga rakyat jangan terjebak ingin cepat melepaskan tanahnya pada pihak lain tapi justru kemudian memiskinkan anak cucu mereka di kemudian hari karena tak ada lagi memilki tempat bermukim dan berusaha. Tanah Adat Bagaimana dengan tanah adat di Bangka Belitung. Perbandingan Sistem hukum adat yang kita suguhkan di sini adalah yang berlaku di Belitung karena struktur adat di sana masih relevan dan terjaga meski saat ini sudah banyak juga yang terdegredasi.

Tanah adat muncul sejak lama dan di kuasai oleh masyarakat secara tradisional, di atur sistemnya oleh Depati Cakraninggrat sebagai penguasa adat yang kemudian ditransformasikan sampai ke level bawahnya yaitu Dukon Kampong. Tanah adat itu terbagi menjadi tiga sesuai dengan pemanfaatannya, yang Pertama tanah hutan lindung, kedua tanah hutan cadangan selanjutnnya adalah tanah hutan ume atau ladang tanah ume, Tanah ladang inilah yang sekian tahun berikutnya menjadi tanah adat wilayah atau ulayah sering di sebut dengan “Kelekak” seperti Hutan Kelekak Datuk, Kelekak Teledok, Kelekak Usang, Kelekak Kik Barat, Kelekak Kapok, Kelekak Ludai, dan puluhan Hutan Kelekak lainnya. Kelekak pun terbagi menjadi dua; kelekak yang terbiarkan menjadi hutan asli kembali setelah diladangi, atau kelekak tanam tumbuh setelah ditanami dengan berbagai pohon yang bisa dimanfaatkan hasilnya.

Dalam prosesi ladang menjadi kelekak, sistem tradisi yang dianut oleh rakyat pemukim kedua wilayah Bangka Belitung tak jauh berbeda. Karenanya sistem atau hukum adat istiadat ini tetap menjadi pengetahuan masyarakat tradisional hingga saat ini. karenanya tak heran jika kemudian hari dalam berbagai konflik tanah, mereka mengklaim tanah tersebut adalah tanah moyang mereka karena moyang mereka telah pernah menggarap tanah itu sebelumnya.

Karena itulah dalam masyarakat adat tradisional Belitung, sistem penguasaan tanah menyerahkan batas-batas wilayah tanah adatnya pada dukun Kampong yang tahu batas-batas wilayah hutan mereka. Pengaturan kekuasaan para dukon kampong tentang wilayah atau tanah adat tersebut tidaklah memerlukan bukti fisik kertas oleh legislasi negara, barulah kemudian pada masa Pendudukan Belanda muncul istilah Batas Mynterein dengan hutan Gemeente, hutan Gouvernement, dan hutan Boschcompleek.

Tanah adat hutan lindung biasanya adalah tanah hutan-hutan yang melindungi sumber-sumber air sungai. Maka diantaranya, hutan hutan tersebut adalah hutan yang terdapat di hulu-hulu sungai, seperti hulu Sungai Lenggang, Renggiang, Buding, Kubu, Cerucok dan hulu sungai lainnya. Tanah adat hutan cadangan adalah tanah hutan-hutan yang banyak menghasilkan hasil hutan seperti; damar, garu, madu, kayu peramu rumah dan lain-lain, hasil hutan ini memang bagian dari komoditi perniagaan pihak kerajaan maka raja atau depati mesti melindunginya hutan ini. Tanah hutan peladangan adalah tanah rakyat yang kemudian kita kenal menjadi hutan kelekak dan kelekak tumbuhan setelah digarap oleh penduduk.

Sistem pengarapan ulang atas tanah yang sudah menjadi kelekak hutan sering terjadi di Bangka Belitung, ini disebabkan karena penggarap masih merasa berhak menggarap tanah itu, karenanya dalam masyarakat tradisional yang mau menggarap tanah mereka yang sudah tak ketahuan rimbanyanya lagi, akan meminta bantuan kepada dukun, dan di Belitung mengenal adanya dukun hutan, dan dukun lainnya seperti dukun api; jadi jika mau membakar hutan buat berladang serahkan pada akhlinya ini, hutan takkan terbakar ke mana-mana.


Karena itu, kearifan lokal tentang hutan, daerah ini takkan mengenal adanya perambah hutan yang membakar hutan sekenanya juga takkan ada pembabatan hutan semena-mena oleh masyarakat adatnya karena sistem adat sudah mengatur sedemikian rupa secara sistemik dan futuralistik Perlindungan hutan secara adat itu juga dikarenakan adanya kearifan untuk menjaga ekosistem di dalamnya; tentang berburu misalnya, itu sudah di atur sedemikian rupa, diantaranya tidak diperkenankan berburu pada bulan purnama; secara mistik itu adalah hak berburu Antu Berasuk, tapi ilmiahnya karena saat purnama adalah musim kawin para binatang hutan, juga tak diperbolehkan membunuh hewan buruan jika hewan tersebut lagi hamil dan berbagai kearifan lainnya.

Karena itulah, Bangka Belitung termasuk dalam urutan ke 7 dari 19 dari wilayah hukum adat di seluruh wilayah hukum adat yang ada di Indonesia. Kesembilan belas wilayah hukum adat itu memiliki struktur budaya mantap melalui zaman sampai ambang waktu sekarang, tidak lenyap oleh peradaban import ( J.W.M Bakker Sj. struktur kebudayaan “Filsapat Kebudayaan” Kanisius 1984) Tanah Hutan Bangka Belitung Apa yang terjadi saat ini ketika setiap orang telah berhak mengatasanamakan berbagai kepentingan untuk menguasai tanah wilayah. Sejarah mencatat, kepentingan menguasai tanah secara brutal sudah berawal ketika penambangan timah mengekploitasi hutan-hutan produksi, sejak zaman pendudukan Belanda, hingga zaman kini, tanah-tanah hutan tergerus tanpa ada hutan pengganti yang seimbang secara biologis yaitu kembalinya ekosistem yang mendekati sediakala.

Pada masa penambangan timah oleh Belanda upaya penyelamatan tanah-tanah adat oleh pemangku adat yaitu para dukun di Belitung nampak juga kurang begitu efektif meski banyak daerah yang dalam istilah mistis para masyarakat pemukim tradisional dengan sebutan“Pengkopongan” bijih timah, artinya wilayah itu sengaja dikosongakan bijih timahnya secara mistis oleh para dukun agar wilayah itu terselamatkan. Upaya para dukun tak efektif karena pada masa itu, Depati Belitong sudah dapat diajak kerjasama oleh Belanda dengan diberikannya penguasaan saham dari beberapa parit timah, diantaranya Parit Timah Bengkuang di distrik Manggar dan beberapa parit lainnya.

Meskipun begitu pada tahun 1927, setelah 75 tahun badan usaha penambangan timah Belanda, Billiton Maatschappy memberikan konvensasi kepada rakyat Belitung dengan menerbitkan Dana Abadi untuk Kesejahteraan Rakyat Belitung di bidang pendidikan dan kesehatan yang di sebut dengan Dana Bevolkingfonds dana itu berjumlah f. 750.000,- Dana itu hingga kini tak ketahuan rimbanya. Bagaimana di bangka? Seperti halnya Belitung, Bangka pun mengalami nasib yang sama tantang sejarah tanah oleh penambangan timah tersebut.

Saat ini persoalan yang sering muncul adalah konflik sosial yaitu berbenturannya masyarakat pemukiman tanah ulayah atau tanah wilayah dengan para pengusaha yang menguasai hutan wilayah mereka, seperti perusahaan perkebunan kelapa sawit; rakyat sudah merasa memilki tanah ulayah atau wilayah itu sejak turun temurun sebagai sumber hidup mereka, sementara pihak perusahaan yang mengatasnamakan kepentingan yang lebih luas juga merasa berhak atas tanah tersebut Kearifan yang bagaimakah mesti diterapkan untuk menyelamatkan tanah hutan wilayah atau tanah ulayah, sementara kepentingan banyak pihak yang tak berpihak kepada masyarakat setempat terus mengintai?

Penulis, Ian Sancin di Begalor.comDirektur Sapir Institute bidang Lintas Sosial Budaya, Bangka Belitung.

Feature UBB

Berita UBB

UBB Perspectives