+62 (0717) 422145
Link Penting UBB

Artikel Feature UBB

Universitas Bangka Belitung's Feature
18 Juni 2008 | 02:51:49 WIB


Sebuah Pelajaran dari Brasil, Membangun Kedaulatan Energi Nasional


Gejolak harga pangan dan minyak dunia suka atau tidak suka akan berpengaruh pada kehidupan perekonomian bangsa kita. Kenaikan harga BBM pada akhir bulan lalu kemungkinan bukanlah titik akhir dari rangkaian tren kenaikan harga minyak dunia yang masih terus akan berlanjut.

Pemerintah berencana pada 2009 akan menaikkan harga BBM secara bertahap. Konsekuensinya, beban ekonomi yang ditanggung oleh rakyat akan semakin berat karena pada saat yang sama sebagian warga bangsa ini masih hidup di bawah garis kemiskinan meskipun sejatinya antara kenaikan harga BBM dan kemiskinan merupakan permasalahan yang berbeda.

Kemiskinan yang masih menghantui bangsa ini tak lepas dari persoalan-persoalan struktural yang belum terselesaikan. Ini karena jika rakyatnya sejahtera, tentunya kenaikan harga BBM tak akan menimbulkan persoalan yang sedemikian kompleks.

Program Pro-Alcool

Dalam tulisan ini Brasil bisa dijadikan contoh. Ketika Indonesia mengalami booming minyak, Brasil justru mengalami krisis minyak. Brasil waktu itu termasuk negara yang tak memiliki sumber minyak yang besar dan bukan negara anggota OPEC.

Dalam menyikapi krisis akibat lonjakan harga minyak tersebut, pada 1975 Pemerintah Brasil mencanangkan program yang diberi nama Pro-Alcool. Sejak saat itu Brasil dengan serius mencoba mengembangkan energi alternatif ethanol dari bahan baku tebu.

Meskipun tebu sebagai bahan baku ethanol juga merupakan bahan baku gula, tidak terjadi benturan kepentingan yang berarti antara kebutuhan akan gula dan ethanol. Sejak pencanangannya pada 1975 hingga 1985, produk ethanol dari tebu berhasil tumbuh secara signifikan dalam kerangka program Pro-Alcool ini yang memberikan berbagai insentif bagi pengembangan dan peningkatan produksi ethanol.

Setelah tahun 1985, akibat turunnya harga minyak, produksi ethanol sempat mengalami penurunan. Meski demikian, sejak awal dekade 1990-an produksi ethanol dan gula meningkat kembali akibat naiknya daya beli masyarakat berpendapatan rendah sebagai hasil dari program pemerintah federal Brasil ‘Plano Real’ yang mampu mengendalikan laju inflasi.

Saat ini Brasil memiliki tak kurang dari 336 pabrik ethanol dengan kapasitas 16 miliar liter per tahun. Sementara, biaya produksi ethanol di Brasil 0,22 dolar AS per liter. Sebagian besar pabrik ethanol tersebut berlokasi di Sao Paulo. Selain bahan baku dari tebu, saat ini Brasil juga mulai mengembangkan ethanol yang berbahan baku cassava (ubi kayu).

Kini Brasil merupakan salah satu dari empat kekuatan ekonomi dunia baru bersama dengan Rusia, India, dan Cina (BRIC). PDB Brasil pada 2007 mencapai 1,240 triliun dolar AS. Kesemuanya itu berawal dari optimalisasi sektor pertanian untuk kemudian membangun landasan bagi pembangunan industri manufaktur. Suatu rangkaian proses yang sebetulnya pernah dijalani oleh Indonesia, tetapi tak berlanjut.

Pelajaran dari Brasil

Brasil kini tak hanya dikenal sebagai negeri Samba dan produsen pemain-pemain sepak bola kelas dunia, dengan persistensi keseriusan yang tinggi serta dengan kecerdasan melihat potensi lahan pertanian yang luas. Negara ini juga akhirnya saat ini dikenal sebagai raksasa penghasil bioethanol terbesar di dunia.

Sementara itu, sudah melekat erat dalam alam sadar bangsa ini bahwa harga BBM harus murah dan disubsidi. Oleh karenanya, ketika Indonesia masih menuai windfall profit dari booming minyak yang terjadi pada pertengahan dekade 70-an, kita tidak cermat untuk mengantisipasi bahwa minyak sebagai sumber daya alam (SDA) yang tak terbarukan lambat laun akan habis.

Pada saat negara-negara pengekspor minyak termasuk Indonesia waktu itu mendapatkan durian runtuh akibat oil boom tersebut, negara-negara yang notabene miskin minyak mengalami oil crisis. Indonesia sendiri bergabung dengan OPEC pada 1962 dan kini Indonesia justru mulai memikirkan untuk keluar dari OPEC karena sudah tergolong sebagai negara net importer minyak.

Akibat terlena dengan subsidi, bangsa ini tak menghargai akan kelangkaan minyak sebagai sumber energi yang tak terbarukan. Kita bisa lihat betapa borosnya penggunaan energi yang dibakar setiap harinya oleh kendaraan-kendaraan bermotor di jalan raya. Belum lagi inefisiensi dalam utilisasi energi di berbagai lini kehidupan. Akibat dari pengabaian itu pula, kita tak pernah siap untuk membangun sistem dan jaringan transportasi massal yang andal dan memadai.

Dari gambaran suram yang kita hadapi saat ini, memang seolah semuanya sudah serbaterlambat. Meski demikian, menilik dengan apa yang telah dilakukan oleh Brasil pada 1975, setiap kesulitan yang dihadapi dan disikapi dengan tindakan dan langkah yang positif mampu mengatasi masalah untuk kemudian menuai kesuksesan.

Akibat tak punya sumber minyak yang memadai, Brasil berupaya keras memutar otak untuk dapat bertahan. Akhirnya, tebu pun bisa jadi bahan bakar. Sebagai bangsa yang dikaruniai kekayaan alam yang melimpah, kemanfaatan kekayaan alam yang kita miliki bukanlah tanpa reserve. Segala sesuatunya harus ditempuh dengan ikhtiar yang sungguh sungguh.

Oleh karenanya, jadikanlah krisis pangan dan energi yang mendera kita ini sebagai sebuah lecutan untuk bangkit menata kehidupan masa depan yang lebih baik dengan komitmen kebersamaan yang tinggi. Kita bangun kedaulatan energi nasional untuk kemaslahatan bangsa.

Teddy Lesmana
Peneliti pada Pusat Penelitian Ekonomi LIPI

Feature UBB

Berita UBB

UBB Perspectives