+62 (0717) 422145
Link Penting UBB

Artikel Feature UBB

Universitas Bangka Belitung's Feature
24 April 2008 | 01:14:29 WIB


Membedah Problem Scholarship


Dirjen Dikti, dr. Fasli Jalal, Ph.D dan Direktur Kelembagaan Dikti, Prof.
Ir.Supeno Djanali, MSc. Ph.D, Selasa (22/04) melakukan pertemuan dengan
beberapa institusi pendidikan internasional yang selama ini bekerja
menfasilitasi mahasiswa Indonesia untuk studi ke luar negeri. Pertemuan
ini diinisiasi sebagai ajang “silaturrahmi” institusi terkait dengan
dirjen dikti. Dirjen ingin mendengarkan program-program, apa tantangan dan
apa masalah yang mereka hadapi selama ini dan kira-kira apa yang bisa
dikerjasamakan dengan dikti. Beberapa institusi yang hadir adalah
Australian Educational Center (AEC), Australian Education International
(AEI), Campus France, DAAD, Ford Foundation, France Embassy, IALF, IDP
Education Australia, Japan Student Service Organization (JASSO), NESO, New
Zealand Embassy, dan IIEF. Masing-masing lembaga menghadirkan para
direktur, representative, chief executive officernya masing-masing dalam
pertemuan ini.

“kami hadir di sini secara bersama, untuk menunjukkan bahwa diantara kami
tidak saling mendahului. Ini adalah simbol kebersamaan”, kata Irid Agoes,
Direktur IIEF.

Sebelumnya Dirjen Dikti memberikan gambaran secara garis besar, apa yang
menjadi tantangan Indonesia dalam bidang pendidikan, terutama dalam
strata pendidikan tinggi. Saat ini kata dirjen, kapasitas pendidikan
tinggi negeri di Indonesia sangat terbatas, program studi science masih
kurang, banyak investor lebih memilih tenaga ekspatriat, masih terbatasnya
fakultas kedokteran, rendahnya mutu lulusan perguruan tinggi, serta
sulitnya para lulusan itu mau bekerja di pedesaan, rendahnya APK
pendidikan tinggi Indonesia dibandingkan dengan Negara-negara Asia
Tenggara dan ASIA dan besarnya gap APK pendidikan tinggi secara regional,
dan rata-rata mahasiswa Program S 3 dalam negeri kesusahan dalam mencari
beasiswa untuk membiayai riset studi mereka.

Semua institusi menjelaskan apa yang menjadi program mereka masing-masing
dalam pemberian beasiswa. Dijelaskan siapa yang menjadi sasaran program,
program studi apa yang lebih prioritas, dengan perguruan tinggi mana saja
mereka telah membangun kerjasama di Indonesia. DAAD misalnya memiliki
program beasiswa khusus untuk anak-anak yang terkena Bencana Tsunami.
Mereka juga memprioritaskan program untuk kelompok marginal dan kaum
perempuan.

Yang menarik lagi adalah Campus France menawarkan program dan kerjasama
beasiswa di bidang tourism, disamping program manajemen, permesinan dan
disainer. Program ini tentu menarik karena studi pariwisata di Indonesia
belum berdiri dengan kokoh dalam satu fakultas tersendiri. Program
pariwisata ada di fakultas Manajemen, ada juga dibawah fakultas Ekonomi
dan sebagainya. Setali tiga uang DAAD juga tertarik dalam bidang
pariwisata ini.

New Zealand Embasy dalam konteks pendidikan telah membangun kerjasama
dengan UI, UGM, dan UIN Syarif Hidayatullah. Peter Fa’alun, second
secretary di New Zealand Embasy menyebutkan bahwa dia berkeinginan untuk
melebarkan kerjasama dengan pemerintah Indonesia dalam bidang pendidikan
ini. Untuk saat sekarang beasiswa baru terbatas pada bidang ekonomi.
Salah satu problem yang dirasakan oleh lembaga pendidikan internasional
ini adalah rendahnya kualitas bahasa inggris calon mahasiswa Indonesia
yang mau belajar keluar. Sehingga tidak sedikit diantara lembaga
Internasional ini harus menambah satu tahun/program remedial khusus untuk
persiapan bahasa saja.

Padahal hampir seluruh perguruan tinggi di Indonesia memiliki pusat bahasa
yang sedianya bisa menjadi ajang persiapan bahasa bagi calon mahasiswa.
Dan sebelum memasuki pendidikan tinggi, mereka juga sudah belajar bahasa
Inggris mulai dari strata terbawah. Pertanyaannya adalah di mana
sebetulnya peranan guru bahasa Inggris dan bagaimana peta kemampuan
guru-guru bahasa Inggris kita.

Geoffrey Crewes, Chief Executive Officer IALF menyebut sebetulnya mereka
telah memulai membangun kerjasama dengan beberapa institusi pendidikan
tinggi di Indonesia, seperti IAIN Surabaya dan IAIN Lombok dalam program
teacher training project. Mereka mencoba menaikkan kemampuaan dan
penguasaan guru/dosen bahasa Inggris dalam mengajar. Menurutnya, salah
satu kendala terbesar mereka adalah problem jarak antara wilayah di
Indonesia. Bagaimana caranya kita membuka program yang sama di Irian Jaya,
hingga saat ini kami kesulitan menyediakan teacher training di sana, kata
Geoffrey.

Untuk mempertajam analisa terhadap beberapa isu yang sudah dibicarakan
ini, Dirjen meminta kepada lembaga pemberi layanan beasiswa ini untuk
menggelar workshop per tematik secara bersama-sama. Diharapakan dua bulan
dari sekarang proposalnya sudah selesai disiapkan. Pertama, workshop
khusus membahas dan menganalisa tentang beasiswa dengan segala
problemanya. Kedua, workshop yang membahas tentang English Teacher
Training. Ketiga, workshop dengan focus pada isu tourism. Keempat,
politeknik vocational. Kelima, workshop dengan pembahasan pada tema
agricultural.

Selain itu, disepakati akan terus diadakan pertemuan rutin dua bulan
sekali antara institusi pendidikan internasional ini (ditambah dengan
lembaga lain yang bergerak di bidang yang sama) dan Dirjen Dikti. Dari
pertemuan ini diharapkan semakin efektifnya sosialisasi dan pemberian
beasiswa di Indonesia. Dalam pertemuan selanjutnya Dirjen akan membawa
stakeholder lain untuk terlibat dalam diskusi ini nantinya, misalnya para
rector seluruh Indonesia. Semoga banyak putra-putri Indonesia bisa
mendapatkan kesempatan melanjutkan studi di kampus-kampus terbaik di
dunia.

source : https://www.dikti.go.id/

By Irwandi.

Feature UBB

Berita UBB

UBB Perspectives