+62 (0717) 422145
Link Penting UBB

Artikel Feature UBB

Universitas Bangka Belitung's Feature
18 Januari 2011 | 11:16:58 WIB


Jayapura, Kota Teluk nan Berkilau










Bepergian ke ujung timur Indonesia, sudah pernah saya tempuh. Saya ingat saat itu, kami harus tidur selama dua hari dua malam lebih dalam bus melewati Semarang, Yogyakarta dan Surabaya, demi sebuah tujuan akhir, Bali. Itu dahulu, ketika kuliah sejak tahun 2001 lalu.

Namun saya tak pernah membayangkan untuk pergi ke Papua, sebuah pulau eksotis di daerah paling timur dari sebuah negara, bernama Indonesia. Untuk jenis manusia seperti saya, yang manusia biasa, cuma berkutat dari kantor ke rumah, bepergian ke Papua adalah hal yang luar biasa dan tergolong langka.

Syukur kesempatan itu datang, pada 20 November kemarin. Sehubungan dengan acara penandatanganan prasasti UBB bersama empat PT lainnya yang dinegerikan. Dari Bangka Belitung, ada lima orang termasuk dua orang mahasiswa yang terlebih dahulu berangkat. Mereka menggunakan Hercules, terbang dari Jakarta ke Papua sekali jalan.

Sedangkan tiga orang lagi menggunakan pesawat komersil biasa. Rektor UBB, Prof. Bustami Rahman, M.Sc, Wakil Rektor II, A. Fauzi Amiruddin, S.H.,M.M, dan saya sendiri. Terlebih dahulu ke Jakarta. Lalu dengan Garuda terbang melintasi pulau-pulau Indonesia, transit dua kali, di Denpasar dan Timika.

Momen sakral, penegerian UBB memang telah lama ditunggu masyarakat Bangka Belitung. Sebagai sebuah provinsi baru. Bangka Belitung mendambakan punya universitas Negeri. Sebelumnya sudah ada Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri, STAIN Syaikh Abdurahhman Siddik. Tentu saja momen sakral harus didokumentasikan. Peristiwa sekali seumur hidup, seperti wisuda dan kawinan. Perlu di abadikan paling tidak dalam sebuah foto.

Tugas sebagai tukang foto itulah yang saya emban. Kalau tidak, tak ada kesempatan berangkat. Selain tentu saja, job desk saya yang berhubungan dengan kehumasan. Perlu mencapai lingkar sumber informasi pertama agar data dan informasi valid. Ini bahan untuk publikasi nantinya.

Sebelumnya berangkat dengan bus, kini delapan jam dengan Garuda. Berangkat malam dari Soekarno Hatta. Saya awalnya membayangkan perjalanan bakal membosankan. Jangankan delapan jam, satu setengah jam saja bikin kaki dan bokong penat. Namun bayangan itu sirna.

Pesawat yang kami tumpangi benar-benar full entertainment. Ada layar LCD pada tiap kursi. Bebas memilih model hiburan, ada film, music, foto, berita. Saya memilih mendengarkan musik dangdut, raja Dangdut, Rhoma Irama. Rupanya maskapai ini sangat jeli membaca karakter penumpang. Untuk rute lokal, mereka sediakan lagu-lagu akar rumput. Termasuk saya, yang dapat tidur pulas.

Transit pertama kami ke Denpasar. Pagi sekitar jam tiga. Lima belas menit kemudian, pesawat lanjut. Transit kedua ke Mozes Kilangin, Timika. Sebuah bandara internasional. Daerah yang dikenal sebagai tempat dimana perusahaan raksasa Amerika Serikat beroperasi. Menambang tembaga, yang gosipnya juga menambang emas. Wallahu Allam. Bandara Timika juga dibuat oleh Freeport. Layanan jemput dan antar menggunakan Shuttel Bus. Kami pertama kali menginjakkan tanah Papua di tempat ini.

Selang mengudara sekitar sejam, akhirnya kami sampai ke Jayapura. Sebuah daerah yang berbukit-bukit dan bergunung. Bandaranya Sentani. Mungkin karena dekat dengan danau Sentani dinamakan sama. Termasuk salah satu danau yang terbesar di Indonesia. Hari minggu, 21 November kami sampai ke Jayapura, sebuah kota di Papua. Sebuah daerah yang cuma saya lihat di tivi. Khas dengan koteka dan perang antar suku. Papua juga adalah provinsi terluas di Indonesia.

Namun saya tidak menemukan itu. Masyarakat di sini, sama seperti masyarakat Indonesia pada umumnya. Kotanya besar, jalan aspal dan berliku. Ini karena kontur tipografi perbukitan. Rumah-rumah banyak yang tinggi. Karena dibangun diatas bukit, bukan karena bertingkat. Kotanya ada Sentani, Abepura, lalu Jayapura. Jayapura adalah ibukota provinsi Papua. Rupanya Papua dibagi dua provinsi. Provinsi Papua dan Papua Barat yang beribukota di Wanokwari.

JAYAPURA CITY, Kota Berkilau


Jayapura, tempat kami menginap. Adalah sebuah kota teluk dikelilingi perbukitan menjulang tinggi. Teluk ini dangat dalam, sehingga kapal-kapal berbobot besar dapat langsung berlabuh. Sebuah daerah yang sangat-sangat strategis. Untuk mencapainya, diperlukan waktu sekitar satu jam perjalanan dari Sentani. Jalanan berliku, menanjak dan turun khas perbukitan.
Oleh sebab itu, untuk bepergian antar kota, missal ke Merauke, harus menggunakan transportasi udara. Sebab jalan darat belum terhubung, mungkin karena biaya untuk itu sangat besar. Merrauke adalah tempat dimana Universitas Mussamus berada. Mereka termasuk tiga universitas yang dinegerikan bersamaan dengan UBB dan Universitas Borneo Tarakan.







Bangunan paling tinggi dan bertingkat, saya perhatikan cuma ada dua, Bank Papua dan hotel Aston. Lainnya memang tinggi, tapi itu karena dibangun di atas bukit. Melihat Jayapura akan lebih eksotis bila malam hari.

Pemda disini menata kotanya cukup apik. Ada area sebagai pusat perbelanjaan. Dibangun ruko-ruko pinggir teluk. Pada malam hari, rumah makan bertebaran di pinggir teluk ini. Jika anda menyantap makanan disini, cobalah untuk makan di rumah makan yang berada di pinggir teluk.

Lampu-lampu kota, gedung dan rumah bersinar terang pada malam hari. Sinar ini menimpa lautan, menampilkan imaji tersendiri. Sebuah kota yang tenang. Berkilau-kilau seperti butiran berlian di hitam malam. Apalagi ada sebuah bukit yang dihiasi neon box raksasa bertuliskan Jayapura City. Mirip di Hollywood.

Jika ke Jayapura, jangan lupa menyantap Papeda, sebuah makanan khas dari sagu. Ini makanan pokok masyarakat pedalaman. Menggunakan sumpit, Papeda yang lembut itu dipilin-pilin. Jangan dikunyah, cukup ditelan saja. Disajikan dengan lempah ikan. Mirip di Bangka, lempah ikannya berwarna kuning. Rasanya pun tak jauh beda.

Kebiasaan orang disini mengunyah sirih. Dimana anda berjalan, di bandara apalagi di jalan. Masyarakat asli suka makan sirih. Tapi mereka tak makan daunnya, mereka langsung kunyah buah sirihnya. Saking seringnya mereka mengunyah sirih, sampai-sampai ada larangan Jangan Buang Sirih Sembarangan, atau Jangan meludah Sembarangan,. Mungkin rambu sosial ini cuma anda temukan di Jayapura.

Sopir yang mengantar kami, adalah suku Bugis. Kebanyakan para pedagang adalah keturunan Tiong Hoa. Kata nya, masyarakat asli di sini agak susah dalam berbisnis. Itulah selain orang bermata sipit, masyarakat Bugis Makassar serta Jawa mendominasi ekonomi di Jayapura.

Rupanya tiap bukit ada penguasanya. Bahkan, tiap daerah juga punya Kepala Sukunya. Ada sekitar 255 suku dengan bahasa yang berbeda-beda di Provinsi Papua. Jika ingin berbisnis tanah. Anda harus pintar-pintar. Ada cerita, ada masyarakat asli jual bukit. Ketika dibeli, bukan berarti kita membeli tanahnya. Anda cuma beli bukit. Ketika bukitnya habis dipangkas. Tidak secara otomatis anda menguasai tanahnya. Ini kasus yang pernah terjadi kata sopir tadi. Saya lupa namanya. Namun dia betah tinggal disini.

Ada lagi sebuah tempat ditengah-tengah kota, pasar tradisional khusus masyarakat asli. Dibukanya sore hari hingga malam. Ibu-ibu ini menjual aneka hasil panen. Dari mulai umbi-umbian, sayur mayur, buah-buahan, hingga tak lupa buah sirih. Ibu- ibu disini paham tentang duit. Ketika saya mencoba mengabadikannya, saya sempat dibentak.

Hei Jangan foto, sudah Pa,, hardik salah satu perempuan penjual.
Mengapa bu, tidak boleh, kata Saya
Sudah, ini tidak boleh difoto, kalau mau foto, 200 ribu saja, jawabnya. Saya langsung beringsut pergi. Ada was-was juga, dilanjutkan bisa-bisa didatangi para preman disini. Heeee.

Kami tak sempat bepergian melihat-lihat kota Jayapura. Keinginan untuk ke danau Sentani, menikmati nuansanya cuma sebatas lewat saja. Itupun ketika datang dan pulang dari kota Jayapura. Cuaca juga kurang bersahabat, selalu mendung dan kadang hujan. Senin, 23 November ketika SBY menandatangani prasasti lima perguruan Tinggi, esoknya kami harus pulang ke Jakarta.
Berharap membeli koteka, ternyata mahal untuk kantong saya. Itu pun saya temukan di outlet bandara ketika kami transit ke Biak,sebuah pulau di sebelah barat Papua. Bandara terbaik di daerah timur. Bagaimanapun, perjalanan kali ini termasuk luar biasa. Seperti kata orang tua dulu, Kapan agik, dek sembile lah. ***












Written By : Iksander, UBB Press - HUMAS


Feature UBB

Berita UBB

UBB Perspectives