UBB Perspective
Universitas Bangka Belitung
Artikel UBB
Universitas Bangka Belitung's Article
26 Oktober 2011 | 08:39:00 WIB
JANGAN BEBANI MASYARAKAT
Ditulis Oleh : Ibrahim
Daerah memang membutuhkan sumber pendapatan untuk mencukupi kebutuhan pengeluaran di luar dana yang digelontorkan dari pusat. Namun keliru jika membebankan sumber penghasilan baru tersebut kepada masyarakat. Kenaikan tarif retribusi dalam persentase yang signifikan patut dibaca sebagai kegagalan pemerintah daerah dalam mengelola sumber pendapatan baru. Ini strategi yang tidak populis sekaligus tidak adil.
Kebijakan Simplistis
Pertama, masyarakat kita selama ini sudah memiliki skema pembayaran pajak dalam bentuk lain, yang paling sederhana adalah pajak kendaraan bermotor, pajak bumi dan bangunan, pajak penghasilan, dan pajak-pajak tak terlihat lainnya yang ditarik secara reguler. Sekalipun pendapatan ini ada yang tidak secara langsung masuk ke kas daerah, namun secara tidak langsung skema ini sudah merupakan sebuah implementasi tanggung jawab masyarakat terhadap pengelolaan negara.
Kedua, tarif retribusi yang diusulkan naik justru adalah sektor-sektor yang langsung bersentuhan dengan masyarakat secara langsung. Sebut misalnya retribusi parkir, retribusi tempat wisata, retribusi pasar, jasa usaha, dan lain sebagainya. Alih-alih pemerintah daerah berniat untuk memberikan layanan publik yang baik, justru kebijakan yang diambil mengarah pada pemerasan secara formal.
Ketiga, secara otomatis kenaikan retribusi akan berdampak pada kenaikan tarif pelayanan yang akan dikenakan oleh berbagai lembaga penyedia jasa. Harga makanan boleh jadi akan dibanderol lebih tinggi di restoran karena juga adanya kenaikan retribusi yang harus disetorkan ke kas daerah. Barang-barang konsumsi masyarakat secara langsung juga tentu akan bergegas naik mengiringi kenaikan kewajiban pajak yang harus disetor oleh penyedia jasa. Jika demikian, bukannya tujuan utama otonomi daerah kemudian mengalami pengaburan makna dan cenderung menjauh dari gagasan awalnya?
Keempat, apakah kemudian ada jaminan bahwa kenaikan tarif retribusi akan membuat layanan yang diberikan juga akan meningkat. Nyatanya, dalam banyak kasus kenaikan tarif retribusi tidak berbanding lurus dengan pelayanan publik. Maka jika gagasan kenaikan tarif retribusi hanya untuk meningkatkan pelayanan tentu pemerintah kota masih harus mengkajinya secara mendalam. Yang paling sederhana adalah tentukan indikator secara terbuka antara pelayanan sebelum dan pelayanan setelah. Jika tidak, jangan heran jika kenaikan ini hanya bermotif keinginan untuk mengejar target setoran.
Kelima, harus dipahami bahwa Pangkalpinang adalah simpul provinsi dimana semua kegiatan nyaris terpusat di sana. Dalam situasi ini, pemerintah kota justru harus mencegah terjadinya pemungutan berulang-ulang atas nama otonomi daerah. Ambil contoh seorang ibu-ibu naik motor dari di Bangka Selatan akan ke Pangkalpinang, mampir di pasar Toboali dan dikenakan retribusi parkir, lalu mampir lagi di pasar Koba dan kenai lagi biaya parkir, dan ketika sampai ke Pangkal Pinang, ia akan berbelanja ke beberapa tempat. Bayangkan berapa tarif parkir yang harus dibayar oleh ibu ini? Mengapa 2 kabupaten dan 1 kota memberi beban yang terlalu besar pada orang yang sama? Inilah ironisme dari otonomi daerah yang mewartakan arogansi antar daerah. Sebuah cara berpikir yang sangat simplistis.
Pertimbangkan Cara Lain
Keharusan daerah untuk mendapatkan sumber penghasilan baru bagi PAD harusnya ditinjau secara lebih kritis. Ini bukan hanya persoalan tidak populis, namun juga menunjukkan kemauan instan pemerintah untuk mengambil jalan yang paling mudah. Tentu menaikkan tarif retribusi adalah cara yang paling gampang untuk menambah pendapatan, namun betulkah ini satu-satunya cara untuk menggenjot pemasukan? Pemerintah daerah seharusnya lebih inovatif. Di luar menaikan tarif retribusi, seharusnya banyak yang bisa dilakukan.
Pertama, kurangi belanja pegawai dan cegah sebanyak mungkin pejabat yang akan melakukan perjalan dinas yang tidak penting. Perjalanan dinas selama ini banyak membebani anggaran daerah. Kepala daerah harus berani mengambil kebijakan mengevaluasi semua perjalanan dinas yang kurang penting.
Kedua, maksimalkan saja pendapatan dari pajak yang sudah ada. Evaluasi capaian satuan kerja masing-masing, monitor kemungkinan penyalahgunaan pajaknya, dan perbaiki sistem kerja agar regulasi yang sudah ada berjalan efektif. Jangan-jangan rencana menaikkan tarif ini sekedar untuk menutupi sistem kerja yang tidak efektif dan bocor dimana-mana?
Ketiga, maksimalkan kinerja badan usaha milik daerah agar dapat efektif untuk menjadi kolektor pendapatan. PDAM misalnya, ketimbang menaikkan tarifnya dan melakukan pemutusan disana-sini, bukankah lebih baik meningkatkan pelayanan dan kemudian masyarakat puas sehingga dengan sukarela kemudian membayar tagihan? Pemerintah daerah seharusnya lebih inovatif untuk melirik sektor usaha lain yang tidak memberikan kewajiban tambahan kepada masyarakat.
Keempat, genjot sektor pendapatan baru. Pariwisata adalah sektor yang efektif untuk dikembangkan jika mengacu pada karakteristik fisik Kota Pangkal Pinang. Harusnya daerah ini memaksimalkan diri sebagai daerah penyanggah pariwisata, sembari memaksimalkan pengelolaan objek wisata yang sudah ada. Jogjakarta sebagai kota kecil nyatanya mampu menggenjot dan memoles potensi pariwisatanya menjadi bernilai ekonomis tinggi.
Kelima, jika pendapatan asli daerah dianggap terlalu kecil untuk menyumbang pada APBD, bukankah berarti pemerintah harus melakukan penghematan? Bukankah ini juga menjadi tantangan bagi para elit pemkot untuk melakukan negosiasi dengan pusat melalui cara-cara yang benar untuk mendapatkan alokasi dana yang lebih besar? Jika pun harus menaikkan tarif retribusi, maka pemilihan objek kenaikan harus sangat selektif. Toh, saya juga tidak yakin kenaikan tarif retribusi itu akan berdampak signifikan bagi sumbangan pendapatan daerah, padahal beban yang diakibatkan terlanjur cukup besar bagi masyarakat.
Jadi logikanya, pemerintah kota seharusnya tidak berlomba-lomba dengan daerah disekitarnya untuk menaikkan pungutan terhadap warga yang sangat lintas batas geografis ini. Rencana kenaikan tarif ini kiranya patut dipertimbangkan secara arif. Lagipula bukankah sudah tugasnya pemerintah untuk memberikan pelayanan kepada masyarakatnya? Kita memasuki sistem desentralisasi ini salah satunya menghindari salah urus negara dan pemerintahan lho, jadi semangat perluasan dan percepatan kesejahteraan harus lebih diutamakan ketimbang memberi beban tambahan kepada masyarakat.
News Analysis Bangka Pos, Rabu (26/10/2011)
Penulis : Ibrahim
Dosen UBB dan Visiting Scholar
Di School of Political Science and International Studies
The University of Queensland Australia
UBB Perspectives
FAKTOR POLA ASUH DALAM TUMBUH KEMBANG ANAK
MEMANFAATKAN POTENSI NUKLIR THORIUM DI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG : PELUANG DAN DAMPAK LINGKUNGAN
Pengaruh Sifat Fisika, Kimia Tambang Timah Terhadap Tingkat Kesuburan Tanah di Bangka Belitung
Akuntan dan Jurnalis: Berkolaborasi Dalam Optimalisasi Transparan dan Pertanggungjawaban
Sustainable Tourism Wisata Danau Pading Untuk Generasi Z dan Alpa
Perlunya Revitalisasi Budaya Lokal Nganggung di Bangka Belitung
Semangat PANDAWARA Group: Dari Sungai Kotor hingga Eksis di Media Sosial
Pengaruh Pembangunan Produksi Nuklir pada Wilayah Beriklim Panas
Pendidikan dan Literasi: Mulailah Merubah Dunia Dari Tindakan Sederhana
Mengapa APK Perguruan Tinggi di Babel Rendah ?
Dekonstruksi Cara Pikir Oposisi Biner: Mengapa Perlu?
PENINGKATAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK DENGAN ASAS GOOD GOVERNANCE
UMP Bangka Belitung Naik, Payung Hukum Kesejahteraan Pekerja atau Fatamorgana Belaka?
Peran Generasi Z di Pemilu 2024
Pemilu Serentak 2024 : Ajang Selebrasi Demokrasi Calon Insan Berdasi
Menelusuri Krisis Literasi Paradigma dan Problematik di Bumi Bangka Belitung
Jasa Sewa Pacar: Betulkah Menjadi sebuah Solusi?
Peran Sosial dan Politis Dukun Kampong
Mahasiswa dan Masalah Kesehatan Mental
Analogue Switch-off era baru Industri pertelevisian Indonesia
Di Era Society 50 Mahasiswa Perlu Kompetensi SUYAK
HUT ke-77 Kemerdekaan Republik Indonesia, sudah merdekakah kita?
Pemblokiran PSE, Pembatasan Kebebasan Berinternet?
Pentingnya Pemahaman Moderasi Beragama Pada Mahasiswa di Perguruan Tinggi Umum
SOCIAL MAPPING SEBAGAI SOLUSI TATA KELOLA SUMBER DAYA ALAM
Bisnis Digital dan Transformasi Ekonomi
Masyarakat Tontonan dan Risiko Jenis Baru
Penelitian MBKM Mahasiswa Biologi
PEREMPUAN DI SEKTOR PERTAMBANGAN TIMAH (Refleksi atas Peringatan Hari Kartini 21 April 2022)
Kiat-kiat Menjadi “Warga Negara Digital” yang Baik di Bulan Ramadhan
PERANG RUSIA VS UKRAINA, NETIZEN INDONESIA HARUS BIJAKSANA
Kunci Utama Memutus Mata Rantai Korupsi
Pengelolaan Sumber Daya Air yang Berkelanjutan
SI VIS PACEM PARABELLUM, INDONESIA SUDAH SIAP ATAU BELUM?
KONKRETISASI BELA NEGARA SEBAGAI LANGKAH PREVENTIF MENGHADAPI PERANG DUNIA
Memaknai Sikap OPOSISI ORMAWA terhadap Birokrasi Kampus
Timah, Kebimbangan yang Tak akan Usai
Paradigma yang Salah tentang IPK dan Keaktifan Berorganisasi
Hybrid Learning dan Skenario Terbaik
NEGARA HARUS HADIR DALAM PERLINDUNGAN EKOLOGI LINGKUNGAN
Mental, Moral dan Intelektual: Menakar Muatan Visi UBB dalam Perspektif Filsafat Pierre Bourdieu
PEMBELAJARAN TATAP MUKA DAN KESIAPAN
Edukasi Kepemimpinan Milenial versus Disintegrasi
Membangun Kepemimpinan Pendidikan di Bangka Belitung Berbasis 9 Elemen Kewarganegaraan Digital
Menuju Kampus Cerdas, Ini yang Perlu Disiapkan UBB
TI RAJUK SIJUK, DIANTARA KESEMPATAN YANG TERSEDIA
Mengimajinasikan Dunia Setelah Pandemi Usai
ILLEGAL MINING TIMAH (DARI HULU SAMPAI HILIR)
PERTAMBANGAN BERWAWASAN LINGKUNGAN
Inflasi Menerkam Masyarakat Miskin Semakin Terjepit
NETRALITAS DAN INTEGRITAS PENYELENGGARA PEMILU
Siapa Penjarah dan Perampok Timah ???
Menjaga Idealisme dan Kemandirian Pers
POLITIK RAKYAT DAN TANGGUNG JAWAB PEMIMPIN
Penelitian Rumpon Cumi Berhasil di Perairan Tuing, Pulau Bangka
Gratifikasi, Hati-Hatilah Menerima Sesuatu
Perairan Tuing, Benteng Sumberdaya Perikanan Laut di Kabupaten Bangka