+62 (0717) 422145
Link Penting UBB

Artikel Feature UBB

Universitas Bangka Belitung's Feature
27 Juli 2011 | 14:02:55 WIB


Catatan Perjalanan ke Shanghai








Foto Kota Shanghai China


Shanghai, kota paling kosmopolitan, bersemangat, dan ekonomis makmur di dunia. Awalnya kurang dari satu abad lalu, Shanghai merupakan beberapa desa nelayan di sepanjang tepi sungai rendah dan berlumpur. Sekarang Shanghai menjadi sebuah kota metropolis yang besar. Ia benar-benar sebuah kota besar dan tempat jalan-jalan bersepeda yang modern, gedung pencakar langit, hotel-hotel dan klub mewah, trem, dan bus yang teratur.

Dibandingkan dengan kota-kota tetangga seperti Nanjing, Suzhou dan Hangzhou di zaman Cina kuno, Shanghai jarang disebutkan. Namun ketika Inggris membuka waralaba pertama mereka di tahun 1842, setelah perang Opium yang pertama, perubahan terjadi begitu cepat dengan kegiatan perikanan dan penenunan. Prancis muncul pada tahun 1847 dan itu tidak lama sebelum ia mendirikan sebuah perjanjian internasional. Jepang mengguncang di tahun 1895 ketika kota itu sedang membangun pemukiman, benar-benar otonom dan kebal terhadap hukum Cina.

Pada tahun 1949, Shanghai telah diubah oleh pemerintah Komunis China. Semenjak orang-orang asing pergi, perusahaan yang tertinggal diambil oleh pemerintah. Setelah kehilangan tanah selama Revolusi Kebudayaan 1966-1976, kebijakan pintu terbuka Deng Xiaopeng memperbolehkan Shanghai untuk maju menjadi kekuatan internasional dalam bisnis dan keuangan. Kota ini terus tumbuh dengan rute baru untuk stasiun Metro di seluruh kota, bursa saham paling modern di dunia dan dua institusi budaya baru.

Berikut catatan perjalanan penulis bersama delegasi dari Universitas Bangka Belitung saat melakukan lawatan ke Shanghai Second Polytecnic University (SSPU) dikawasan Pudong, Shanghai.

Akhir bulan Juni 2011, dalam kesempatan mengunjungi sebuah institusi pendidikan tinggi di luar negeri, kami melakukan perjalanan menuju Shanghai sambil menikmati keanekaragaman pemandangan yang belum pernah dinikmati sebelumnya. Perjalanan dimulai dengan perjalanan udara dari Jakarta menuju Kuala Lumpur dengan pesawat Air Asia selama dua jam. Setelah beristirahat sejenak di hotel dikawasan Bukit Bintang kemudian perjalanan dilanjutkan menuju Hangzhou.

Hampir tidak ada pemandangan kota Kuala Lumpur yang bisa dinikmati karena saat tiba dibandara Kuala Lumpur pada malam hari. Jadi ketika tiba lalu menginap sampai berangkat persisnya di rentang pukul 11 malam sampai pukul 5 pagi.

Dengan menggunakan maskapai penerbangan yang sama, kami menempuh perjalanan selama empat jam menuju Hangzhou, sebuah kabupaten yang memiliki bandara internasional yang sangat bagus. Tiba tengah hari, dengan temperatur sekitar 37 derajat celsius kami bergegas menuju stasiun kereta api dengan menggunakan bus. Sepanjang jalan terlihat wajah Hangzhou dengan perpaduan pepohonan hijau yang seimbang banyaknya dengan perumahan penduduk berbentuk seragam yaitu kotak dan bertingkat-tingkat seperti rusun.

Diantara perumahan dan pepohonan terdapat beberapa pabrik dan pasar tradisional. Suasananya teratur, bersih meski masih terlihat semerawut lalulintas di kotanya. Perjalanan ke stasiun kereta api berakhir setelah melewati jembatan panjang menuju kota Hangzhou.

Belum hilang letih ini, kami sudah harus menaiki kereta api cepat buatan Cina. Kepadatan penduduk mulai terlihat disini. Terbayang bahwa kami harus antri dengan berdesakan dengan waktu yang lama. Bayangan itu sirna ketika ratusan calon penumpang yang berkerumun di stasiun itu masuk dengan lancar menuju tempat duduk kereta api cepat itu, tanpa antri dan berdesakan!.



Rombongan ketika berada di kereta api cepat Shanghai


Suasana di dalam kereta api yang mampu berjalan di atas rel hingga 350 km/jam ini kira-kira sama dengan suasana di dalam kereta api eksekutif Parahyangan atau Agrobromo di Indonesia. Perbedaanya hanya kecepatanya. Tidak ada pemeriksaan karcis apalagi yang menawarkan makanan atau minuman. Bila bicara makanan dan minuman, teringat bahwa selama perjalanan kami dari Jakarta, tidak pernah kami mendapatkannya kecuali harus membayar. Pantas saja maskapai ini adalah maskapai dengan predikat the best low cost fare.

45 menit diatas kereta api cepat, akhirnya sampai di stasiun kereta api Shanghai Hungqiao. Megah, modern, besar dan terkesan sangat terencana. Decak kagum terus meliputi pikiran kami sambil melihat sekeliling hingga tidak terasa lagi letih di badan. Kami telah benar-benar sampai di Shanghai.

Sore menjelang malam kami tiba di hotel tempat menginap untuk beberapa hari ke depan. Selama perjalanan ke hotel, kami kembali terkagum-kagum dengan keindahan kota Shanghai. Tanpa kami sadari, ditengah perjalanan dengan taksi, kami menempuh jalan aspal melalui terowongan (Yanan East Road Tunnel) bawah tanah sekaligus bawah sungai besar! Sungai Huang pujiang. Huang pujiang adalah anak sungai Yangtse yang merupakan lalu lintas kapal-kapal dagang dan pesiar dari seluruh dunia. Karena itulah Shanghai terkenal sebagai kota dengan pelabuhan tersibuk di dunia seperti halnya Singapura dan Amsterdam.

Bagian belakang hotel tempat menginap berada di sisi jalan Nanjing, yaitu jalan yang hanya dilalui oleh pejalan kaki dengan pemandangan yang indah. Disepanjang jalan Nanjing, terdapat toko-toko, hotel, taman, panggung hiburan yang terbentang dari arah barat ke timur sepanjang kurang lebih dua kilometer dan berakhir di pinggiran sungai Huang pujiang.

Jalan Nanjing terkenal sebagai salah satu pusat pariwisata seperti halnya jalan Malioboro di Jogja. Pada waktu tertentu biasanya di sore hari menjelang malam, jalan ini sangat padat dikunjungi pengunjung yang berkumpul dipingiran sungai Huang Pujiang untuk melihat keindahan kota Shanghai di seberangnya yaitu di daerah Pudong Xinqu. Daerah ini relatif baru dibangun dengan arsitek bangunan yang lebih modern seperti World Financial Building, Oriental Pearl TV Tower, Jinmao Building dan lainnya. Berbeda dengan dengan daerah barat yang lebih didominasi bangunan lama seperti The Bund dan Yu Garden. Meski terdapat juga bangunan modern seperti Shanghai Museum, Shanghai Grand Theatre dan Peoples Garden.



Penulis ketika berada di jalan kota Shanghai


Tinggal dikota Shanghai selama empat hari belum cukup untuk melihat keseluruhan tempat-tempat pariwisata. Namun kami sempat menikmati perjalanan di bawah tanah seperti kereta api dan berjalan di kota tua yang dikubur oleh bangunan modern Shanghai Urban Planning Exhibition Centre. Bangunan-bangunan tua yang terdapat dibawah gedung modern tersebut dilestarikan dengan menjadikannya pusat perbelanjaan sekaligus museum yang menampilkan foto-foto tempo dulu tentang keberadaan bangunan-bangunan tua tersebut.

Kami merasakan berjalan di kota bawah tanah yang saling terhubung dengan tempat-tempat penting termasuk stasiun kereta bawah tanah dan Hongkong Shopping Centre. Bila kita ingin keluar dari perjalanan bawah tanah, tinggal naik tangga kepermukaan dan muncul ditempat tertentu. Luar biasa!

Makanan halal tidaklah menjadi masalah selama kami di Shanghai karena terdapat beberapa restoran yang menyediakan makanan halal. Makanan tersebut memiliki variasi yang cukup banyak mulai dari sea food sampai sayuran dalam bentuk sup panas, kering atau dingin. Kebiasaan makan nasi sebagai menu utama memang harus diredam karena nasi di sini hanya sebagai pelengkap. Ada yang mengatakan nasi dimakan bila menu-menu yang telah disantap sebelumnya belum mengenyangkan perut.

Saat berada di Shanghai, cuaca ketika itu masih dalam musim panas sehingga pakaian yang digunakan oleh sebagian besar masyarakat setempat adalah pakaian santai berjenis kaos atau katun dengan padanan jins atau celana pendek. Meskipun kondisi suhu panas (36-40 derajat celcius), tetapi masyarakatnya tetap berpakaian yang tidak terlalu terbuka yang umumnya dikenakan oleh masyarakat barat. Ini memperlihatkan bahwa mereka masih menjaga sopan santun dalam berpakaian. Nilai-nilai yang juga menjadi nilai umum dari masyarakat Asia.

Hal ini juga tersirat pada program televisi Cina yang tidak pernah menampilkan tayangan wanita seksi atau cerita panas. Bahkan sebaliknya mempertontonkan budaya dan cerita dengan latar belakang budaya Cina atau kisah heroik pahlawan Cina pada zaman dulu.

Nilai lain yang tersirat adalah kedisiplinan, penghargaan terhadap waktu dan uang sangat terasa disini. Raut muka petugas hotel terlihat kesal ketika harus memerintahkan taksi untuk segera pergi dari depan lobby manakala sejumlah calon penumpang yang merupakan tamu hotel masih mengobrol dan belum bergerak menuju taksi yang sudah menunggu lama. Calon penumpang itu tidak sipit matanya, berarti bukan orang Cina.

Namun satu hal yang patut dibanggakan dari orang Indonesia adalah keramahan dan kesopanan yang lebih ketimbang pelayanan yang dilakukan disini. Pelayan restoran, petugas hotel, supir taksi atau pedagang makanan terasa kaku dalam melayani pelanggan namun ketika lembaran Yuan sudah ditangan untuk membayar, maka secepat kilat tangan mereka sudah menyambarnya.

Pengamatan lain yang dirasakan adalah kesulitan atau hambatan berbahasa Inggris. Jarang sekali kami bertemu dengan masyarakat Shanghai yang dapat berkomunikasi berbahasa Inggris termasuk pelaku bisnis, seperti pelayan hotel atau pedagang toko sehingga banyak hal yang harus kami ungkapkan dalam bahasa tubuh atau dengan kalkulator manakala harus tawar menawar harga.

Bahasa Inggris sepertinya tidak menjadi suatu keharusan bagi mereka karena justru mereka ingin bahasa Mandarin menjadi bahasa internasional, meski demikian mereka juga menyadari bahwa untuk menginternasionalisasikan negaranya, komunikasi menjadi amat penting.

Dibidang pendidikan, Cina merupakan pelopor pendidikan wajib sembilan tahun. Berdasarkan data Shanghai Education Association for International Exchange Data pada tahun 2000, jumlah sekolah wajib sebanyak 3.000 sekolah yang terdiri dari 850 SLTA dan SLTP, 1.200 SD dan 930 TK dengan kurang lebih 760.000 siswa SLTA SLTP, 871.000 siswa SD dan 76.000 guru serta 64.000 staf. Sementara itu terdapat 158 SMK yang memiliki 232.700 siswa. Terdapat 41 institusi pendidikan tinggi (akademi, politeknik) yang menawarkan program D3 dan S1 dengan 200.000 mahasiswanya. Selanjutnya, terdapat 138 institusi pendidikan tinggi (universitas) dengan 176.700 mahasiswa. Dana pendidikan ditahun tersebut mencapai RMB 9 Triliun Yuan yang selalu meningkat kurang lebih 16-20% tiap tahun. Dari sejumlah itu dana pendidikan yang berasal dari uang sekolah siswa/mahasiswa sekitar RMB 1,3 Triliun Yuan atau 14,5%. Selebihnya didapat dari pemasukan universitas (riset, pengabdian masyarakat, dll) dan sumbangan lainnya.

Konsep pendidikan yang ditawarkan lebih kepada pendidikan berbasis kebutuhan lapangan kerja. Meskipun program Strata, komponen praktis cukup banyak diterapkan dalam kurikulumnya serta ditambah dukungan dunia usaha yang peduli keberlangsungan pendidikan di sana. Sehingga tidak heran bila universitas tempat kami berkunjung, menjanjikan mahasiswanya bahwa dalam tiga bulan setelah mereka lulus akan dijamin masuk kerja. Apabila tidak terwujud, mereka akan mendapatkan kembali uang kuliahnya.

Sungguh perjalanan yang luar biasa. Bahkan dalam perjalanan kembali ketanah air, lewati rute yang sama, diskusi dalam perjalanan selalu diwarnai dengan kisah pengalaman selama berada di Shanghai. Ya, Shanghai, kota metropolis yang modern, maju, disiplin, teratur, rapi dengan segala kekurangan/keterbatasan yang ada tetapi selalu menjadi benchmark bagi kota-kota lain di dunia termasuk Indonesia sebagai acuan dalam membangun kota atau peradaban lokal. Tak heran bila ada pernyataan yang telah berabad silam berbunyi "tuntutlah ilmu sampai kenegeri Cina".

Dalam sejumlah diskusi di antara rombongan, maka kunci dari apa yang kami rasakan dan lihat di Shanghai adalah "Human Capital". Betapa pun kaya suatu negeri bila tidak dikelola oleh manusia yang baik, perkembangan negeri itupun tidak berjalan dengan baik. Kebalikannya, bila suatu negeri meski tidak kaya secara sumber daya alam namun ada keinginan kuat manusianya untuk membangun, maka negeri itu akan kaya.

Sudah banyak slogan, arahan, himbauan, baik dari hasil penelitian maupun kebijakan untuk mengarahkan manusia kearah lebih baik namun kelihatannya kita masih memerlukan banyak waktu lagi untuk itu. Cina, negara yang menganut komunisme mampu membangun negara yang seyogyanya kita yang beragama, lebih mampu lagi membangun negara dengan kepercayaan penuh atas Maha Pencipta alam semesta ini. Semoga kita bisa memulai kehidupan lebih baik ini dari diri sendiri, keluarga, masyarakat dan negara dengan melakukan hal-hal baik meski kecil namun konsisten, serta tetap menjaga nilai-nilai luhur bangsa ini. Amiiin.




Written By : R.Priyoko Prayitnoadi, M.Eng
WAREK III UBB

Feature UBB

Berita UBB

UBB Perspectives