UBB Perspective
Universitas Bangka Belitung
Artikel UBB
Universitas Bangka Belitung's Article
20 Mei 2009 | 17:04:35 WIB
MUNGKINKAH KORUPTOR DIVONIS MATI ???
Ditulis Oleh : Admin
Tindak pidana korupsi dikategorikan sebagai extra ordinary crime, yaitu kejahatan luar biasa, sehingga perlu penanganan yang luar biasa pula. Salah satu upaya pemberantasan korupsi dilakukan dengan pendekatan kebijakan kriminal (criminal policy), yaitu dengan pemberian sanksi pidana yang begitu berat. Dalam UU No. 31/1999 jo UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terlihat sanksi pidana yang dirumuskan untuk pidana denda minimum Rp. 50 Juta sampai dengan denda maksimum Rp. 1 milyar. Sementara untuk sanksi pidana penjara mulai dari minimum penjara 1 tahun sampai maksimum seumur hidup. Selain sanksi pidana denda dan penjara yang begitu berat, sanksi pidana mati juga dapat dijatuhkan kepada koruptor apabila korupsi dilakukan dalam kondisi tertentu.
Vonis Mati Koruptor ???
Saat Krisis, Bisa Dihukum Mati, inilah salah satu judul berita harian Bangkapos, Kamis, 30 April 2009. Tidak ada yang salah dengan judul tersebut dan memang betul isinya karena begitulah yang diatur oleh undang-undang, bahwa orang yang korupsi disaat krisis ekonomi dapat dijatuhi pidana mati.
Dari judul tersebut masyarakat tentunya akan bertanya-tanya kalau memang ada aturannya, kenapa sampai dengan sekarang belum ada satu koruptor pun yang dieksekusi mati, atau minimal di tuntut dengan pidana mati ? Sampai dengan sekarang masih ada 104 orang terpidana mati yang belum dieksekusi. Para terpidana mati tersebut diantaranya terlibat dalam kasus terorisme, narkoba dan pembunuhan, tidak ada yang terlibat kasus korupsi. Pertanyaan masyarakat ini kiranya perlu dijawab, agar wacana kemungkinan penjatuhan pidana mati bagi koruptor dapat terjawab dan masyarakat tidak berharap-harap cemas dan menunggu berita akan ada eksekusi mati bagi koruptor.
Dalam UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) memang diatur penjatuhan hukuman mati bagi para koruptor. Namun kenapa selama ini tidak ada terpidana korupsi yang dijatuhi sanksi pidana mati, tetapi hanya pidana penjara dan/atau denda saja ? Untuk dapat menjawab pertanyaan ini, perlu dikaji bagaimana sebenarnya pengaturan pidana mati dalam undang-undang TIPIKOR tersebut. Karena terkadang bahasa undang-undang yang terlihat sederhana dan meyakinkan, justru sulit untuk diterapkan.
Ketentuan sanksi pidana mati diatur dalam Pasal 2 ayat (2), yaitu Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan. Adapun yang dimaksud dengan keadaan tertentu tersebut dapat dilihat dalam penjelasan, yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan (1) pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, (2) pada waktu terjadi bencana alam nasional, (3) sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau (4) pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.
Berdasarkan ketentuan/syarat penjatuhan hukuman mati di atas, terdapat beberapa kelemahan, pertama, sanksi pidana mati hanya berlaku untuk tindak pidana korupsi tertentu saja, yaitu hanya koruptor yang melakukan tindak pidana korupsi pada Pasal 2 ayat (1) dalam kondisi tertentu. Jadi untuk jenis tindak pidana korupsi yang lain yang juga dilakukan dalam kondisi tertentu tersebut tidak dapat dijatuhi hukuman mati. Padalah apabila dicermati, jenis tindak pidana korupsi dalam Pasal 3, yaitu Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, juga memiliki kualitas bahaya dan dampak negatif yang luas, yang sama dengan jenis tindak pidana pada Pasal 2 ayat (1), yaitu Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Kenapa terhadap jenis tindak pidana Pasal 3 tidak diberlakukan juga sanksi pidana mati ? Apakah untuk melindungi pejabat negara, karena Pasal 3 ini rentan dilakukan oleh pejabat negara ? Hanya mereka-mereka yang terlibat dalam pembuatan/legislasi UU No. 31/1999 yang dapat menjawab pertanyaan ini.
Kedua, penjatuhan pidana mati dapat dilakukan jika korupsi dilakukan pada kondisi tertentu. Seharusnya penjatuhan pidana mati bagi koruptor jangan dilihat dari kapan/pada kondisi apa korupsi dilakukan, tetapi dilihat dari dampaknya, karena dampak korupsi bagi rakyat miskin sangat luar biasa, meskipun dalam kondisi normal.
Ketiga, kondisi-kondisi tertentu tersebut sulit diterapkan, misalnya pada kondisi negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter. Siapa yang memberikan penilaian terhadap kondisi ini ? Apa kriterinya ? Apakah Indonesia saat ini tidak sedang dalam kondisi krisis ekonomi ? Kemudian kondisi negara dalam bahaya dan bencana alam nasional merupakan kondisi yang frekwensi kejadiannya dalam rentan waktu yang cukup lama dan masih memerlukan kriteria-kriteria prosedural lagi untuk dapat dinyatakan dalam kondisi tersebut.
Keempat, ketentuan pengulangan tindak pidana korupsi (recidive), juga sulit diterapkan karena tidak ada batasan yuridisnya, sementara ketentuan recidive di KUHP juga tidak bisa diterapkan karena pasal-pasal delik jabatan didalamnya sudah dinyatakan tidak berlaku berdasarkan Pasal 43 UU No. 20/2001.
Melihat kelemahan ketentuan/syarat penjatuhan pidana mati tersebut, wajar apabila belum ada koruptor yang divonis hukuman mati. Oleh karena itu, perlunya reformulasi ketentuan tersebut, seperti pemberlakukan pidana mati tidak hanya terhadap pelanggaran Pasal 2 ayat (1) tetapi juga Pasal 3 dan pasal-pasal yang lain secara proposional. Kemudian pengaturan kondisi-kondisi tertentu langsung dalam rumusan pasal, jangan dalam penjelasan dan pengaturannya agar lebih jelas, tegas dan tentunya mudah untuk diaplikasikan, agar ancaman pidana mati tidak lagi dianggap macan ompong oleh para koruptor di negeri ini.
Tag Keyword : Hukum Law Kasus Korupsi Koruptor Vonis Pasal UU Undang-undang Pemerintah Pemerintahan Negara Indonesia Tersangka Terdakwa Sidang Pengadilan
Written By : Dwi Haryadi, S.H.,M.H.
Dosen Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial Universitas Bangka Belitung
UBB Perspectives
Carbon Offset : Blue Ocean dan Carbon Credit
Hari Lingkungan Hidup: Akankah Lingkungan “Bisa” Hidup Kembali?
FAKTOR POLA ASUH DALAM TUMBUH KEMBANG ANAK
MEMANFAATKAN POTENSI NUKLIR THORIUM DI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG : PELUANG DAN DAMPAK LINGKUNGAN
Pengaruh Sifat Fisika, Kimia Tambang Timah Terhadap Tingkat Kesuburan Tanah di Bangka Belitung
Akuntan dan Jurnalis: Berkolaborasi Dalam Optimalisasi Transparan dan Pertanggungjawaban
Sustainable Tourism Wisata Danau Pading Untuk Generasi Z dan Alpa
Perlunya Revitalisasi Budaya Lokal Nganggung di Bangka Belitung
Semangat PANDAWARA Group: Dari Sungai Kotor hingga Eksis di Media Sosial
Pengaruh Pembangunan Produksi Nuklir pada Wilayah Beriklim Panas
Pendidikan dan Literasi: Mulailah Merubah Dunia Dari Tindakan Sederhana
Mengapa APK Perguruan Tinggi di Babel Rendah ?
Dekonstruksi Cara Pikir Oposisi Biner: Mengapa Perlu?
PENINGKATAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK DENGAN ASAS GOOD GOVERNANCE
UMP Bangka Belitung Naik, Payung Hukum Kesejahteraan Pekerja atau Fatamorgana Belaka?
Peran Generasi Z di Pemilu 2024
Pemilu Serentak 2024 : Ajang Selebrasi Demokrasi Calon Insan Berdasi
Menelusuri Krisis Literasi Paradigma dan Problematik di Bumi Bangka Belitung
Jasa Sewa Pacar: Betulkah Menjadi sebuah Solusi?
Peran Sosial dan Politis Dukun Kampong
Mahasiswa dan Masalah Kesehatan Mental
Analogue Switch-off era baru Industri pertelevisian Indonesia
Di Era Society 50 Mahasiswa Perlu Kompetensi SUYAK
HUT ke-77 Kemerdekaan Republik Indonesia, sudah merdekakah kita?
Pemblokiran PSE, Pembatasan Kebebasan Berinternet?
Pentingnya Pemahaman Moderasi Beragama Pada Mahasiswa di Perguruan Tinggi Umum
SOCIAL MAPPING SEBAGAI SOLUSI TATA KELOLA SUMBER DAYA ALAM
Bisnis Digital dan Transformasi Ekonomi
Masyarakat Tontonan dan Risiko Jenis Baru
Penelitian MBKM Mahasiswa Biologi
PEREMPUAN DI SEKTOR PERTAMBANGAN TIMAH (Refleksi atas Peringatan Hari Kartini 21 April 2022)
Kiat-kiat Menjadi “Warga Negara Digital” yang Baik di Bulan Ramadhan
PERANG RUSIA VS UKRAINA, NETIZEN INDONESIA HARUS BIJAKSANA
Kunci Utama Memutus Mata Rantai Korupsi
Pengelolaan Sumber Daya Air yang Berkelanjutan
SI VIS PACEM PARABELLUM, INDONESIA SUDAH SIAP ATAU BELUM?
KONKRETISASI BELA NEGARA SEBAGAI LANGKAH PREVENTIF MENGHADAPI PERANG DUNIA
Memaknai Sikap OPOSISI ORMAWA terhadap Birokrasi Kampus
Timah, Kebimbangan yang Tak akan Usai
Paradigma yang Salah tentang IPK dan Keaktifan Berorganisasi
Hybrid Learning dan Skenario Terbaik
NEGARA HARUS HADIR DALAM PERLINDUNGAN EKOLOGI LINGKUNGAN
Mental, Moral dan Intelektual: Menakar Muatan Visi UBB dalam Perspektif Filsafat Pierre Bourdieu
PEMBELAJARAN TATAP MUKA DAN KESIAPAN
Edukasi Kepemimpinan Milenial versus Disintegrasi
Membangun Kepemimpinan Pendidikan di Bangka Belitung Berbasis 9 Elemen Kewarganegaraan Digital
Menuju Kampus Cerdas, Ini yang Perlu Disiapkan UBB
TI RAJUK SIJUK, DIANTARA KESEMPATAN YANG TERSEDIA
Mengimajinasikan Dunia Setelah Pandemi Usai
ILLEGAL MINING TIMAH (DARI HULU SAMPAI HILIR)
PERTAMBANGAN BERWAWASAN LINGKUNGAN
Inflasi Menerkam Masyarakat Miskin Semakin Terjepit
NETRALITAS DAN INTEGRITAS PENYELENGGARA PEMILU
Siapa Penjarah dan Perampok Timah ???
Menjaga Idealisme dan Kemandirian Pers
POLITIK RAKYAT DAN TANGGUNG JAWAB PEMIMPIN
Penelitian Rumpon Cumi Berhasil di Perairan Tuing, Pulau Bangka
Gratifikasi, Hati-Hatilah Menerima Sesuatu
Perairan Tuing, Benteng Sumberdaya Perikanan Laut di Kabupaten Bangka