UBB Perspective
Universitas Bangka Belitung
Artikel UBB
Universitas Bangka Belitung's Article
05 Februari 2010 | 21:03:23 WIB
Bravo Pilkada 2010 di Babel
Ditulis Oleh : Admin
Hal ini dikarenakan pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung oleh masyarakat dan bukan melalui mekanisme DPR/DPRD lagi. Provinsi Kepulauan Bangka Belitung sebagai daerah kepulauan yang terkenal dengan Negeri Laskar Pelanginya sudah menyelesaikan Pilkada untuk pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati Bangka, Bupati/Wakil Bupati Belitung dengan baik. Selesainya Pilkada di beberapa daerah tersebut belum menandakan selesai Pilkada di Bangka Belitung. Masih ada pekerjaan rumah (PR) yaitu Pilkada unttuk pemilihan Bupati/Wakil Bupati Belitung Timur, Bupati/Wakil Bupati Bangka Tengah, Bupati/wakil Bupati Bangka Barat dan Bupati/Wakil Bupati Bangka Selatan di tahun 2010 yang tidak lama lagi akan dilaksanakan dengan harapan berdemokrasi yang lebih baik.
Sebelumnya, Pilkada untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Sedangkan Dasar hukum penyelenggaraan Pilkada adalah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pilkada diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota dengan diawasi oleh Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu) Provinsi dan Panwaslu Kabupaten/Kota. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, peserta Pilkada adalah pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Ketentuan ini diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 yang menyatakan bahwa peserta Pilkada juga dapat berasal dari pasangan calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang. Undang-undang ini menindaklanjuti keputusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan beberapa pasal menyangkut peserta Pilkada dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Perlu untuk diketahui, saat ini di Bangka Belitung belum ada yang menyalonkan diri melalui jalur perseorangan.
Membaca dipelbagai media, ada wacana seperti penyelenggaraan Pilkada secara serentak diseluruh Indonesia, pemilihan kepala daerah akan dikembalikan kepada DPRD lagi, serta berbagai daerah pemekaran akan digabungkan kembali kedaerah induknya. Mengenai Pilkada secara serentak, Akankah ini akan efektif dan terlaksana dengan baik bila diterapkan di Bangka Belitung secara serentak ?.
Ini sebuah pertanyaan dan tantangan untuk kita semua. Bila kita melihat secara seksama, Pilkada serentak sisi positifnya banyak sekali yaitu bisa menghemat pembiayaan dan perekonomian daerah serta tidak akan membuat masyarakat jenuh dengan namanya Pilkada melulu. Tapi permasalahannya, payung hukum yang ada tidak memungkinkan dilakukannya Pilkada dilaksanakan secara serentak. Undang-undang No. 12 Tahun 2008 tentang penggabungan Pilkada Gubernur dan Bupati/Walikota hanya dimungkinkan dilakukan dalam waktu 90 hari. Oleh sebab itu Pilkada serempak baru bisa dilaksanakan kalau UU No. 12 tahun 2008 itu direvisi. Untuk mewujudkan hal tersebut masih harus didiskusikan oleh pemerintah dengan pakar dan para ahli dalam bidang ini seperti Bawaslu dan KPU. Sedangkan pemilihan kepala daerah yang akan dikembalikan ke DPRD dikarenakan banyaknya permasalahan yang muncul seperti Pilkada Maluku Utara dan Jawa Timur. Serta daerah pemekaran yang akan digabungkan kembali dengan daerah induknya dikarenakan salah satunya daerah yang baru dimekarkan tersebut tidak bisa memenuhi capaian PAD yang diharapkan.
Mudah-mudahan daerah pemekaran di Bangka Belitung ini mencapai target seperti yang diharapkan serta menjadi pedoman dan memahami esensi dari pemekaran itu sendiri, Apakah untuk kepentingan publik atau sebaliknya. Untuk segelintir masyarakat yang ingin memekarkan daerah diharapkan untuk lebih memahami esensi/tujuan dari pemekaran itu sendiri.
Pilkada selama era reformasi seringkali menimbulkan sejumlah masalah dipelbagai daerah. Pertama, Pilkada hanya berlangsung dalam ruang yang oligarkis dalam partai politik dan DPRD. Di dalamnya hampir tidak terjadi proses politik secara sehat untuk memperjuangkan nilai-nilai ideal jangka panjang, melainkan hanya terjadi permainan politik jangka pendek seperti intrik, manipulasi, konspirasi, money politics dan seterusnya. Kedua, partisipasi masyarakat yang betul-betul otentik tidak terjadi dalam proses Pilkada. Dalam Pilkada tidak terjadi kontrak sosial antara mandat dan visi, atau antara kandidat dan konstituen. Aktor-aktor politik yang bermain memang melakukan mobilisasi massa untuk membuat seru Pilkada, tetapi mobilisasi itu bukanlah partisipasi (voice, akses dan kontrol) masyarakat, melainkan hanya untuk kepentingan konspirasi dan pertarungan antar power blocking dalam jangka pendek. Partai politik maupun aktor-aktor politik lainnya sangat hebat dalam memobilisir massa, tetapi telah gagal mengorganisir massa secara demokratis. Semakin besar dan brutal mobilisasi massa itu, maka konflik fisik tidak bisa dihindari.
Ketiga, karena berlangsung dalam proses politik yang tidak sehat, Pilkada sering menghasilkan kepala daerah yang bermasalah (berijazah palsu, preman, berlaku kriminal, koruptor, dan seterusnya). Tidak sedikit bupati/walikota yang hanya berorientasi politik jangka pendek untuk mengejar kekuasaan dan kekayaan. Sekarang sering muncul istilah raja-raja kecil untuk menunjuk bupati/walikota yang menumpuk kekuasaan dan kekayaan itu. Keempat, mekanisme dan hasil akuntabilitas politik kepala daerah sangat lemah. Proses Pilkada yang terpusat kepada DPRD mengharuskan kepala daerah bertanggungjawab kepada konstituten melalui DPRD. Dengan demikian, kepala daerah tidak lagi bertanggungjawab ke atas kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur. Setiap akhir tahun kepala daerah diwajibkan menyampaikan Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) di hadapan sidang DPRD. LPJ sebenarnya penting sebagai instrumen akuntabilitas, transparansi, refleksi dan evaluasi. Tetapi LPJ di berbagai daerah seringkali menyajikan banyak problem. LPJ jadi tidak otentik dan tidak bermakna. LPJ hanya diperlakukan sebagai kelengkapan administratif secara formal, yang di dalamnya berisi tentang cerita sukses kepala daerah.
Rententan fenomena yang menimbulkan ketidakpercayaan (distrust) dan kekecewaan masyarakat terhadap partai politik, DPRD, dan proses Pilkada yang oligarkhis. Tetapi, sayangnya, distrust tidak menumbuhkan sebuah gerakan kolektif masyarakat lokal untuk menentang elite lokal secara serius. Perlawanan terkadang datang secara sporadis dan anomik yang tidak menghasilkan perubahan seperti banyaknya tindakan anarkis yang mengakibatkan banyaknya sarana-sarana untuk umum yang rusak. Untuk aparat penegak hukum, bila nantinya dalam proses Pilkada ada pengrusakan sarana umum secara anarkhis hendaknya langsung ditindak dan diproses hukum yang berlaku Mudah-mudahan hal seperti ini tidak terjadi di Negeri Laskar Pelangi yang kita cintai ini.
Partai Politik yang ada di Bangka Belitung saat ini sudah saling mengklaim berbagai daerah yang mendukungnya dan mulai merapatkan barisan menjelang Pilkada 2010. Seperti koalisi berbagai partai politik serta para calon Bupati/Wakil Bupati sudah sibuk mencari kendaraan politiknya agar bisa maju dalam Pilkada tahun 2010, bahkan tidak tanggung-tanggung harus pulang kedaerah untuk menjadi penguasa didaerah. Pilkada secara langsung, seperti halnya pemilihan umum, merupakan arena masyarakat politik, tempat bagi masyarakat untuk mengorganisir kekuasaan dan meraih kontrol atas negara. Bagaimanapun Pilkada secara langsung merupakan proses pemilihan dengam model demokratis, yang lebih unggul ketimbang model oligarkhis dalam DPRD atau model birokratis yang diterapkan di era Orde Baru. Mau tidak mau model demokratis ini akan menyingkirkan model pemilihan oligarkis dan peran DPRD serta model birokratis dan peran secara kelembagaan maupun birokrasi.
Ada beberapa keunggulan Pilkada model demokratis secara langsung. Pertama, Pilkada secara langsung memungkinkan proses yang lebih partisipatif, dengan melibatkan partisipasi masyarakat konstituen yang lebih luas, bukan sekadar melibatkan segelintir orang secara oligarkhis dalam DPRD. Kedua, proses partisipatif memungkinkan terjadinya kontrak sosial antara kandidat, partai politik dan konstituen. Kontrak sosial adalah sebuah proses yang mempertemukan antara visi kandidat dan mandat dari konstituen melalui mediasi partai politik. Kontrak sosial memang bukanlah tempat untuk mengobral janji, melainkan sebagai arena pembelajaran untuk memupuh akuntabilitas pemerintah lokal kepada masyarakat. Ketiga, proses Pilkada secara langsung memberikan ruang dan pilihan yang terbuka bagi masyarakat konstituen untuk menentukan calon pemimpin mereka yang lebih hebat (memiliki kapasitas, integritas dan komitmen yang kuat) dan legitimate di mata masyarakat. Dengan demikian, Pilkada secara demokratis-langsung ini akan memperkuat persetujuan (legitimasi), sehingga ke depan pemimpin baru itu mampu membuahkan keputusan-keputusan yang lebih fundamental dengan dukungan dan kepercayaan dari masyarakat luas.
Harapan-harapan ideal seperti itu bisa diwujudkan bila ditopang oleh sejumlah prakondisi. Pertama, aktor-aktor politik dan partai politik (sebagai mesin politik) yang akuntabel dan berakar pada masyarakat. Kedua, masyarakat mempunyai budaya politik yang demokratis (toleran, akomodatif, mengakui kekalahan dan menghargai kemenangan dalam kompetisi politik) dan partisipatif. Ketiga, massa pemilih yang terdidik, well-informed dan rasional-kritis. Keempat, semakin terbukanya ruang publik yang memungkinkan proses kontrak sosial antara kandidat, partai politik dan konstiuen. Di sisi lain, partai politik harus mempromosikan kandidat yang berkualitas, yakni yang memiliki kapasitas, integritas, legitimasi dan populer (dikenal) di mata masyarakat dan bukan kandidat dadakan. Pilkada hanyalah proses jangka pendek, yang lebih penting adalah pasca Pilkada, yakni penyelenggaraan pemerintahan selama lima tahun di bawah kepemimpinan kepala daerah seperti bisa mensejahterakan rakyatnya melaui program-program pembangunannya. Secara teoretis, Pilkada secara langsung merupakan proses awal untuk membangun local good governance, yang ditandai dengan partisipasi masyarakat, akuntabilitas, transparansi dan responsivitas pemerintah daerah.
Sebelumnya, disebutkan DPS Pilkada akan menggunakan DPT Pilpres 2009, seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah. Dalam Pasal 70 ayat (1) UU 32/2004 disebutkan daftar pemilih pada saat pelaksanaan pemilihan umum terakhir di daerah digunakan sebagai daftar pemilih untuk pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Namun, kemudian KPU memutuskan untuk menggunakan UU 22/2007 sebagai acuan dalam penyelenggaraan Pilkada. Dalam UU 22/2007 disebutkan KPU provinsi dan kabupaten/kota bertugas untuk memutakhirkan data pemilih berdasarkan data kependudukan dan menetapkannya sebagai daftar pemilih dalam rangka memutakahirkan daftar pemilih untuk Pilkada, hasil pemutakhiran data penduduk tersebut akan disandingkan dengan DPT Pilpres 2009. Apabila ada kekurangan maka akan diperbaiki demi menjaga keakuratan daftar pemilih Pilkada. Akankah hal ini akan efektif bila diterapkan diNegeri Laskar Pelangi ini??.
Untuk mencapai Pilkada di Bangka Belitung dengan sukses, ada beberapa hal yang harus dicermati lebih jauh seperti kedewasaan dalam berdemokrasi, pemutakhiran daftar pemilih untuk Pilkada dengan KPU provinsi dan kabupaten/kota selalu berkoordinasi dengan pemerintah daerah setempat. Seperti mencermati dan menyandingkan DPT pilres dengan data penduduk dari Disduk Capil, jangan sampai nantinya masih ada yang tidak bisa memilih karena tidak terdaftar dalam DPT atau yang sudah meninggal tapi bisa memilih. Perlunya penyampaian visi misi yang jelas dalam pembangunan daerah oleh calon kepala daerah. Dengan berbagai harapan, Mudah-mudahan Pilkada dibeberapa daerah di Bangka Belitung menghasilkan Pilkada yang berkualitas dan dapat diterima semua pihak dan tidak ada permasalahan yang berarti yang mengakibatkan kekisruhan Pilkada yang hanya akan menjadi preseden yang buruk bagi Pembangunan Bangka Belitung dan proses berdemokrasi di Indonesia.Semoga.***
Written By : Rio Armanda Agustian, S.H.,M.H.
Dosen, Kriminolog, Peneliti di Bangka Belitung
UBB Perspectives
Carbon Offset : Blue Ocean dan Carbon Credit
Hari Lingkungan Hidup: Akankah Lingkungan “Bisa” Hidup Kembali?
FAKTOR POLA ASUH DALAM TUMBUH KEMBANG ANAK
MEMANFAATKAN POTENSI NUKLIR THORIUM DI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG : PELUANG DAN DAMPAK LINGKUNGAN
Pengaruh Sifat Fisika, Kimia Tambang Timah Terhadap Tingkat Kesuburan Tanah di Bangka Belitung
Akuntan dan Jurnalis: Berkolaborasi Dalam Optimalisasi Transparan dan Pertanggungjawaban
Sustainable Tourism Wisata Danau Pading Untuk Generasi Z dan Alpa
Perlunya Revitalisasi Budaya Lokal Nganggung di Bangka Belitung
Semangat PANDAWARA Group: Dari Sungai Kotor hingga Eksis di Media Sosial
Pengaruh Pembangunan Produksi Nuklir pada Wilayah Beriklim Panas
Pendidikan dan Literasi: Mulailah Merubah Dunia Dari Tindakan Sederhana
Mengapa APK Perguruan Tinggi di Babel Rendah ?
Dekonstruksi Cara Pikir Oposisi Biner: Mengapa Perlu?
PENINGKATAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK DENGAN ASAS GOOD GOVERNANCE
UMP Bangka Belitung Naik, Payung Hukum Kesejahteraan Pekerja atau Fatamorgana Belaka?
Peran Generasi Z di Pemilu 2024
Pemilu Serentak 2024 : Ajang Selebrasi Demokrasi Calon Insan Berdasi
Menelusuri Krisis Literasi Paradigma dan Problematik di Bumi Bangka Belitung
Jasa Sewa Pacar: Betulkah Menjadi sebuah Solusi?
Peran Sosial dan Politis Dukun Kampong
Mahasiswa dan Masalah Kesehatan Mental
Analogue Switch-off era baru Industri pertelevisian Indonesia
Di Era Society 50 Mahasiswa Perlu Kompetensi SUYAK
HUT ke-77 Kemerdekaan Republik Indonesia, sudah merdekakah kita?
Pemblokiran PSE, Pembatasan Kebebasan Berinternet?
Pentingnya Pemahaman Moderasi Beragama Pada Mahasiswa di Perguruan Tinggi Umum
SOCIAL MAPPING SEBAGAI SOLUSI TATA KELOLA SUMBER DAYA ALAM
Bisnis Digital dan Transformasi Ekonomi
Masyarakat Tontonan dan Risiko Jenis Baru
Penelitian MBKM Mahasiswa Biologi
PEREMPUAN DI SEKTOR PERTAMBANGAN TIMAH (Refleksi atas Peringatan Hari Kartini 21 April 2022)
Kiat-kiat Menjadi “Warga Negara Digital” yang Baik di Bulan Ramadhan
PERANG RUSIA VS UKRAINA, NETIZEN INDONESIA HARUS BIJAKSANA
Kunci Utama Memutus Mata Rantai Korupsi
Pengelolaan Sumber Daya Air yang Berkelanjutan
SI VIS PACEM PARABELLUM, INDONESIA SUDAH SIAP ATAU BELUM?
KONKRETISASI BELA NEGARA SEBAGAI LANGKAH PREVENTIF MENGHADAPI PERANG DUNIA
Memaknai Sikap OPOSISI ORMAWA terhadap Birokrasi Kampus
Timah, Kebimbangan yang Tak akan Usai
Paradigma yang Salah tentang IPK dan Keaktifan Berorganisasi
Hybrid Learning dan Skenario Terbaik
NEGARA HARUS HADIR DALAM PERLINDUNGAN EKOLOGI LINGKUNGAN
Mental, Moral dan Intelektual: Menakar Muatan Visi UBB dalam Perspektif Filsafat Pierre Bourdieu
PEMBELAJARAN TATAP MUKA DAN KESIAPAN
Edukasi Kepemimpinan Milenial versus Disintegrasi
Membangun Kepemimpinan Pendidikan di Bangka Belitung Berbasis 9 Elemen Kewarganegaraan Digital
Menuju Kampus Cerdas, Ini yang Perlu Disiapkan UBB
TI RAJUK SIJUK, DIANTARA KESEMPATAN YANG TERSEDIA
Mengimajinasikan Dunia Setelah Pandemi Usai
ILLEGAL MINING TIMAH (DARI HULU SAMPAI HILIR)
PERTAMBANGAN BERWAWASAN LINGKUNGAN
Inflasi Menerkam Masyarakat Miskin Semakin Terjepit
NETRALITAS DAN INTEGRITAS PENYELENGGARA PEMILU
Siapa Penjarah dan Perampok Timah ???
Menjaga Idealisme dan Kemandirian Pers
POLITIK RAKYAT DAN TANGGUNG JAWAB PEMIMPIN
Penelitian Rumpon Cumi Berhasil di Perairan Tuing, Pulau Bangka
Gratifikasi, Hati-Hatilah Menerima Sesuatu
Perairan Tuing, Benteng Sumberdaya Perikanan Laut di Kabupaten Bangka