+62 (0717) 422145
Link Penting UBB

Artikel Feature UBB

Universitas Bangka Belitung's Feature
13 Oktober 2008 | 19:00:13 WIB


Kisah para Pencari Udang di Kepulauan Bangka Belitung


Kabupaten Belitung, Propinsi Bangka-Belitung, pernah terkenal dengan hasil timahnya. Namun kurang lebih sekitar tahun 2000, masa keemasan penambangan timah mulai memudar. Buruknya lagi, limbah buangan hasil penambangan timah atau tailing menimbulkan efek kerusakan di sebagian pesisir pantai.

Para nelayan tradisional, adalah salah satu pihak yang harus menghadapi perubahan ekosistem di sebagian pesisir pantai, karena limbah hasil penambangan timah tersebut. Antara lain, semakin jauhnya jarak yang harus mereka tempuh untuk mendapat hasil tangkapan lebih banyak. Ratusan nelayan udang yang tersebar di pesisir pantai selatan dan tenggara Pulau Belitung menjadi saksi betapa kini mereka harus menempuh jarak 30-an kilometer untuk tiba ke tempat pencarian udang.

Secara berkelompok, berjumlah 7 hingga 10 orang, para pencari udang setempat biasa menyewa sebuah kendaraan untuk mengantar mereka hingga ke lokasi. Pasangan suami istri Ayup dan Sarbiyar adalah di antaranya. Perlengkapan sederhana untuk menangkap udang, tak lupa disandang. Seperti ambong atau keranjang tempat menyimpan hasil tangkapan. Juga tanggok alias jaring, serta terucuk atau sejenis wadah anyaman yang terbuat dari bambu.

Namun demikian, banyak faktor pula yang harus dipertimbangkan agar upaya pencarian tidak sia-sia. Lokasi biasanya dipilih atas kesepakatan bersama, beberapa tempat seperti Pantai Tanjung Rau, Pantai Begantungan, atau Pantai Membalong, merupakan tempat dimana jenis udang jambu atau udang pasir banyak dijumpai. Umumnya pantai-pantai tersebut memiliki struktur pantai yang landai dengan gelombang air laut agak tenang, karena arus pasang laut yang lambat.

Kondisi seperti inilah yang sangat disukai udang yang biasa hidup secara berkelompok. Sambil menunggu malam tiba, para pemburu udang mempersiapkan diri, mengkonsumsi bekal yang sudah dibawa dari rumah. Kondisi cuaca di laut yang tak bisa diprediksi sebelumnya, menyebabkan para pemburu harus mempersiapkan kondisi tubuh sebaik mungkin. Saat itulah senda gurau antar mereka menjadi selingan, sebelum rutinitas yang menuntut kesabaran dijalani hingga malam bahkan terkadang dinihari.

Setelah matahari mulai menghilang dari permukaan bumi, para pemburu udang pun satu per satu mulai menaiki perahu. Lampu senter di kepala yang menggunakan tenaga aki 6 volt, mulai dihidupkan. Tujuannya, menarik perhatian udang yang menjadi buruan. Ayup dan Sarbiyah biasanya tahu dimana harus menemukan udang. Selain bisa ditemui diantara pasir dan permukaan laut, tak jarang udang bersembunyi di bawah pasir.

Bagi yang tidak berpengalaman, boleh dikatakan sangat sulit mendapatkan udang yang memiliki panjang 5 hingga 10 cm tersebut. Namun warna merah dari mata udang yang muncul apabila terkena sinar, dengan mudah dikenali para pemburu. Satu persatu udang pun ditangkap dengan menggunakan anyaman bambu atau terucuk. Udang yang sudah terlihat, dikurung dalam terucuk, lalu dirogoh dengan tangan. Atau jika ingin lebih cepat dan praktis dapat memakai semacam jaring atau tanggok.

Udang diserok, dan pasir yang terbawa langsung terbuang melalui sela-sela jaring. Tinggallah udang tersisa. Umumnya jika cuaca bersahabat, 8 hingga 10 kg udang dengan berbagai ukuran diperoleh para pemburu. Namun sebaliknya jika rejeki belum berpihak, 1 kg pun harus dengan susah payah diperoleh dalam semalam. Hasil tangkapan ini, sebagian dimakan, sebagian lagi dijual untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Jika musim udang tiba yakni peralihan antara musim kemarau ke musim hujan, harga udang di pasar berkisar 15 ribu rupiah per kilogram.

Namun ketika udang sulit diperoleh, harganya bisa mencapai 25 ribu rupiah per kilogram. Malam pun semakin larut. para pencari udang masih tekun dalam pencariannya. Menyusuri sepanjang pantai, berharap kilatan mata merah milik buruan mereka terlihat (sumber indosiar.com)

Source : Begalor.com

Feature UBB

Berita UBB

UBB Perspectives