+62 (0717) 422145
Link Penting UBB

Artikel Feature UBB

Universitas Bangka Belitung's Feature
22 Oktober 2008 | 14:22:21 WIB


Giri Sasana Menumbing Bangka, Aset Sejarah yang Diasingkan


Kompleks Giri Sasana Menumbing, di Muntok Kabupaten Bangka Barat tempat diasingkannya Presiden Soekarno dan kawan-kawan, seperti tinggal nama. Aset sejarah itu terkesan dibiarkan dan diasingkan.
Ruang kerja Bung Karno, Kamar 102

Selain Bung Karno, sejumlah tokoh nasional juga pernah diasingkan di bangunan yang terletak di pucuk Gunung Menumbing ini. Sebut, misalnya, Wakil Presiden Mohammad Hatta, Sekretaris Negara Pringgodigdo, Menteri Luar Negeri Agus Salim, Menteri Pengajaran Ali Sastroamidjojo, Ketua Badan KNIP Mr Assaat,Wakil Perdana Menteri Mr Moh Roem dan Kepala Staf Angkatan Udara Komodor Udara S Suryadarma.

Ruang kerja Bung Karno, Kamar 102
Ruang kerja Bung Karno, Kamar 102


Berdasarkan informasi tertulis yang dipajang di ruang 102, Soekarno dan kawan-kawan dibawa ke tempat ini dibagi menjadi tiga kelompok atau rombongan.

Rombongan pertama adalah Mohammad Hatta, Mr A.G. Pringgodigdo, Mr. Assaat, dan Komodor Udara S Suryadarma. Mereka datang ke tempat ini tanggal 22 Desember 1948 dari Yogyakarta. Rombongan kedua adalah Mr. Moh Roem dan Mr. Ali Sastroamidjojo, yang dibawa lansung oleh Belanda dari Yogyakarta ke Manumbing pada tanggal 31 Desember 1948 dan rombongan ketiga adalah Bung karno dan Agus Salim didatangkan ke Bangka pada tanggal 6 februari 1949 dari tempat pengasingannya Kota Prapat, Sumatera Utara yang berdekatan dengan Danau Toba. Mereka datang dengan pesawat Catalina yang mendarat di Muara Sungai Pangkalbalam. Soekarno dan H. Agus Salim ini dipindahkan ke Bangka atas permintaan Presiden Soekarno agar mudah konsultasi dengan Moh. Hatta, atas permintaan Soekarno juga rombongan dibagi 2 yaitu menginap di Manumbing dan Wisma Ranggam

Di komplek dengan ketinggian sekitar 445 meter dari permukaan laut itu lah, Soekarno dan kawan-kawan menjalani hari-harinya semasa pengasingan. Sayangnya, aset itu tak terawat. Padahal di tempat itu banyak dihasilkan keputusan penting terkait dengan keberlangsungan negara ini.

Pekan lalu, wartawan Metro Bangka Belitung berkunjung ke sana. Perjalanan ke sana memang membuat jantung deg-degan. Maklum jalan menuju punyak hanya untuk satu jalur mobil dan berbelok-belok. Ditambah lagi aspal lama yang ditumbuhi jamur membuat jalan agak sedikit licin. Bila musim hujan itu menjadi sangat licin, sehingga kerapkali tidak bisa dilewati. Hutan yang terlihat dari balik kaca mobil masih kelihatan asri. Pohonnya besar sekali, mungkin sejak dulu belum pernah ditebang, kata seorang teman. Setelah menempuh perjalanan dengan melewati jalan yang terjal, licin, dan berbelok-belok, dan pos satpam di pintu masuk akhirnya sampailah di Kompleks Giri Sasana Menumbing tersebut.

Sebuah mobil wisata terpakir di pinggir salah satu gedung. Beberapa orang di antaranya mengabadikan kunjungan mereka dengan handycamp. Bayar Mas. Satu orang Rp2.000 dan mobil Rp10.000. Kalau sopirnya gratis, kata Julika, seorang pegawai dari Hotel Menumbing yang sudah 14 tahun bekerja.

Namun tak data pasti kapan Kompleks Giri Sasana Menumbing ini dibangun. Menurut Julika, Giri Sasana Menumbing ini dibangun oleh para pekerja rodi masa penjajahan Belanda pada tahun 1927. Sementara dari sumber lain menyebutkan komplek itu dibangun pada tahun 1890 dan sumber lainnya pada tahun 1932. Bangunan ini sempat digunakan oleh Banka Tin Winning, cikal bakal PT Timah. Arsitektur bangunan pun kelihatan apik. Dinding dibuat dengan batu granit.

Di atas lahan seluas dua hektar itu terdapat tiga bangunan, yakni bangunan utama yang terdiri 6 kamar dan dua pavilion terdiri 6 kamar dan 7 kamar. Tahun 1996, Pemerintah Kabupaten Bangka, saat itu masih tergabung dengan Provinsi Sumatera Selatan, menyewakan bangunan bersejarah tersebut kepada PT Carmeta selama 15 tahun untuk dikelola sebagai hotel dan restoran.

Giri Sasana Menumbing pun berubah nama menjadi Hotel Jati Menumbing. Ada sekitar 30 kamar di sana. Menurut Julika, pada awal-awal pengelolaan, wisatawan lokal ataupun mancanegara banyak berkunjung dan menginap di hotel tersebut. Namun, sejak dua tahun terakhir, para pengunjung, baik yang hanya sekadar datang atau menginap sepi sekali. Dalam seminggu kira-kira ada 50 orang yang datang. Sementara tamu yang menginap tidak ada lagi, katanya.

Julika sendiri tak tahu mengapa Pemkab Bangka mengizinkan Komplek Giri Menumbing tersebut dikontrakkkan kepada PT Carmeta yang selanjutnya dijadikan Hotel Menumbing. Sayangnya di tempat aset sejarah itu pun dibangun menara sarana telekomunikasi dan stasiun pemancar siaran televisi. Secara tak sadar keberadaan menara itu jelas merusak lanskap keseluruhan situs bersejarah tersebut.

Dikatakan Julika, sekitar 1,5 tahun lagi kontrak PT Carmeta terhadap Komplek Giri Sasana Menumbing akan habis. Sepengetahuannya, PT Carmeta tidak berminat lagi untuk memperpanjang kontrak tersebut. Kita tidak memperpanjang lagi. Kita pun berharap pemerintah daerah segera mengambil pengelolaan tempat ini agar tak terbengkalai, katanya. Sampai saat ini tambah Julika, Pemkab Bangka Barat belum pernah mengucurkan dana untuk membantu pengelolaan tempat tersebut.

Pakai Lampu Minyak

Karena sepinya pengunjung, membuat pemasukan hotel sangat minim. Akibatnya, genset yang biasa digunakan sebagai sumber penerangan tidak dihidupkan lagi. Terpaksa, pada malam hari Julika menggunakan lampu minyak tanah sebagai penerang. Akibat dari sepinya pengunjung kalau malam terpaksa menggunakan lampu minyak tanah. Kalau menggunakan genset biaya operasaionalnya tidak mencukupi, tambahnya.

Di gedung utama itulah terdapat kamar Bung Karno pada masa pengasingan dulu pada tahun 1948. Namun besi yang dulu dijadikan terali sudah tidak ada dan dibiarkan plong. Saat Megawati berkungjung ke sana, dia meminta besi itu dipasangkan lagi. Sayangnya kata Julika, saat pertama kali pertama masuk ke sana ruangan itu pun sudah seperti itu. Di gedung itu pun terdapat sebuah lonceng yang sering digunakan tentara Belanda untuk keperluan tertentu.

Di depan kamar 102 dipajang mobil Ford de luxe delapan silinder dengan pelat nomor BN 10. Mobil itu kerap dipakai Bung Karno saat mengujungi rakyat Muntok dan Pangkalpinang maupun daerah lainnya di wilayah Bangka. Namun, mobil bercat hitam dibuat tahun 1948 itu kini sudah tak bermesin. Yang mendatangkan mobil itu pun adalah pihak Carmeta. Pertama kita datang ke sini mobil itu tidak ada. Dengan inisiatif kita, mobil itu kita ambil di belakang Wisma Ranggam. Keadaannya pun dulu memerihatinkan. Bodinya banyak yang berlobang. Joknya pun sudah tak adalagi. Setelah kita bawa ke bengkel dengan perbaikan seadanya, akhirnya mobil itu kita bawa ke sini dengan truk, ungkap Julika.

Soal arsip-arsip peninggalan Soekarno pun tak bisa ditemukan di Sasana Menumbing. Tak tahu ke mana jejaknya. Hanya kata Julika, ia pernah melihat arsip-arsip itu di Wisma Ranggam yang keadaanya sudah banyak dimakan rayap.

Di dalam kamar 102 itu, selain gambar-gambar Soekarno, gambar Hatta, tokoh-tokoh politik Indonesia karya M Isa Djamaludin, dan beberapa tulisan Koran terpajang di sejumlah dinding. Di dalam kamar itu selain di dapati meja dan kursi kerja Bung Karno, juga terdapat meja tulis dari batu pualam. Di kamar itu Bung Karno menjamu tamunya, seperti Bung Hata diasingkan di gedung/vila yang berbeda. Memasuki kamar ini, para pengunjung harus membuka sepatu maupun sandal. Larangan itu ditulis yang sudah buram dengan spidol kecil dengan tipe penulisan yang terpisah-pisah. Sebelah kanan pintu masuk terdapat tulisan Bung Hatta tertanggal 17 Agustus 1951, yang ditulis di plat besi kuningan dan bertuliskan, Kenang-kenangan Menumbing. Di bawah sinar gemerlap, terang tjuatja Bangka, Djokdjakarta, Djakarta. Hidup Pantjasila, Bhineka Tunggal Ika.

Sementara di kamar 101 terdapat ada dua buah bed kayu bersprei putih. Tak jelas bed/ranjang mana yang dijadikan Bung Karno untuk merebahkan badannya. Di kamar itu pun terdapat meja tulis dan sebuah serambi untuk duduk-duduk melihat pemandangan di luar dan ada juga lemari tiga pintu tempat Bung Karno untuk menyimpan pakaian. Selain itu terdapat dua kopiah hitam. Seorang teman buru-buru berposes dengan kopiah itu untuk diabadikan melalui kamera. Namun sayang, kopiah itu bukan peninggalan Bung Karno, melainkan kopiah pengungjung yang sengaja ditinggalkan. Kopiah ini bukan milik Bung Karno, tapi punya pengunjung yang sengaja ditinggalkan. Sebab di kamar 101 ini dijadikan pengunjung untuk melakukan salat, kata Julika.


Source :Sahang Kite

Feature UBB

Berita UBB

UBB Perspectives