+62 (0717) 422145
Link Penting UBB

Artikel Feature UBB

Universitas Bangka Belitung's Feature
12 Mei 2008 | 06:17:04 WIB


TIONGKOK DAN PULAU BANGKA


Sejarah Pulau Bangka tidak dapat dilepaskan keterkaitannya dengan Tiongkok terutama kedatangan para migran dari Tiongkok ke Pulau Bangka. Melihat dari sejarah kedatangan pada migran Tionghoa di Pulau Bangka, ternyata budaya bedol desa juga dikenal di kalangan masyarakat Tionghoa. Setidaknya, masyarakat Tionghoa di Pulau Bangka adalah bukti dari praktik bedol desa yang menurut catatan Belanda berlangsung sejak awal abad ke-18 atau sekitar tahun 1710 Masehi. Masyarakat Tionghoa dari suku Ke Jia (sering disebut Orang Khe) dari Provinsi Guang Dong, Tiongkok, adalah komunitas Tionghoa terbesar di Bangka-Belitung yang melakukan migrasi sistem bedol desa berabad silam dari daratan Tiongkok. Mereka berangkat dari kampung-kampung di distrik tertentu seperti Sin Neng, San Wui, Hoi P’eng, Yan P’eng, Nam Hoi, P’un Yue, Shun Tak, Tung Kwun, dan Heung Shan (lafal ini tidak menggunakan standar Han Yu Pin Yin-Red). Bagian terbesar dari migran tersebut adalah kuli tambang timah.

Seiring perjalanan waktu, di Pulau Bangka yang berada di bawah Kesultanan Palembang ditemukan timah, dan tenaga kerja yang dianggap berpengalaman adalah orang Tionghoa suku Kejia yang memang terkenal memiliki keahlian di bidang pertambangan. Sebagian besar kuli timah tersebut berasal dari satu kampung halaman. Dan tak ubahnya para pekerja marjinal di Jakarta dewasa ini, saat mereka pulang kampung dan kembali ke Bangka, mereka mengajak kawan dan sanak saudaranya berbondong-bondong datang.

Hal tersebut berlangsung terus hingga abad ke-20. Seizin penguasa Kesultanan Palembang dan Kerajaan-kerajaan Melayu seperti Lingga dan Johor yang silih berganti menanamkan pengaruh di Bangka-Belitung, masyarakat Tionghoa pun membangun permukiman di sana.

Permukiman mula-mula berada di sekitar Panji dekat Teluk Klabat. Selanjutnya, seiring penemuan tambang baru, permukiman berkembang di Toboali, Koba, Sungai Liat, Jebus, Merawang, Baturusa, dan Koba di selatan Pulau Bangka. Terciptalah pola permukiman yang unik, masyarakat Bangka-Melayu tinggal di dekat sungai karena mereka berkebun. Sedangkan perkampungan Tionghoa selalu berada di sekitar lubang tambang timah sesuai jalur timah (tin trap-Red) di sepanjang Pulau Bangka dan Belitung. Pola permukiman tersebut tetap bertahan hingga hari ini atau lebih dari tiga abad. Perkampungan Tionghoa selalu berada di sekitar jebakan timah atau bekas tambang. Sedangkan perkampungan Melayu di sekitar sungai tempat mereka berkebun dan mencari nafkah dari berladang. Menurut penuturan Ketua Badan Warisan Bangka (Bangka Heritage Society-Red), Para petinggi Tionghoa yang semula di sebut Tiko (Da Ge dalam bahasa Mandarin-Red) yang artinya "Kakak" menjadi pemimpin komunitas mereka. Selanjutnya pada zaman kolonial Belanda, para ketua Tionghoa tersebut diberi pangkat titular sebagai Letnan dan Kapten China (Lieutenant dan Kapitein de Chinezen-Red).

Seiring berlalunya waktu, Bangka pun menjadi museum Budaya Tionghoa khususnya suku Hakka. Ribuan klenteng besar dan kecil, rumah antik berusia ratusan tahun, dan pola hidup tradisional merupakan warisan budaya yang unik dan tiada duanya. Salah satu tempat yang masih utuh menggambarkan kehidupan seabad silam adalah Kampung Gedong sekitar 90 kilometer sebelah utara Kota Pangkal Pinang atau hanya sekitar setengah jam perjalanan dari Kota Sungai Liat. Perkampungan tersebut adalah komunitas Tionghoa keturunan enam bos timah yang dahulu menguasai kawasan Parit 6 atau Liuk Phun Thew dalam dialek Hakka. Deretan rumah kayu antik, ornamen Tionghoa, kaligrafi Han Zi, tempat pemujaan di depan rumah, dan klenteng pelindung desa merupakan pemandangan eksotis berpadu dengan alam tropis Pulau Bangka. Pemandangan tersebut mengingatkan kita pada film-film tahun 1940-an. Seperti bagian kota tua di Penang, Malaka, dan China Town, Singapura, demikianlah suasana Kampung Gedong. Suasana di permukiman yang hanya dihuni sekitar 50 keluarga itu sangat sepi dan tenang.

Setiap hari besar seperti Imlek, Peh Cun, Qing Ming pasti digunakan untuk berkumpul warga. Dalam sejumlah perayaan, sering kali diarak lakon Sun Kong (Sun Wu Gong-Red) yang menjadi Dewa Pelindung Kampung Gedong.

Menurut Hongky, sejak tahun 2000, Kampung Gedong ditetapkan sebagai desa wisata. Namun, perlahan tapi pasti, generasi muda Kampung Gedong yang berpendidikan baik mulai meninggalkan kampung halaman mereka. Yang unik adalah, kaum muda yang tersisa kembali bekerja di tambang timah tradisional (kerap disebut Tambang Inkonvensional atau TI-Red) mengikut jejak langkah nenek moyang mereka dengan teknik yang kurang lebih sama. Sedangkan berkebun lada sudah tidak lagi dilakukan karena harga telanjur hancur dan belum menunjukkan tanda-tanda kembali ke masa kejayaannya. Tampaknya sejarah Tionghoa dan timah di Bangka sedang terulang kembali. Tentu saja kali ini tidak diikuti kedatangan kuli timah dari Tiongkok seperti nenek moyang mereka.

Seiring berjalannya waktu, keturunan Tionghoa yang lahir dan pernah tinggal di Babel namun kemudian kembali ke Tiongkok melakukan kunjungan ke Babel dalam rangka mengunjungi keluarga dan tanah kelahirannya di Babel. Momen kunjungan para keturunan Tiongkok tersebut merupakan peluang untuk mempromosikan obyek wisata yang banyak terdapat di Propinsi Kepulauan Bangka Belitung, baik wisata agro seperti perkebunan lada, sawit maupun karet, wisata alam, maupun wisata sejarah dan budaya yang berkaitan dengan budaya Tiongkok/Cina seperti ritual sembahyang rebut (Chit Ngiat Pan) dan Imlek.

Pengembangan kampung Gedong sebagai salah satu tujuan wisata sejarah dapat menjadi daya tarik tersendiri bagi warga keturunan Cina yang masih mempunyai keterikatan dengan Bangka untuk mengunjungi tanah kelahiran maupun sanak saudara sekaligus bernostalgia. Melalui pengembangan dan pengelolaan obyek wisata yang optimal serta pemilihan momen yang tepat dalam mempromosikan obyek wisata tersebut, pada masa yang akan datang diharapkan bahwa keterkaitan antara Tiongkok dan Bangka tersebut dapat dikembangkan dan menjadi aset yang potensial untuk meningkatkan pertumbuhan dan kegiatan ekonomi masyarakat dalam sektor-sektor ekonomi lain seperti perhotelan, perdagangan, industri pengolahan, transportasi dan jasa-jasa, sekaligus dapat dijadikan sebagai alternatif pasca timah dan mendukung program pemerintah terutama dalam bidang pariwisata.

Pemerintah daerah Propinsi Kepulauan Bangka Belitung sendiri menargetkan, hingga tahun 2010 Babel akan menjadi tujuan wisata utama Indonesia Bagian Barat. Dan berdasarkan hasil kesepakatan rapat koordinasi pariwisata se-Sumatera yang dilaksanakan di Belitung disepakati bahwa tahun 2007 Gubernur Babel ditunjuk sebagai koordinator rakernis wisata bahari se-Sumatera dan kegiatan operasional akan dipusatkan di Babel. Hal ini terkait dengan program wisata bahari se-Sumatera kerjasama Departemen Pariwisata dengan Pelni yang akan menghadirkan kapal pesiar yang melayari seluruh wilayah propinsi di Sumatera dengan kapasitas 1.500 orang.

Kegiatan wisata bahari ini merupakan program jangka menengah sebagai ujung tombak pengembangan kepariwisataan se-Sumatera. Target wisatawan yang akan dibawa wisatawan domestik maupun mancanegara. Selain membawa wisatawan domestik, kapal tersebut juga akan melewati rute mancanegara ke Singapura, Malaysia, Thailand dan Malaka.

Diharapkan apa yang sudah direncanakan akan terealisasi sesuai dengan yang ditargetkan sehingga pariwisata dapat menjadi unggulan perekonomian pasca lada dan timah. Hal yang diperlukan koordinasi dan kerjasama antara pihak-pihak yang terkait untuk dan dukungan dari seluruh masyarakat serta sarana dan prasarana sehingga harapan untuk menjadikan pariwisata menjadi sektor unggulan penggerak perekonomian tidak hanya sekedar wacana.

Sumber : Kompas

Feature UBB

Berita UBB

UBB Perspectives