UBB Perspective
Universitas Bangka Belitung
Artikel UBB
Universitas Bangka Belitung's Article
07 November 2008 | 20:26:48 WIB
Quo Vadis Sarjana Indonesia
Ditulis Oleh : Admin
Kebanyakan masyarakat Indonesia beranggapan bahwa yang namanya sarjana merupakan salah satu insan yang memiliki suatu "kelebihan" (keistimewaan) dan patut dibanggakan. Masyarakat beranggapan bahwa para sarjana memiliki bekal teori yang sangat kuat dan kritis, sehinga sanggup untuk menjadi agen of change yang nantinya sanggup untuk dibebani sebagai genarasi penerus bangsa. Pemikiran itu sudah mendarah daging dalam benak pikiran kita sejak dahulu. Alhasil yang terjadi, kita selalu mengunggul-ngunggulkan para sarjana dibandingkan dengan mereka yang tidak mempunyai gelar sarjana. Padahal pada realitas yang terjadi, agaknya statemen seperti tersebut sudah tidak cocok jika dikontekskan dengan keadaan sekarang.
Stereotopit yang mengatakan bahwa sarjana Indonesia pandai dalam level teoritis, dan memiliki kemampuan praktis di lapangan ternyata tidak benar. Bahkan pada realitasnya, yang terjadi di lapangan justru berkata sebaliknya dan lebih memprihatinkan. Kebanyakan dari sarjana Indonesia bahkan tidak mengenal kedua-duanya, tidak memiliki cukup teori yang layak serta tidak tanggap di wilayah praksisisnya. Dalam artian mereka para sarjana Indonesia untuk dekade sekarang ini bisa dikatakan sangat miskin terori dan juga tidak cakap untuk membaca gejolak sosial. Sehingga mereka hanya menjadi sarjana yang hanya menyandang gelar. Sungguh kenyatan yang benar-benar menyayat hati dan mencoreng nama baik bangsa.
Kenyataan semacam ini terbukti dengan banyaknya sarjana yang mengganggur di Indonesia. Argumen ini dikuatkan oleh berbagai fakta dan penelitian yang dilakukan sosiolog UGM Ari Sudjito (2008) yang menyatakan, bahwa sedikitnya sebanyak 21.000 orang lulusan S1 dan 2.663 S2 dari perguruna tinggi negeri mapupun swasta (PTN ataupun PTS) di DI Yogyakarta menganggur. Tentunya semua itu semakin memperjelas pada khalayak umum. Memang pada hakikatnya instansi pendidikan (Universitas) di Indonesia mengalami kegagalan dalam menjalankan misinya.
Menurut Agus Suwignyo (2007) sarjana lulusan Universitas di Indonesia secara umum sangat rendah, atau dengan kata lain sarjana Indonesia miskin intelektual. Sehingga secara tidak langsung menghambat perjalanan mutu pendidikan Indonesia. Penyebab minimnya intelektualitas para lulusan sarjana ini setidaknya disebabkan oleh dua hal. Pertama, ketidaksinambungan kurikuler (Curricular Mismatch) pendidikan pra-universitas dengan pendidikan universitas. Dan yang kedua misorientasi pendidikan universita. Setidaknya dua faktor inilah yang merupakan penghambat serta membuat para mahasiswa enggan untuk berekspresi, sehingga universitas hanya melahirkan mahasiaswa yang oportunis dan apatis. Oleh karena lemahnya mutu intelektualitas, maka semakin banyak pula para sarjana yang menganggur, karena kalah bersaing dengan yang
Berbicara tentang profit para sarjana Indonesia (output Perguruan Tinggi/PT) memang tidak akan pernah lepas dan tercerabut terhadap input dan through put (proses) yang terjadi dan dilalui di dalamnya selama mereka menempuh jenjang pendidikan. Justru kedua hal tersebutlah yang pada akhirnya akan menentukan bermutu tidaknya, serta matang mentahnya mutu kesarjanaan yang mereka sandang nantinya.
Prof. Djojodiguno pernah melakukan kritik yang pedas terkait dengan keadaan yang melanda sarjana Indonesia. Beliau mengatakan bahwa "memang bocah Indonesia sejak bayi tidak pernah diajari untuk bertanya dan bersikap kritis, sehingga sampai sarjana sekalipun mereka tidak akan pernah memiliki rasa ingin tahu. Padahal writing tresno jalaran sosko kulino (heran itu pangkal pandai).
Demikianlah, di negara Indonesia memang sejak mulai dari rumah anak-anak sudah dilatih dan dididik hanya untuk mendengarkan dengan tenang segala perkataan tanpa harus ada komentar yang dikeluarkan sedikitpun. Komentar boleh keluar jika memang benar-benar dibutuhkan, dan itupun hanya terbatas. Anak tidak diperbolehkan berbicara semaunya. Alhasil, anak didik tidak akan pernah mempunyai nalar kritis sedikitpun, hanya menurut apa yang ia dengar.
Orientasi Praktis
Kenyataan tentang ironi sarjana Indonesia diperkuat lagi oleh pendapat Yudi Latif dalam bukunya "Masa Lalu Yang Membunuh Masa Depan" yang mengatakan bahwa kesalahan fatal yang mungkin sering diperbuat oleh sarjana indonesia adalah ketika memasuki jenjang perguruan tinggi mereka lebih berorentasi pada sesuatu yang sifatnya praktis. Kebanyakan tujuan dari mahasiswa bukan untuk memburu ilmu ataupun mengasah pisau analisis, agar dapat membaca relitas sosial. Akan tetapi lebih mengedepankan atau untuk mengejar gelar dan ijazah sebagai legitimasi serta persyaratan ikhtiyar dalam memudahkan untuk mendapatkan pekerjaan dengan yang menggiurkan.
Orientasi untuk kearah lapangan kerja dan gelar memang bukan merupakan suatu dosa. Apalagi jika diikuti dengan prestasi yang memadai. Namun sayangnya, banyak mahasiawa Indonesia yang justru tanpa ditopang oleh pengetahuan ilmu dan pendidikan yang memadai. Yang lebih memprhatinkan lagi, kesilauan terhadap "hantu status" ini telah banyak melahirkan mahasiswa yang oportunis. Segalanya bisa diatur, yang penting bisa mengikuti ujian, nilai bagus, tidak pernah membuat kesalahan, apalagi menyangkal kehendak dosen. Adegan-adegan seperti nitip tanda tangan, memelihara hubungan baik, skripsi aspal (asli tapi palsu), merupakan dinamika jalan pintas yang acap kali diperagakan dalam dunia kampus republik yang bertaburkan dengan "kampus ilmiah".
Jadi tidaklah mengherankan misalnya ketika banyak pelajar yang berbondong-bondong masuk ke fakultas sastra. Kebanyakan tujuannya bukan untuk menjadi seorang sastrawan yang mumpuni dan berkompetensi dalam bidangnya. Akan tetapi karena lebih dikedepankan egonya yang tergiur dengan tawaran dan godaan dengan memperoleh diperusahaan-perusahaan asing yang menawarkan gaji yang menggiurkan.
Pengkhianatan Intelektual
Bagaimana pun juga, jika memperbincangkan perihal mutu dan kualiatas dari sarjana indonesia memang sangat mengharukan serta memprihatinkan. Bagaimana tidak, sebab banyak sarjana Indonesia yang hanya berorientasi praktis dan belum mempunyai nilai sosial yanng tinggi. Para sarjana Indonesia kebanyakan hanya berpikir untuk cepat selesai kuliah dan mendapatkan pekerjaan yang memadai. Alhasil yang mereka pikirkan juga hanya kepentingan mereka sendidri-sendiri, tanpa memikirkan bagaimana nasib masa depan bangsa Indonesia ke depan.
Polemik tentang peranan sarjana dalam pembangunan bangsa-negara memang sudah ada sejak lama. Bahkan, dalam era Orde Baru tetap ada keluhan menyangkut pengkhianatan intelektual. Dalam artian, banyak sarjana Indonesia yang tidak peka terhadap masyarakatnya, terhadap perkembangan kesejahteraan rakyat dan pembangunan bangsa-negara. Dan sarjana semacam inilah yang telah melakukan pengkhianatan terhadap intelektual. Namun apa hendak mau dikata, nasi telah menjadi bubur. Semua itu sudah terjadi di negara Indonesia. Namun, sebenarnya kita bisa saja memperbaiki kepincangan-kepincangan yang sedang di hadapi oleh para sarjana muda Indonesia. Asalkan ada keinginan dan harapan yang kuat, pasti semua itu bisa diperbaharui. Mutu pendidikan sarjana Indonesia bisa ditingkatkan, meskipun membutuhkan waktu yang relatif lama. Sebab bagaimana pun juga sarjana Indonesia diakui atau tidak merupakan agen of change yang nantinya menentukan maju tidaknya suatu bangsa.
Selamat bagi Wisudawan dan Wisudawati angkatan III Universitas Bangka Belitung, Jadikan Ilmu yang telah diperoleh sebagai bekal anda dalam mengarungi hidup yang sebenarnya baru dimulai sejak kini. Inilah titik balik perjalanan anda, Jangan Menyerah, teruslah berkarya dalam setiap kesempatan, dan tuluslah, sebab dari ketulusan itu akan terlahir dan mengalir kesempatan dan pertolongan. Berkarya dalam setiap situasi dan kondisi dimanapun dan kapanpun anda berada... teruslah dalam perjuangan - Red -
Written By Oleh : Miftahul Ala di miftahblogspotcom.blogspot.com
Penulis adalah Direktur pada Center for Politic and Law Studies (CPLS)
Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Yogyakarta.
UBB Perspectives
FAKTOR POLA ASUH DALAM TUMBUH KEMBANG ANAK
MEMANFAATKAN POTENSI NUKLIR THORIUM DI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG : PELUANG DAN DAMPAK LINGKUNGAN
Pengaruh Sifat Fisika, Kimia Tambang Timah Terhadap Tingkat Kesuburan Tanah di Bangka Belitung
Akuntan dan Jurnalis: Berkolaborasi Dalam Optimalisasi Transparan dan Pertanggungjawaban
Sustainable Tourism Wisata Danau Pading Untuk Generasi Z dan Alpa
Perlunya Revitalisasi Budaya Lokal Nganggung di Bangka Belitung
Semangat PANDAWARA Group: Dari Sungai Kotor hingga Eksis di Media Sosial
Pengaruh Pembangunan Produksi Nuklir pada Wilayah Beriklim Panas
Pendidikan dan Literasi: Mulailah Merubah Dunia Dari Tindakan Sederhana
Mengapa APK Perguruan Tinggi di Babel Rendah ?
Dekonstruksi Cara Pikir Oposisi Biner: Mengapa Perlu?
PENINGKATAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK DENGAN ASAS GOOD GOVERNANCE
UMP Bangka Belitung Naik, Payung Hukum Kesejahteraan Pekerja atau Fatamorgana Belaka?
Peran Generasi Z di Pemilu 2024
Pemilu Serentak 2024 : Ajang Selebrasi Demokrasi Calon Insan Berdasi
Menelusuri Krisis Literasi Paradigma dan Problematik di Bumi Bangka Belitung
Jasa Sewa Pacar: Betulkah Menjadi sebuah Solusi?
Peran Sosial dan Politis Dukun Kampong
Mahasiswa dan Masalah Kesehatan Mental
Analogue Switch-off era baru Industri pertelevisian Indonesia
Di Era Society 50 Mahasiswa Perlu Kompetensi SUYAK
HUT ke-77 Kemerdekaan Republik Indonesia, sudah merdekakah kita?
Pemblokiran PSE, Pembatasan Kebebasan Berinternet?
Pentingnya Pemahaman Moderasi Beragama Pada Mahasiswa di Perguruan Tinggi Umum
SOCIAL MAPPING SEBAGAI SOLUSI TATA KELOLA SUMBER DAYA ALAM
Bisnis Digital dan Transformasi Ekonomi
Masyarakat Tontonan dan Risiko Jenis Baru
Penelitian MBKM Mahasiswa Biologi
PEREMPUAN DI SEKTOR PERTAMBANGAN TIMAH (Refleksi atas Peringatan Hari Kartini 21 April 2022)
Kiat-kiat Menjadi “Warga Negara Digital” yang Baik di Bulan Ramadhan
PERANG RUSIA VS UKRAINA, NETIZEN INDONESIA HARUS BIJAKSANA
Kunci Utama Memutus Mata Rantai Korupsi
Pengelolaan Sumber Daya Air yang Berkelanjutan
SI VIS PACEM PARABELLUM, INDONESIA SUDAH SIAP ATAU BELUM?
KONKRETISASI BELA NEGARA SEBAGAI LANGKAH PREVENTIF MENGHADAPI PERANG DUNIA
Memaknai Sikap OPOSISI ORMAWA terhadap Birokrasi Kampus
Timah, Kebimbangan yang Tak akan Usai
Paradigma yang Salah tentang IPK dan Keaktifan Berorganisasi
Hybrid Learning dan Skenario Terbaik
NEGARA HARUS HADIR DALAM PERLINDUNGAN EKOLOGI LINGKUNGAN
Mental, Moral dan Intelektual: Menakar Muatan Visi UBB dalam Perspektif Filsafat Pierre Bourdieu
PEMBELAJARAN TATAP MUKA DAN KESIAPAN
Edukasi Kepemimpinan Milenial versus Disintegrasi
Membangun Kepemimpinan Pendidikan di Bangka Belitung Berbasis 9 Elemen Kewarganegaraan Digital
Menuju Kampus Cerdas, Ini yang Perlu Disiapkan UBB
TI RAJUK SIJUK, DIANTARA KESEMPATAN YANG TERSEDIA
Mengimajinasikan Dunia Setelah Pandemi Usai
ILLEGAL MINING TIMAH (DARI HULU SAMPAI HILIR)
PERTAMBANGAN BERWAWASAN LINGKUNGAN
Inflasi Menerkam Masyarakat Miskin Semakin Terjepit
NETRALITAS DAN INTEGRITAS PENYELENGGARA PEMILU
Siapa Penjarah dan Perampok Timah ???
Menjaga Idealisme dan Kemandirian Pers
POLITIK RAKYAT DAN TANGGUNG JAWAB PEMIMPIN
Penelitian Rumpon Cumi Berhasil di Perairan Tuing, Pulau Bangka
Gratifikasi, Hati-Hatilah Menerima Sesuatu
Perairan Tuing, Benteng Sumberdaya Perikanan Laut di Kabupaten Bangka