+62 (0717) 422145
Link Penting UBB

Artikel Feature UBB

Universitas Bangka Belitung's Feature
07 Juli 2009 | 12:33:38 WIB


Perimping dan Air terjun Tak Bernama









Pemandangan Alam di Jembatan Perimping






Perimping, kata ini awam di telinga anda, bisa juga terasa asing. Menyebut sebuah jembatan tua penghubung Belinyu -Mentok - Pangkalpinang. Ada dua jembatan bernama Perimping sebenarnya. Perimping muda dan tua. Bila dilihat dari kondisi real atau tampak mata, ada benarnya. Rupanya kombinasi ini lah yang menarik. Lebih menarik lagi pemandangannya yang aduhai. Berlatar gunung maras serta ditambah paket rimbun hutan dan sungai, jembatan ini jadi spot wisata minggu sore bagi masyarakat sekitar.

Jembatan tua kontras dengan megahnya si saudara muda. Konon dibuat pada masa penjajahan Belanda. Umurnya sekitar seabad kurang duapuluh. Kusam terkesan vintage. Tapi kekohonannya tetap terasa, meski pagar besi bercat kuning karatan dan ada yang telah bengkok. Dulu untuk melewatinya, mobil harus antri dan saling mengalah.

Pada 1929 silam, Perimping dibangun oleh Belanda. Merentang panjangnya sejauh 204 meter. Ia memotong daerah aliran sungai Perimping. Sempit jarak antara. Lebarnya tiga meter, yang cukup satu mobil. Konstruksinya tiang ulir, berpagar besi. Berusia 80 tahun, tegaknya masih menyimpan daya tarik tersendiri.

Itu dulu, sekarang jembatan baru berdiri megah. Tinggi dari permukaan sungai surut sekitar 20 meter. Lebarnya proporsional. Cukup kuota mobil jalur kanan kiri. Beton cor dengan tiang penyangga empat berdiameter satu meter. Ini jembatan resmi. Penghubung utama arus bolak balik antar kota.

Tiga tahun lalu diresmikan SBY. Sepanjang 250 meter dengan lebar 6 meter. Total biaya untuk konstruksi habis Rp 20 milyar. Jembatan penghubung ini untuk aktivitas perkebunan sawit, terutama pemasaran hasil CPO.

Kita tidak boleh berlama-lama membiarkan pembangunan infrastruktur kita tertinggal. Jika jalan kita rusak parah dan jembatan runtuh, maka seluruh aktifitas ekonomi suatu daerah akan mengalami kendala besar, kata Presiden saat itu.

Latar pemandangannya yang menakjubkan. Ini bikin Perimping tua ramai di kala libur tiba. Entah kapan dimulai. Tapi sekedar duduk santai dan berdiri bebas cukup mengasikkan. Serasa diatas air. Pada hari minggu, banyak anak muda yang menjadikan jembatan ini pusat tongkrongan. Sembari bercengkrama antar sesama.

Perimping termasuk pada kecamatan Riau silip Kabupaten Bangka. Menemuinya cukup satu jam perjalanan dengan motor roda dua berkecepatan sedang, 40km/ jam. Melewati desa Riau Silip, menuju rute Belinyu. Namun, tak sampai benar. Sebab harus berbelok masuk Simpang Lumut.

Menyusuri rute ke arah Pangkal Niur atau Simpang Belinyu. Kira-kira belasan menit berlalu, anda akan menjumpai perkampungan China. Ada nuansa berbeda menyusuri rute ini. Seolah benar-benar berada di tempat yang berbeda. Khas kampong China dengan altar Tepekong masih bisa dijumpai persis di depan rumah.

Setelahnya, Perimping muncul lewat tikungan. Perlahan kemegahannya mulai tampak di depan mata. Gagah dan gahar memotong sungai primping yang lebarnya hampir 200 meter. Kedua jembatan seolah berhimpitan satu sama lain. Kompak sekaligus kontras disisipi bakau di kiri kanan sungai, sedang Maras menjulang dengan mentereng. Meski sesungguhnya bukan benar-benar gunung, namun masyarakat kadung menyebut bukit setinggi 699 meter ini dengan gunung.

Untuk sekedar melepas kepenatan, Perimping tua jadi tempat yang cukup representative. Ketika rasa penat menerpa di tengah perjalanan, boleh berhenti di jembatan, melihat perahu lewat sambil menghirup udara kaya oksigen. Bisa juga diselingi aktivitas memancing.

Air Terjun tengah Hutan


Sabtu (27/06) lalu perjalanan ternyata tak berhenti di Perimping. Dengar-dengar dari masyarakat sekitar, katanya ada air terjun di tempat tak jauh dari Perimping. Tak ada nama, cuma disebut air terjun saja. Rasa penasaran mulai mengusik.

Kepalang tanggung, perjalanan dilanjutkan. Agak bingung juga, lokasi persis si air terjun. Disamping baru pertama tahu. Dukungan Informasi dan data nihil. Untunglah ditengah perjalanan, dalam laju kendaraan tak tentu rimba. Disebuah hutan selepas sebuah dusun, bertemu dengan perempuan lokal.

Tu di ujong kampong, ade tuko yang lah tutop, ade simpang disebelah, tinggel masuk bai lah teros, (Itu di ujung kampung, ada toko yang sudah tutup, ada simpang lalu masuk dan terus saja - red) Jelas si Ibu. Sempat lirik-lirik antar teman, tanda tidak tahu.
Jauh dak Bik ?, (Jauh apa tidak Bu ? - red) tanya teman
Ade lah o, rasa ko,(Kayaknya sih iya - red) jawabnya.

Akhirnya sempat tertolong setelah ada anak muda yang ikut membantu. Dia berasal dari desa sekitar. Si Perempuan ternyata mengenalnya juga. Benarlah, setelah lewati sejumlah dusun di depan, kami menjumpai sebuah dusun. Yang akhirnya kami tahu ia bernama Buyir. Di Dusun Buyir lah, air terjun itu berlokasi. Sebuah dusun yang muncul di kaki Maras. Pantas saja, ada air terjun .

Di kemudian hari, akhirnya jadi tahu nama-nama dusun yang dilewati. Kami telah melewati Dusun Bernai, Rambang dan Desa Berbura. Berbura yang benar-benar berada di kaki Maras selain Pangkalniur dan Banyuasin. Mereka masyarakat petani Lada dan karet. Sedangkan Bernai dan Beruas lebih dekat ke Sungai Perimping yang muaranya di Laut Belinyu.Sambilannya menangkap kepiting dan udang. Nah Buyir, berada setelah ketiga desa diatas. Sebelum Pangkal niur dan Banyuasin. Begitu kira-kira.

Tak mudah menggapai lokasi. Sempat down juga setelah diberi tahun Mio tak mampu memasuki area. Tapi seolah tak perduli. Rasa penasaran sudah diubun-ubun. Meski si pemuda tadi hanya mengantar sampai simpang saja. Tapi nekad saja, berbekal pesan yang berbunyi, Luros bai, dak usah bilok-bilok,

Setelah ucap terimakasih. Perjalanan mulai diawali. Jalan masuk berupa jalan setapak. Hanya untuk roda dua saja. Pada mulanya, banyak dijumpai ladang penduduk sekitar. Untuk beberapa meter kemudian, mulai tampak hutan dataran rendah di kanan kiri. Beragam jenis tumbuhan tumbuh subur di jalanan berpasir.

Memasuki jalan lebih dalam, medan mulai terasa berat. Ada jalanan berlumpur. Menukik ke bawah, dengan kontur tanah liat. Licin dan berkerikil. Tak hati-hati bisa-bisa oleng sepeda motor. Tapi tetap percaya diri, sebab jalan ini tak asing bagi motor. Jejak-jejak ban motor masih berbekas.

Kadang perjalanan menanjak, dengan medan tak rata. Sedang dikiri kanan mulai tampak hutan sebenarnya. Kalau di awal perjalanan, cuma pohon kecil khas dataran rendah. Memasuki tengah perjalanan, areal mulai ditumbuhi pohon besar. Menjadikan kawasan agak remang, meski larik sinar matahari jam dua merembes dari sela-selanya.

Maras merupakan kawasan hutan konservasi seluas 3.235 hektar. Menurut penduduk, ada dua gunung di kawasan tersebut, Maras dan Tambun Tulang. Dari cerita orang tua, kalau naik ke Tambun Tulang tak bisa pulang. Di sana konon kabarnya terdapat tumpukan tulang. Legenda Aur Perindu melegenda. Bunyinya yang merdu mampu membuai sukma hingga enggan pulang. Akibatnya ruh tercabut perlahan-lahan.

Pentingnya kawasan ini disadari betul Pemerintah Daerah. Ada beragam jenis pohon yang langka. Sebagai daerah tangkapan air juga. Dari data Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Bangka misalnya, ada miliran dana telah dikucurkan untuk merehabilitasi hutan sekitar beberapa tahun lalu. Bahkan pada 2008 lalu sekitar Rp1,2 miliar dana digelontorkan bagi rehabilitasi hutan di Maras. Belum lagi dana dari pusat.

Cuaca masih benderang, setelah bergulat dengan medan off road, dan mengerahkan kemampuan terbaik ala pembalap pro. Sekitar 20 menit berlalu, rute akhirnya menanjak. Menaiki tebing dengan kemiringan 30 derajat. Mio di gas, meluncur bebas sampai ke atas di medan mendatar.

Ada pengunjung disini rupanya. Sejumlah motor diparkir bebas di dataran seluas 20 meter persegi ini. Ini pertanda sampai juga di lokasi. Daerah perbukitan rupanya. Lega akhirnya.

Tapi si air terjun tak nampak!. Benarlah, kami harus berjalan lagi, tepatnya menaiki tanjakan di depan. Tak butuh waktu lama. Cuma lima menit, akhirnya desiran air samar-samar terdengar, mendekat lagi, dari jauh bulir-bulir air putih ditimpa sinar makin jelas teramati.

Bagi yang belum pernah melihat air terjun, lokasi ini bisa bisa jadi penghilang dahaga mata. Betapa tidak, ada pemandangan air yang luar biasa jernih. Mengalir bebas. Sedang batu-batuan berlumut berserakan bebas dalam berbagai ukuran. Ditepian, pohon besar tumbuh mengakar dalam, dengan ranting berdaun rimbun menyeruak ke angkasa. Seolah hendak menyelimuti area.

Pantas saja, dalam jarak 10 meter, kita belum bisa melihat jelas keberadaannya. Sebab batang-batang pohon jadi pengahalang. Sedang rindang daun makin menggelapkan kawasan.

Air terjunnya sendiri seolah bertingkat-tingkat. Kontur perbukitan dengan ragam ukuran batu. Membuat air mengalir kadang mendatar, curam jatuh bebas. Atau berkelok-kelok di sela-sela gundukan batuan. Setidaknya ada tiga tingkat. Ini belum termasuk rute air yang diatas. Panjangnya belum terdeteksi dengan benar. Sebab untuk itu, harus mendaki lagi ke atas. Bisa- bisa ke Maras atau Tambun Tulang.

Airnya jernih, ketika jatuh dari onggokan batu besar, ia jatuh mulus menimpa permukaan air dan batu dibawah. Buih- buih putih berpencar lalu menghilang di permukaan. Dasar air tak begitu dalam. Sebatas pinggang orang dewasa. Dingin dan benar-benar bening. Paling lebar berjarak empat meter. Paling sempit satu atau dua meter.

Memanjakan diri menikmati dingin air, sambil menghirup sepuasnya semilir angin yang kaya oksigen bisa jadi pengalaman tak terlupakan. Uniknya bila diperhatikan serius, bebatuan di sekitar aliran air, kaya akan warna. Ada yang bewarna coklat, ada yang kemerah-merahan, tentunya ada hijau karena berlumut, ada pula rada kekuningan. Kadangkala, kaki yang direndam agak lama terasa dijepit-jepit. Jangan heran, ada udang air tawar atau uyep dalam bahasa Bangka, yang rupanya menjepit kulit kaki.

Sejumlah pengunjung, ada yang mandi bebas. Seolah menemukan surga tersembunyi. Ada pula duduk santai di atas batu sambil bercengkrama bebas. Bahkan ada yang tampak letih, sambil menyeka keringat. Katanya mereka baru dari atas. Menyusuri aliran air. Inginnya ke hulu, namun tak sampai. Terlalu jauh dan benar-benar masuk Maras.

Sedangkan kami larut dalam suasana khas hutan. Adem dan damai. Beristirahat cukup lama memanjangkan kaki. Merendamnya di dasar air. Sambil ditingkahi desir air terjun. Sepoi angin bersemilir menerpa wajah letih. Sembali digoda uyep yang tampaknya menemukan mainan baru. Luar biasa!.


Air terjun atau Sungai kecil?


Sebenarnya, ia bukanlah air terjun sekelas Victoria di Afrika yang sering dilihat di Kalendar atau televisi. Bahkan tak sebesar Sadap di Perlang. Ia semacam sungai kecil ditengah hutan. Namun, ia mampu memberikan sensasi berbeda. Keasliannya yang bikin hati takluk.

Ia adalah aliran air yang bersumber dari gunung Maras. Menuruni bukit dan lembah dibawah. Lantas membentuk sebuah aliran di sela batu-batu. Jatuh kebawah. Tersembunyi dalam hutan rimba. Butuh perjuangan ektra menemuniya.





Pemandangan air terjun Perimping




Yang benar-benar disebut air terjun, ketika tulisan ini dibuat adalah jatuhan air dari sebuah batu besar dengan tinggi kurang lebih satu setengah meter. Itu di tingkat kedua. Pada tingkat tiga, alirannya cuma miring di 30 derajat saja. Panjang mengikuti sebuah celah sempit bongkahan batu besar.

Alirannya seolah membelah batu tersebut. Irisannya sekitar lima meter. Namun, di bawah telah terbentuk semacam kolam luas. Akibatnya air curahan menggenanginya. Disini, biasanya area mandi untuk pengunjung. Dasarnya berupa batuan, kerikil dan pasir yang terlihat jelas.

Namun tetap saja, ada rasa semacam berpetualang mencapai lokasi air terjun tersebut. Itu juga belum menyusuri benar. Sebab katanya diatas, masih ada aliran air yang masih menyimpan sejuta misteri. Inventarisasi SDA perlu disini. (Iksan/UBBPress)






Penulis : Aksanjaya Iksander - Bunga Jiwa


Feature UBB

Berita UBB

UBB Perspectives