UBB Perspective
Universitas Bangka Belitung
Artikel UBB
Universitas Bangka Belitung's Article
26 Agustus 2008 | 05:03:54 WIB
Kebun Lada (Sahang) yang Ditinggalkan
Ditulis Oleh : Admin
Namun kini, kejayaan lada seolah tinggal menghitung hari. Harga jual si lada putih atau sahang dalam bahasa setempat, amat rendah. Membuat kebanyakan warga berpaling pada penambangan timah. Hal ini pula yang mengubah cantiknya wajah Bangka Belitung. Muslim dan keluarganya adalah salah satu yang pernah menikmati kejayaan tanaman lada. Rumah mereka di wilayah Trans Jawa Kecamatan Dendang Belitung Timur, telah berubah dari papan yang rapuh menjadi bangunan yang permanen, berkat 2 ribu batang pohon lada di kebun mereka.
Kini, pohon lada di kebun Muslim telah berkembang menjadi sekitar 5 ribu batang. Setiap pohon, rata-rata menghasilkan 1 kilogram lada. Tapi tak mudah merawat pohonnya. Agar lada yang dihasilkan berkualitas tinggi, perawatannya harus cermat.
Muslim masih ingat betul, pertengahan tahun 90-an adalah masa gemilang si sahang, sang lada. Saat itu, harga lada per kilogram mencapai 50 ribu rupiah. Setiap kali panen, seorang petani lada dapat mengumpulkan sampai 5 ton. Kehidupan petani lada yang kebanyakan tinggal di pedesaan Pulau Belitung, dengan sendirinya terangkat. Bahkan ketika masa krisis melanda tanah air, para petani lada sama sekali tak merasakannya.Tapi kini kisah gemilang itu mulai memudar.
Harga lada kini hanya berkisar 18 ribu rupiah per kilo gram. Padahal, biaya produksi tanaman ini, sangat tinggi. Bisa dibilang, keuntungan mereka kini menurun lebih dari 50 persen. Sehingga keuntungan yang didapat petani, tidak seimbang dengan biaya produksi. Apalagi, tanaman lada dengan kualitas terbaik, biasanya berbuah dua sampai tiga tahun sekali.
Menyiasati tingginya ongkos produksi dengan mengurangi frekuensi pemupukan jelas membawa konsekuensi. Kualitas dan kuantitas lada yang dihasilkan menurun. Para petani yang masih optimis seperti Muslim, memang tetap berupaya untuk memperbaiki produksi ladanya. Tapi banyak juga yang seperti sudah patah arang. Tingginya ongkos produksi dan rendahnya harga jual, menyebabkan sebagian besar petani lada beralih profesi. Menjadi penambang timah inkonvensional, atau lebih dikenal dengan TI. Sebagian bahkan membongkar kebun lada mereka, diubah jadi lokasi tambang. Padahal mineral itu hanya tinggal sisa-sisanya. Bekas galiannya pun berpotensi menimbulkan masalah lingkungan.
Ketika Lada Berlalu di Ganti TI
Berlalunya masa jaya sahang alias lada di Belitung, gampang dilihat. Bagaimana tidak, tahun 2000 masih ada 80 ribu hektar kebun lada. Kini susut hanya tinggal 7 ribu hektar. Banyak pohon lada yang rusak serta bercampur dengan alang-alang. Sebagian bahkan diubah jadi lokasi tambang inkonvensional. Para pemiliknya lebih memilih timah, yang diyakini lebih menguntungkan. Seperti Mulyadi. Ia memang masih merawat kebun lada miliknya. Tapi sudah tidak ia prioritaskan. Kalau dulu 3 hari dalam seminggu ia pasti memantau perkebunannya. Kini paling hanya satu kali. Sekarang ia lebih memilih konsetrasi di pertambangan.
Biasanya, pemilik tambang timah inkonvensional mempekerjakan 3 sampai 5 pegawai, yang diberi upah 5 ribu sampai 8 ribu rupiah per kilogramnya. Bekerja dari pagi hingga sore, pekerjaan mereka dimulai dengan menyemprot tanah galian dengan air sungai, menggunakan generator dan pipa penyemprot.
Tanah itu kemudian disalurkan ke alat penyaring atau shakan, melalui pipa penyedot. Di shakan inilah, tanah dan bijih timah yang berwarna hitam dipisahkan. Karena beratnya, bijih timah akan mengendap, sementara tanah atau pasir akan terbawa arus air. Bagi warga Belitung, pertambangan timah inkonvensional yang dilakukan dengan alat tradisional, memang menggiurkan dibanding menanam lada. Sebagai perbandingan, saat ini per kilogramnya harga lada 18 ribu rupiah. Sedangkan timah 36 ribu rupiah per kilogram.
Dengan luas 1 hektar, kebun lada menghasilkan sekitar 2,5 ton, yang baru bisa dipanen dalam 3 tahun. Sementara bila kawasan itu punya kandungan timah, bisa menghasilkan sekitar 10 ton, tanpa perlu menanti masa panen. Modal yang dikeluarkan untuk pertambangan inkonvensional ini tidak lebih dari 15 juta rupiah. Uang tersebut untuk membeli generator, pipa penghisap atau kapu-kapu, alat penyaring atau shakan dan biaya sewa tanah, yang disetorkan ke pemerintah desa setempat. Dengan produksi timah seratus kilogram per harinya, modal awal sudah kembali, hanya dalam beberapa hari saja.
Keberadaan tambang timah ini juga memberi peluang rezeki bagi warga lainnya. Yakni dengan jalan menjadi pelimbang, atau mencari sisa bijih timah yang terjatuh dan terbawa arus air, dari shakan. Tidak perlu keahlian khusus untuk jadi pelimbang. Yang penting, jeli melihat bijih timah di atas tanah. Karenanya, baik anak kecil maupun orang dewasa, banyak yang jadi pelimbang. Setelah bijih timah yang masih bercampur pasir itu dikumpulkan, barulah mereka memisahkan bijih timah itu di sungai, menggunakan alat pelimbang, yang biasanya terbuat dari bahan serat fiber.
Hasilnya lumayan, karena hanya dalam waktu dua jam, seorang pelimbang dapat mengumpulkan sampai dua kilo gram timah. Menemukan bijih timah di sebuah lokasi susah-susah gampang. Ada yang beruntung, langsung mendapatkannya, tapi banyak juga yang sial. Jika dalam beberapa meter galian tanah tidak juga menunjukkan adanya bijih timah, biasanya mereka akan mencari lokasi baru. Hal seperti inilah yang dapat menimbulkan kerusakan pada tatanan alam di Pulau Belitung. Ratusan hektar tanah galian timah inkonvensional, menganga tanpa adanya reklamasi.
Apa yang Tersisa
Keuntungan yang didapat dari pertambangan, memang cukup besar. Namun, kerugian yang ditimbulkan, sesungguhnya lebih besar lagi. Bagi para penambang, kebutuhan mendapatkan timah, telah membutakan kewajiban mereka menutup kembali lahan bekas penggalian timah. Akibatnya, lubang bekas galian timah menganga dimana-mana.
Saat ini tercatat sekitar 700 hektar lahan bekas galian tambang inkonvensional di Belitung, ada dalam kondisi seperti ini. belum direklamasi. Bila dibiarkan, dalam beberapa tahun mendatang, Pulau Belitung bisa dipastikan seperti wajah yang penuh luka, lubang besar dimana-mana. Buntutnya, mengancam keberadaan sumber air bersih. Kondisi seperti ini bukannya tidak disadari para penambang. Namun, untuk mereklamasi lubang bekas galian timah pun, perlu biaya yang tidak sedikit. Biaya sewa sebuah eskavator, mencapai 400 ribu rupiah per jamnya.
Diperlukan waktu berjam-jam hanya untuk menutup sebuah lubang bekas galian berukuran 400 meter persegi dengan kedalaman sekitar dua puluh meter. Padahal dari sisi aturan, pihak pemda mengenakan dana reklamasi. Tapi toh tak berjalan. Masalah utama karena lokasi penambangan sangat luas dan seringkali terpencar. Akhirnya mudah ditebak, reklamasi tidak berjalan baik. Itu baru urusan reklamasi, belum lagi soal penertiban bagi penambang ilegal. Menyambung hidup.
Kalimat itulah yang membuat pemda setempat seperti kehilangan akal untuk melakukan penertiban. Di sisi lain, kekhawatiran akan terganggunya tatanan alam di Pulau Belitung akibat praktik pertambangan timah, mulai mendekati kenyataan. Beberapa aliran sungai yang dulunya masih jernih dan dapat digunakan untuk keperluan sehari-hari bagi warga setempat, kini mulai terancam. Campuran solar dan air dari generator, secara tidak langsung mengalir ke sungai-sungai.
Sungai pun berubah warna menjadi kecoklatan dan tidak dapat dimanfaatkan lagi. Sedangkan, tanaman di aliran sungai yang tercemar itu juga lambat laun mengalami kerusakan, dan akhirnya akan mati.
Memperoleh keuntungan bersifat instan memang hal yang sangat menggoda. Tapi semoga apa yang terjadi di tanah Belitung ini hanya sementara. Bukan hanya soal hilangnya kecantikan daerah Belitung yang merisaukan.
Tapi lahan bekas penambangan perlu waktu puluhan tahun untuk bisa kembali dimanfaatkan bagi pertanian. Lalu bila timah itu habis, ekosistem pun rusak, apalagi yang tersisa?. Belitung yang cantik itu hanya tinggal cerita. Hilang seiring matinya sahang, sang lada, Sumber Indosiar.com.(Idh/Sup)
Written By : Ian Sancin di Begalor.com
UBB Perspectives
FAKTOR POLA ASUH DALAM TUMBUH KEMBANG ANAK
MEMANFAATKAN POTENSI NUKLIR THORIUM DI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG : PELUANG DAN DAMPAK LINGKUNGAN
Pengaruh Sifat Fisika, Kimia Tambang Timah Terhadap Tingkat Kesuburan Tanah di Bangka Belitung
Akuntan dan Jurnalis: Berkolaborasi Dalam Optimalisasi Transparan dan Pertanggungjawaban
Sustainable Tourism Wisata Danau Pading Untuk Generasi Z dan Alpa
Perlunya Revitalisasi Budaya Lokal Nganggung di Bangka Belitung
Semangat PANDAWARA Group: Dari Sungai Kotor hingga Eksis di Media Sosial
Pengaruh Pembangunan Produksi Nuklir pada Wilayah Beriklim Panas
Pendidikan dan Literasi: Mulailah Merubah Dunia Dari Tindakan Sederhana
Mengapa APK Perguruan Tinggi di Babel Rendah ?
Dekonstruksi Cara Pikir Oposisi Biner: Mengapa Perlu?
PENINGKATAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK DENGAN ASAS GOOD GOVERNANCE
UMP Bangka Belitung Naik, Payung Hukum Kesejahteraan Pekerja atau Fatamorgana Belaka?
Peran Generasi Z di Pemilu 2024
Pemilu Serentak 2024 : Ajang Selebrasi Demokrasi Calon Insan Berdasi
Menelusuri Krisis Literasi Paradigma dan Problematik di Bumi Bangka Belitung
Jasa Sewa Pacar: Betulkah Menjadi sebuah Solusi?
Peran Sosial dan Politis Dukun Kampong
Mahasiswa dan Masalah Kesehatan Mental
Analogue Switch-off era baru Industri pertelevisian Indonesia
Di Era Society 50 Mahasiswa Perlu Kompetensi SUYAK
HUT ke-77 Kemerdekaan Republik Indonesia, sudah merdekakah kita?
Pemblokiran PSE, Pembatasan Kebebasan Berinternet?
Pentingnya Pemahaman Moderasi Beragama Pada Mahasiswa di Perguruan Tinggi Umum
SOCIAL MAPPING SEBAGAI SOLUSI TATA KELOLA SUMBER DAYA ALAM
Bisnis Digital dan Transformasi Ekonomi
Masyarakat Tontonan dan Risiko Jenis Baru
Penelitian MBKM Mahasiswa Biologi
PEREMPUAN DI SEKTOR PERTAMBANGAN TIMAH (Refleksi atas Peringatan Hari Kartini 21 April 2022)
Kiat-kiat Menjadi “Warga Negara Digital” yang Baik di Bulan Ramadhan
PERANG RUSIA VS UKRAINA, NETIZEN INDONESIA HARUS BIJAKSANA
Kunci Utama Memutus Mata Rantai Korupsi
Pengelolaan Sumber Daya Air yang Berkelanjutan
SI VIS PACEM PARABELLUM, INDONESIA SUDAH SIAP ATAU BELUM?
KONKRETISASI BELA NEGARA SEBAGAI LANGKAH PREVENTIF MENGHADAPI PERANG DUNIA
Memaknai Sikap OPOSISI ORMAWA terhadap Birokrasi Kampus
Timah, Kebimbangan yang Tak akan Usai
Paradigma yang Salah tentang IPK dan Keaktifan Berorganisasi
Hybrid Learning dan Skenario Terbaik
NEGARA HARUS HADIR DALAM PERLINDUNGAN EKOLOGI LINGKUNGAN
Mental, Moral dan Intelektual: Menakar Muatan Visi UBB dalam Perspektif Filsafat Pierre Bourdieu
PEMBELAJARAN TATAP MUKA DAN KESIAPAN
Edukasi Kepemimpinan Milenial versus Disintegrasi
Membangun Kepemimpinan Pendidikan di Bangka Belitung Berbasis 9 Elemen Kewarganegaraan Digital
Menuju Kampus Cerdas, Ini yang Perlu Disiapkan UBB
TI RAJUK SIJUK, DIANTARA KESEMPATAN YANG TERSEDIA
Mengimajinasikan Dunia Setelah Pandemi Usai
ILLEGAL MINING TIMAH (DARI HULU SAMPAI HILIR)
PERTAMBANGAN BERWAWASAN LINGKUNGAN
Inflasi Menerkam Masyarakat Miskin Semakin Terjepit
NETRALITAS DAN INTEGRITAS PENYELENGGARA PEMILU
Siapa Penjarah dan Perampok Timah ???
Menjaga Idealisme dan Kemandirian Pers
POLITIK RAKYAT DAN TANGGUNG JAWAB PEMIMPIN
Penelitian Rumpon Cumi Berhasil di Perairan Tuing, Pulau Bangka
Gratifikasi, Hati-Hatilah Menerima Sesuatu
Perairan Tuing, Benteng Sumberdaya Perikanan Laut di Kabupaten Bangka