UBB Perspective
Universitas Bangka Belitung
Artikel UBB
Universitas Bangka Belitung's Article
04 November 2011 | 16:40:50 WIB
Andai Pemimpin Bangka Petani?
Ditulis Oleh : Iksander, S.Sos
Pemimpin yang masa kecilnya, tiada jauh-jauh dengan berkebun. Bermain di sela padi darat sambil mulot atau mentandi burung. Yang punya kenangan akan kulong dan sungai. Atau tumbik, dimana ikan tanah sebesar lengan berlenggang bebas di air jernihnya.
Pemimpin yang bisa bersahabat dengan lingkungannya. yang melihat tanah dan pohon bukan obyek, namun subyek. Pemberi kehidupan. Seperti laku suku Badui di Jawa sana. Menghormati alam. Dan menggunakannya secara bijak.
Bangka Belitung baru menjadi provinsi, sekitar 11 tahun lalu. Tapi saya merasa tiada jauh berbeda keadaannya ketika status masih bagian dari Sumatera Selatan. Atau ketika ditarik masa lebih jauh, ketika pertama Belanda menjajah pulau ini. Sama saja masih berkutat dengan timah, timah dan timah.
Ketika dahulu lepas dari Belanda, dan Bangka Tin Mining Bedrijft itu beralih menjadi UPTB, Bangka cuma dapat Rumah sakit Timah, dan fasilitas mewah untuk kalangan tertentu. Sedang royalty jauh di Palembang dan Jakarta sana.
Lepas dari Sumsel, jadi provinsi, Timah masih menjadi milik mereka, saudagar, yang kata Iwan Piliang, saudagar tak jelas asal bangsanya. Jenis saudagar ini tak kenal arti wawasan nusantara dan cinta lingkungan. Bisa jadi mereka jenis saudagar yang tinggal di langit saking tak jelasnya. Sama halnya dengan trilyunan rupiah hasil timah yang raib tak berbekas di pulau ini.
Untuk sekedar tidak lupa mengingat, ada juga persentase dari trilyunan rupiah itu untuk masyarakat Bangka Belitung. Namun cuma remah-remahnya saja. Ibaratnya di musim penghujan, anda cuma dapat rintiknya saja.
Pemimpin kita berkilah bahwa membiarkan tambang rakyat adalah kebijakan yang bijaksana dan arif. Bukankah kita telah memberi kehidupan yang layak bagi manusia-manusia Melayu, China, Jawa dan lainnya yang berdiam di Pulau ini. Meningkatkan taraf hidup mereka.
Lihatlah toko emas, ramai pembeli. Motor dan mobil laris manis bak kacang goreng. Leasing bak jamur di musim penghujan. Tak cuma kendaraan, alat berat harga milyaran itu bahkan terbeli. Dan wanita-wanita penghibur itu, sengaja didatangkan dari jauh. Kamp remang-remang seperti gipsi, bernyanyi dan berpindah.
Pemimpin yang kerap latah, dengan baligho besar dan seremoni pencitraan. Entah sadar atau tidak, mereka seolah menipu diri sendiri. Memberi gula, namun racun di kemudian hari. Berkacak pinggang dengan lesung seringai, senyum. Namun kata De Massiv, cinta itu membunuh ku.
Kata orang, atau pikir anda, kata-kata saya ini provokatif. Saya akui jelas provokatif. Apalagi dekat-dekat dengan Pemilukada yang sebentar lagi ini. Entah ini untuk posisi provinsi atau kabupaten/kota. Sama saja. Saya lebih suka menyebutnya, tulisan ini sebagai penyadaran. Jika pun tidak bisa berarti utopis.
Bahwa sejauh ini, tak ada pemimpin kita yang sadar bahwa provinsi ini sedang going down bukan going up. Kita selalu dan selalu beralih ke timah. Untuk bahan tambang yang tak seberapa itu, tak bisa dibayangkan bagaimana jadinya untuk 10 atau 20 tahun kemudian. Saya bukan berbicara saat ini, namun untuk hari-hari ketika cucu atau anak kita sedang gundah gulana, seolah sendiri di pulau terpencil. Tiada hubungan. Tiada tetangga bisa diminta tolong.
Benarlah bahwa ketika berurusan dengan uang, tak ada kata seperadek. Apalagi dengan konsep uang cepat. Tiada bandang tak bisa diterjang.
AdamSmith, bisa jadi benar bahwa pasar bekerja di tangan tangan misterious. Dan kita, Bangka Belitung berada pada tangan-tangan misterius itu. Para saudagar-saudagar itu. Yang datang dari negeri entah berantah. Menguras dan menguras. Bukan Cuma saudagar, tapi mereka-mereka yang punya kuasa dan hukum.
Jadilah mereka, kaum yang tak lebih 350 tahun lampau. Zaman ketika suku Han berjejer di kerangkeng dengan rantai besi. Menggali timah.
Lucu juga mendengar ada konsep ekonomi kerakyatan. Yang saya pikir tak lebih dari konsep kelas pekerja, bahwa modal adalah punya masyarakat, di tangan buruh dan petani. Yang pada dasarnya adalah, mendorong bidak namun menteri mencari langkah mematikan.
Tak usah bawa-bawa nama rakyat, kalau mindset masih berkisar fulus. Kalau sedekah mesti diliput dan diapresiasi. Rakyat dijual, atas nama mereka, dapat untung tiada terkira.
Pemimpin kita juga, harusnya seorang nelayan. Masa kecilnya, akrab dengan laut. Dengan ikan dan badai tengah malam. Dengan pantangan laut itu.
Bahwa merusak karang, akan membuat hijarah ikan kecil dan plankton. Bahwa itu berarti mereka harus lebih jauh mengayuh sampan. Atau itu berarti mematikan nafkah itu sendiri.
Lalu kemudian, akibat kebijakan tambang rakyat itu, datang kemudian pekerja-pekerja dari tetangga. Pekerja lokal yang awalnya cinta lingkungan dan mau berkebun, akhirnya ikut-ikutan. Nelayan yang awalnya setia pada laut, akhirnya menjarah laut juga. Faktor ikut ikutan ini orang bilang multiplier efek.
Bagaimana tidak, untuk dapat duit, panen lada perlu kurang lebih tiga setengah tahun. Bandingkan dengan pelimbang, satu hari bisa dapat hasil sama tiga setengah tahun itu.
Saudagar pun bergembira ria. Lah wong inilah kebijakan yang pro rakyat. Lihatlah mereka bisa sekolah tinggi. Laptop bisa dibeli untuk anak-anak ku. Motor bisa dibawa ke sekolah. Tak usah lagi dengan sepeda.
Begini lah kalau, fulus pegang kendali. Saya pikir, tak cuma timah. Kalau bisa masyarakatnya dijual saja perorang. Berikut pulau nya.
Tapi saya haqqul yakin, diantara mereka, diantara kita ini, ada calon pemimpin yang tak goyah akan fulus. Yang punya niat tulus untuk membangun peradaban di Bangka Belitung. Yang pemimpin tak bangga karna hanya menjaga warisan.
Yang terakhir ini, ada pemimpin ini tak "melakukan apapun", dia Cuma mewariskan, menjaga saja kotanya. Hal yang wajar lalu, seperti museum, kota bersih dan berkilau. Tak heran kalau langganan adipura. Seremoni yang kata orang Bangka, ulok-ulok. Herannya bangga dengan itu.
Saya pikir, pemimpin kita patut mencontoh orang tua dahulu di Kampung-kampung. Prinsip Kelekak itu perlu di tiru. Menaman bukan bermaksud untuk diri sendiri, namun untuk orang lain. Generasi yang akan datang. Kebijakan kita bukan untuk saat ini, namun demi masa depan. Untuk anak cucu kita. Kalimat yang sering didengar, namun minim aplikasi. ***
Penulis : Iksander
Editor Website ubb.ac.id
UBB Perspectives
Carbon Offset : Blue Ocean dan Carbon Credit
Hari Lingkungan Hidup: Akankah Lingkungan “Bisa” Hidup Kembali?
FAKTOR POLA ASUH DALAM TUMBUH KEMBANG ANAK
MEMANFAATKAN POTENSI NUKLIR THORIUM DI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG : PELUANG DAN DAMPAK LINGKUNGAN
Pengaruh Sifat Fisika, Kimia Tambang Timah Terhadap Tingkat Kesuburan Tanah di Bangka Belitung
Akuntan dan Jurnalis: Berkolaborasi Dalam Optimalisasi Transparan dan Pertanggungjawaban
Sustainable Tourism Wisata Danau Pading Untuk Generasi Z dan Alpa
Perlunya Revitalisasi Budaya Lokal Nganggung di Bangka Belitung
Semangat PANDAWARA Group: Dari Sungai Kotor hingga Eksis di Media Sosial
Pengaruh Pembangunan Produksi Nuklir pada Wilayah Beriklim Panas
Pendidikan dan Literasi: Mulailah Merubah Dunia Dari Tindakan Sederhana
Mengapa APK Perguruan Tinggi di Babel Rendah ?
Dekonstruksi Cara Pikir Oposisi Biner: Mengapa Perlu?
PENINGKATAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK DENGAN ASAS GOOD GOVERNANCE
UMP Bangka Belitung Naik, Payung Hukum Kesejahteraan Pekerja atau Fatamorgana Belaka?
Peran Generasi Z di Pemilu 2024
Pemilu Serentak 2024 : Ajang Selebrasi Demokrasi Calon Insan Berdasi
Menelusuri Krisis Literasi Paradigma dan Problematik di Bumi Bangka Belitung
Jasa Sewa Pacar: Betulkah Menjadi sebuah Solusi?
Peran Sosial dan Politis Dukun Kampong
Mahasiswa dan Masalah Kesehatan Mental
Analogue Switch-off era baru Industri pertelevisian Indonesia
Di Era Society 50 Mahasiswa Perlu Kompetensi SUYAK
HUT ke-77 Kemerdekaan Republik Indonesia, sudah merdekakah kita?
Pemblokiran PSE, Pembatasan Kebebasan Berinternet?
Pentingnya Pemahaman Moderasi Beragama Pada Mahasiswa di Perguruan Tinggi Umum
SOCIAL MAPPING SEBAGAI SOLUSI TATA KELOLA SUMBER DAYA ALAM
Bisnis Digital dan Transformasi Ekonomi
Masyarakat Tontonan dan Risiko Jenis Baru
Penelitian MBKM Mahasiswa Biologi
PEREMPUAN DI SEKTOR PERTAMBANGAN TIMAH (Refleksi atas Peringatan Hari Kartini 21 April 2022)
Kiat-kiat Menjadi “Warga Negara Digital” yang Baik di Bulan Ramadhan
PERANG RUSIA VS UKRAINA, NETIZEN INDONESIA HARUS BIJAKSANA
Kunci Utama Memutus Mata Rantai Korupsi
Pengelolaan Sumber Daya Air yang Berkelanjutan
SI VIS PACEM PARABELLUM, INDONESIA SUDAH SIAP ATAU BELUM?
KONKRETISASI BELA NEGARA SEBAGAI LANGKAH PREVENTIF MENGHADAPI PERANG DUNIA
Memaknai Sikap OPOSISI ORMAWA terhadap Birokrasi Kampus
Timah, Kebimbangan yang Tak akan Usai
Paradigma yang Salah tentang IPK dan Keaktifan Berorganisasi
Hybrid Learning dan Skenario Terbaik
NEGARA HARUS HADIR DALAM PERLINDUNGAN EKOLOGI LINGKUNGAN
Mental, Moral dan Intelektual: Menakar Muatan Visi UBB dalam Perspektif Filsafat Pierre Bourdieu
PEMBELAJARAN TATAP MUKA DAN KESIAPAN
Edukasi Kepemimpinan Milenial versus Disintegrasi
Membangun Kepemimpinan Pendidikan di Bangka Belitung Berbasis 9 Elemen Kewarganegaraan Digital
Menuju Kampus Cerdas, Ini yang Perlu Disiapkan UBB
TI RAJUK SIJUK, DIANTARA KESEMPATAN YANG TERSEDIA
Mengimajinasikan Dunia Setelah Pandemi Usai
ILLEGAL MINING TIMAH (DARI HULU SAMPAI HILIR)
PERTAMBANGAN BERWAWASAN LINGKUNGAN
Inflasi Menerkam Masyarakat Miskin Semakin Terjepit
NETRALITAS DAN INTEGRITAS PENYELENGGARA PEMILU
Siapa Penjarah dan Perampok Timah ???
Menjaga Idealisme dan Kemandirian Pers
POLITIK RAKYAT DAN TANGGUNG JAWAB PEMIMPIN
Penelitian Rumpon Cumi Berhasil di Perairan Tuing, Pulau Bangka
Gratifikasi, Hati-Hatilah Menerima Sesuatu
Perairan Tuing, Benteng Sumberdaya Perikanan Laut di Kabupaten Bangka