UBB Perspective
Universitas Bangka Belitung
Artikel UBB
Universitas Bangka Belitung's Article
04 Oktober 2011 | 13:48:18 WIB
Dramaturgi Sang Koruptor
Ditulis Oleh : FAISAL
Dramaturgi memahami bahwa dalam interaksi antar manusia ada kesepakatan perilaku yang disetujui yang dapat mengantarkan kepada tujuan akhir dari maksud interaksi sosial tersebut. Bukti nyata bahwa terjadi permainan peran dalam kehidupan manusia dapat dilihat pada masyarakat kita sendiri. Manusia menciptakan sebuah mekanisme tersendiri, dimana dengan permainan peran tersebut ia bisa tampil sebagai sosok tertentu.
Hal ini sama seperti yang terlihat pada kasus korupsi, dimana koruptor menjalankan perannya di lingkungan mereka yang sarat manipulatif. Mereka berusaha mengontrol diri seperti penampilan, keadaan fisik, dan perilaku aktual dan gerak agar perilaku menyimpang yang mereka jalani tidak dapat diketahui oleh lingkungan mereka. Karena mereka mengerti kedudukan yang melekat pada dirinya semata-mata demi melayani kepentingan publik menjadi domain kepentingan pribadi.
Dengan begitu sang koruptor tak jarang dapat berperan ganda, bisa berwatak baik dan buruk. Berperilaku "baik" merupakan prasyarat mutlak untuk mendapatkan jabatan publik yang dikehendakinya. Baik itu melalui legitimasi politik, pendidikan, sosial. Ekonomi yang di kemas sedemikian rupa, agar tampil sebagai sosok yang berhati peduli atau memiliki integritas pengabdian jujur, bersih dan berani. Jangan terkecoh, itu hanya tipu muslihat tuntutan peran agar dapat melanggengkan tujuan awal menduduki posisi jabatan publik.
Habitus Birokrat
Peta berpikir dramaturgi menjelaskan bahwa identitas manusia adalah tidak stabil dan merupakan setiap identitas tersebut bagian kejiwaan psikologi yang mandiri. Identitas manusia bisa saja berubah-ubah tergantung dari interaksi dengan orang lain. Disinilah dramaturgi masuk, bagaimana kita menguasai interaksi tersebut. dalam dramaturgi, interaksi sosial dimaknai sama dengan pertunjukan teater. Manusia adalah aktor yang berusaha untuk menggabungkan karakteristik personal dan tujuan kepada orang lain melalui pertunjukan dramanya sendiri.
Dengan konsep dramaturgi dan permainan peran yang dilakukan oleh manusia, terciptalah suasana- suasana dan kondisi interaksi yang kemudian memberikan makna tersendiri. Munculnya permaknaan ini sangat tergantung pada latar belakang sosial masyarakat itu sendiri. Dramaturgi dianggap masuk kedalam perspektif obyektif karena cenderung melihat manusia sebagai makhluk pasif (berserah). Meskipun, pada awal ingin memasuki peran tertentu manusia memiliki kemampuan untuk menjadi subyektif (kemampuan untuk memilih) namun pada saat menjalankan peran tersebut manusia berlaku objektif, berlaku natural, dan mengikuti alur.
Misalnya, habitus birokrat saat ini harus menjalani hidup dengan mengikuti alur yang terkesan mewah, yang notabene diperlukan biaya yang sangat besar. Jika hanya berpangku pada penghasilan rutin/bulan barangkali belum cukup memenuhi standar gaya hidup birokrat yang borjuis. Dengan demikian ia pun memilih untuk mencari penghasilan diluar pendapatan rutin/bulan tentunya dengan cara-cara yang manipulatif. Hitungan mereka pun sudah matang bila harus berurusan dengan hukum, mungkin tak lebih dari tiga sampai lima tahun jika harus menjalani nestapa penjara. Bagi koruptor hukuman itu tak akan membuat efek jera atau merasa bersalah. Sebab koruptor berbekal materi yang cukup mapan untuk mendelegitimasi persamaan tidak lagi di depan hukum, tapi ditentukan dihadapan otoritas politik dan akumulasi modal ekonomi. Semua itu terjadi sangat sistemik serta disesuaikan dengan kepentingan subjektif birokrat yang berjiwa manipulatif.
Habitus subjektif birokrat ini akan beralih menjadi objektif saat ia menjalani peran yang dipilihnya tersebut. misalnya, seorang birokrat dibuat tak berdaya jika berada dalam kubangan sistem yang korup. Apalagi jika otoritas yang dimilikinya sangat kecil tentu akan berimplikasi pada sikap patuh terhadap atasan. Disinilah ia akan terhimpit dengan situasi yang delematis, satu sisi ia ingin ambil sikap untuk terhindar dari lingkar setan korupsi, tapi di lain hai ia tak kuasa untuk beranjak pergi sebab ia menggantungkan nasibnya dari jabatan tersebut. sikap pasrah itu lambat laun akan menjadi toleran terhadap cara-cara manipulatif. Itulah mengapa dramaturgi sang koruptor disebut memiliki muatan subjektif dan objektif. Karena pelakunya, menjalankan perannya secara natural, alamiah sampai pada sikap toleran dan bahkan dapat menjadi aktor dari sistem yang korup tersebut.
Kekuasaan Anti Korupsi
Bila kita dapat memahami makna korupsi diawali dari pintu kekuasaan, maka mengakhirinya pun harus menggunakan otoritas politik kekuasaan negara. Sebab negara tak mungkin mampu mengurus rakyatnya, jika birokrat sudah bermental korup. Sejatinya jalan pintas atas perilaku koruptor di era reformasi ini dapat ditebus dengan kemauan politik negara. Rakyat masih punya keyakinan bahwa bangsa ini dapat dikelola dengan baik melalui kebijakan yang anti korupsi. Seperti kesamaan persepsi pada kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif untuk memberi hukuman seberat-beratnya pada koruptor.
Hukuman bagi para koruptor sebenarnya harus lebih berat dan tanpa toleransi dengan mengadopsi aturan dan contoh yang diterapkan di negara-negara yang sudah berhasil memberantas korupsi. Barangkali China dapat menjadi negara rujukan untuk belajar menghentikan sepakterjang koruptor. Penyediaan peti mati bagi koruptor merupakan simbol perlawanan terhadap korupsi, apalagi China kerapkali menjatuhkan vonis mati kepada pelaku korupsi. Adapun wacana untuk memiskinkan koruptor perlu dipertimbangkan agar dapat menjadi bagian politik hukum bangsa ini.
Kemudian, para koruptor seharusnya tidak saja dijatuhi hukuman berat melalui pengadilan, tetapi juga perlu diberi sanksi social dengan mengasingkan mereka dari interaksi fisik. Sanksi social semacam itu akan lebih baik jika dimulai dari pejabat atau pemimpin di berbagai aras, apalagi masyarakat kita masih berwatak paternalistic: meniru apa yang dilakukan petinggi.
Barangkali sanksi yang sangat berat akan menghentikan dramaturgi sang koruptor seperti apa yang sering menjadi tontonan publik akhir-akhir ini. Entah sampai kapan kita akan meributkan korupsi dari kasus ke kasus. Kemarin Gayus dan saat ini Nazarudin, entah besok siapa lagi? Semoga saja bangsa ini masih memiliki spirit kekuasaan yang anti korupsi, agar dapat mengatasi dramaturgi sang koruptor dengan jalan yang tidak toleran.***
Opini Bangkapos, Selasa 4 Oktober 2011
Penulis : FAISAL
Dosen FH UBB dan PW Pemuda Muhammadiyah
UBB Perspectives
FAKTOR POLA ASUH DALAM TUMBUH KEMBANG ANAK
MEMANFAATKAN POTENSI NUKLIR THORIUM DI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG : PELUANG DAN DAMPAK LINGKUNGAN
Pengaruh Sifat Fisika, Kimia Tambang Timah Terhadap Tingkat Kesuburan Tanah di Bangka Belitung
Akuntan dan Jurnalis: Berkolaborasi Dalam Optimalisasi Transparan dan Pertanggungjawaban
Sustainable Tourism Wisata Danau Pading Untuk Generasi Z dan Alpa
Perlunya Revitalisasi Budaya Lokal Nganggung di Bangka Belitung
Semangat PANDAWARA Group: Dari Sungai Kotor hingga Eksis di Media Sosial
Pengaruh Pembangunan Produksi Nuklir pada Wilayah Beriklim Panas
Pendidikan dan Literasi: Mulailah Merubah Dunia Dari Tindakan Sederhana
Mengapa APK Perguruan Tinggi di Babel Rendah ?
Dekonstruksi Cara Pikir Oposisi Biner: Mengapa Perlu?
PENINGKATAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK DENGAN ASAS GOOD GOVERNANCE
UMP Bangka Belitung Naik, Payung Hukum Kesejahteraan Pekerja atau Fatamorgana Belaka?
Peran Generasi Z di Pemilu 2024
Pemilu Serentak 2024 : Ajang Selebrasi Demokrasi Calon Insan Berdasi
Menelusuri Krisis Literasi Paradigma dan Problematik di Bumi Bangka Belitung
Jasa Sewa Pacar: Betulkah Menjadi sebuah Solusi?
Peran Sosial dan Politis Dukun Kampong
Mahasiswa dan Masalah Kesehatan Mental
Analogue Switch-off era baru Industri pertelevisian Indonesia
Di Era Society 50 Mahasiswa Perlu Kompetensi SUYAK
HUT ke-77 Kemerdekaan Republik Indonesia, sudah merdekakah kita?
Pemblokiran PSE, Pembatasan Kebebasan Berinternet?
Pentingnya Pemahaman Moderasi Beragama Pada Mahasiswa di Perguruan Tinggi Umum
SOCIAL MAPPING SEBAGAI SOLUSI TATA KELOLA SUMBER DAYA ALAM
Bisnis Digital dan Transformasi Ekonomi
Masyarakat Tontonan dan Risiko Jenis Baru
Penelitian MBKM Mahasiswa Biologi
PEREMPUAN DI SEKTOR PERTAMBANGAN TIMAH (Refleksi atas Peringatan Hari Kartini 21 April 2022)
Kiat-kiat Menjadi “Warga Negara Digital” yang Baik di Bulan Ramadhan
PERANG RUSIA VS UKRAINA, NETIZEN INDONESIA HARUS BIJAKSANA
Kunci Utama Memutus Mata Rantai Korupsi
Pengelolaan Sumber Daya Air yang Berkelanjutan
SI VIS PACEM PARABELLUM, INDONESIA SUDAH SIAP ATAU BELUM?
KONKRETISASI BELA NEGARA SEBAGAI LANGKAH PREVENTIF MENGHADAPI PERANG DUNIA
Memaknai Sikap OPOSISI ORMAWA terhadap Birokrasi Kampus
Timah, Kebimbangan yang Tak akan Usai
Paradigma yang Salah tentang IPK dan Keaktifan Berorganisasi
Hybrid Learning dan Skenario Terbaik
NEGARA HARUS HADIR DALAM PERLINDUNGAN EKOLOGI LINGKUNGAN
Mental, Moral dan Intelektual: Menakar Muatan Visi UBB dalam Perspektif Filsafat Pierre Bourdieu
PEMBELAJARAN TATAP MUKA DAN KESIAPAN
Edukasi Kepemimpinan Milenial versus Disintegrasi
Membangun Kepemimpinan Pendidikan di Bangka Belitung Berbasis 9 Elemen Kewarganegaraan Digital
Menuju Kampus Cerdas, Ini yang Perlu Disiapkan UBB
TI RAJUK SIJUK, DIANTARA KESEMPATAN YANG TERSEDIA
Mengimajinasikan Dunia Setelah Pandemi Usai
ILLEGAL MINING TIMAH (DARI HULU SAMPAI HILIR)
PERTAMBANGAN BERWAWASAN LINGKUNGAN
Inflasi Menerkam Masyarakat Miskin Semakin Terjepit
NETRALITAS DAN INTEGRITAS PENYELENGGARA PEMILU
Siapa Penjarah dan Perampok Timah ???
Menjaga Idealisme dan Kemandirian Pers
POLITIK RAKYAT DAN TANGGUNG JAWAB PEMIMPIN
Penelitian Rumpon Cumi Berhasil di Perairan Tuing, Pulau Bangka
Gratifikasi, Hati-Hatilah Menerima Sesuatu
Perairan Tuing, Benteng Sumberdaya Perikanan Laut di Kabupaten Bangka