UBB Perspective
Universitas Bangka Belitung
Artikel UBB
Universitas Bangka Belitung's Article
25 November 2011 | 08:32:03 WIB
Peran Pemuda Dalam Meniti Demokrasi Pancasila
Ditulis Oleh : Faisal, SH.MH
Kemudian pada fase selanjutnya, semangat nasionalisme ditindaklanjuti dengan komitmen penyatuan identitas kebangsaan, kebahasaan dan tanah air yang satu, sebagaimana disumpah-ikrarkan pemuda pada tahun 1928 melalui Sumpah Pemuda. Dan sampai pada puncaknya, pada tanggal 17 Agustus 1945, identitas ke-Indonesia-an diproklamirkan menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat. Rentetan fase pergerakan kaum muda di masa perjuangan, disatukan oleh komitmen untuk mencapai kemerdekaan, serta terbebas dari penjajahan yang dilakukan oleh kaum kolonial.
Karya pemuda Indonesia tidak cukup sampai di situ, tahun 1966 dengan berbagai kesatuan aksi yang dibentuk pemuda terutama dari golongan mahasiswa kembali menyerukan semangat perubahan. Jargon Tri Tuntutan Rakyat (Tritura) menjadi seruan utama, dengan desakan tersebut pada akhirnya rezim orde lama berganti menjadi orde baru yang kelahirannya turut dibidani oleh pemuda terutama mahasiswa. Berlanjut kemudian, gerakan mahasiswa juga yang meruntuhkan pemerintahan orde baru akibat produk hukum yang dijalankan bersifat konservatif atau ortodoks, atau dengan kata lain politik yang dijalankan bersifat otoriter berbasis birokrasi dan militer.
Perubahan yang dipelopori oleh pemuda tersebut merupakan wujud dari bersatunya pemuda karena memiliki kepentingan yang sama (common interest) yaitu untuk memajukan Indonesia. Kepentingan bersama tersebut akan semakin menjadi kekuatan yang besar jika diusung oleh pemuda yang memiliki komitmen moral yang tangguh dalam menyongsong negara demokrasi pancasila.
Kontribusi pemuda dalam momentum perubahan bangsa tersebut memiliki sisi lain yang paradoks. Fenomena yang terjadi adalah bahwa pemuda hanya sebagai alat mobilisasi politik semata, setelah awal perubahan dimulai maka pemuda pelopor perubahan tersebut seakan menghilang dan tidak memiliki peran dalam mengawal perubahan yang dipeloporinya. Bentuk-bentuk rintangan dan perjuangan pemuda dalam ranah kebangkitan bangsa, tidak dapat dipungkiri tidak lebih merupakan sebuah perjuangan yang hampa dalam perspektif upaya mengisi kemerdekaan. Ada pun pemuda yang turut serta dalam pemerintahan, lebih kepada perwujudan simbol kepemudaan dan cenderung jarang mampu mempertahankan visi dan misi yang sebelumnya diusung, dan yang terjadi tidak lebih dari sebuah regenerasi kepemimpinan bukan proses yang berada pada titik fundamental, yaitu mewujudkan nilai-nilai demokrasi yang sebenar-benarnya.
Perjalanan Meniti Demokrasi
Sejak tahun 1945 hingga kini bangsa Indonesia terus bereksperimen mencari sosok demokrasi yang efektif. Beberapa model demokrasi telah dicoba dan ternyata belum mampu menciptakan stabilitas pemerintahan Negara yang amat diperlukan bangsa. Akibatnya cukup fatal, setelah sekian puluh tahun bereksperimen belum ada tanda-tanda bangsa ini telah menemukan demokrasi yang sepadan dengan fondasi sosok sosial-budaya Nusantara. Eksperimen terakhir dengan demokrasi mayoritas dan sistem pemerintahan presidensial betul-betul membuat bangsa Indonesia semakin sial nasibnya dan sering sekali menimbulkan ketidakstabilan politik nasional. Oleh karenanya, bangsa ini harus segera mengaktualisasikan sistem demokrasi yang sepadan untuk masyarakat majemuk.
Mengapa model demokrasi yang diterapkan pada beberapa periodeisasi masa kepresidenan tidak berhasil menciptakan stabilitas politik-pemerintahan yang diperlukan untuk menyelenggarakan fungsi dan misi negara dengan sebaik-baiknya dalam mencapai tujuan nasional? Hanya satu jawabannya, kecuali pada awal pemerintahan dan selama Orde Baru, bangsa ini telah memilih demokrasi yang salah dan hanya cocok untuk masyarakat homogen yang menerapkan sistem dua partai. Ketika sistem demokrasi mayoritas diterapkan sejak 1949, dalam waktu 4 tahun terjadi 33 kali pergantian Kabinet.
Setelah itu Indonesia bereksperimen dengan demokrasi terpimpin ala Bung Karno, yang mengandalkan koalisi 3 kekuatan politik nasional yang menerapkan idiologi Nasionalis, Agamis, dan Komunis. Nasakom, dalam kosakata Bung Karno, dipandang dapat bekerjasama dalam mencapai tujuan nasional. Koalisi Nasakom yang menjadi landasan demokrasi terpimpin ternyata tak mampu menciptakan stabilitas, sehingga pada 1969 berakhirlah pemerintahan Orde Lama di bawah pimpinan Presiden Soekarno dan naiklah Pemeritahan Orde Baru di bawah Presiden Soeharto.
Untuk menciptakan stabilitas pemerintahan, Pemerintah Orde Baru meluruskan kembali pelaksanaan UUD 1945 dan menerapkan sistem demokrasi permusyawaratan perwakilan. Kedaulatan berada ditangan rakyat dan MPR secara konstitusional ditetapkan sebagai lembaga pelaksana kedaulatan rakyat. MPR terdiri dari DPR yang dipilih secara semi-proposional oleh rakyat ditambah dengan wakil daerah dan utusan-utusan golongan. MPR pada dasarnya adalah pemegang kekuasaan legislatif dan sekaligus kekuasaan eksekutif. Kekuasaan legislatif dilaksanakan oleh DPR yang merupakan bagian dari Majelis, dan kekuasaan eksekutif dilaksanakan oleh Presiden sebagai mandataris dari Majelis. Konsep ini sebenarnya berasal dari sistem Parlementer yang dipandang lebih mampu menciptakan stabilitas politik pada masyarakat majemuk.
Demokrasi Azas Tunggal yang diterapkan oleh Pemerintahan Orde Baru selama 32 tahun ternyata tidak mampu menciptakan stabilitas politik yang diperlukan. Sentralisasi pemerintahan yang terlalu kuat telah menghasilkan konsentrasi kekuasaan pada mandataris MPR sehingga kehidupan demokrasi tersumbat, sistem ekonomi menjadi kolutif, dan terjadi politisasi birokrasi negara. Pada 1998 didorong oleh krisis keuangan yang melanda Asia Tenggara, bergulirlah Gerakan Reformasi yang hampir mayoritas digerakkan oleh kaum muda dan berawal dari kampus ke kampus di berbagai kota, serta kemudian menjadi gelombang besar yang menggulung dan menjatuhkan Pemerintahan Orde Baru.
Sejak 1998 telah terjadi 4 kali pergantian pemerintahan di Indonesia, pemerintahan Presiden B.J. Habibie hanya berlangsung hanya 17 bulan, pemerintahan Presiden Abdurahman Wachid hanya bertahan 22 bulan, dan pemerintahan Gotong Royong di bawah Presiden Megawati Soekarno Putri, hanya bertahan selama 28 bulan. Instabilitas pemerintahan terjadi karena program demokratisasi yang dilakukan sejak masa pemerintahan Presiden B.J. Habibie telah menghasilkan dewan perwakilan multipartai tanpa ada partai yang dominan.
Pemerintahan dibawah pimpinan Presiden SBY dan Wapres JK adalah yang pertama menerapkan sistem pemerintahan presidensial dengan demokrasi mayoritas. Akibatnya terjadi mismatch antara masyarakat plural dengan sistem demokrasi dan sistem pemerintahan Negara. Kondisi bangsa dan Negara semakin parah karena budaya politik para elit nasional dan daerah bukannya membangun kerjasama untuk mencari solusi atas masalah-masalah mendasar bangsa dan Negara. Para elit partai bahkan cenderung kontradiktif yang menyebabkan terjadinya perpecahan dalam partai.
Kombinasi budaya kontradiktif yang dianut para elit politik dan masyarakat majemuk telah melahirkan demokrasi sentrifugal yang saling akan menyebabkan Indonesia terpecah-pecah baik karena tarikan kekuatan global mau pun karena kekuatan etno-nasionalisme. Pendek cerita, model demokrasi mayoritas yang diterapkan dalam masyarakat majemuk yang memiliki sistem politik multi-partai yang dibentuk karena kemajemukan agama, etnisitas, daerah, dan idiologi politik, tidak akan mampu menciptakan stabilitas politik yang justru sangat diperlukan oleh bangsa.
Internalisasi Demokrasi Pancasila
Sejatinya demokrasi yang secara resmi mengkristal di dalam UUD 1945 dan yang saat ini berlaku di Indonesia dapat disebut sebagai Demokrasi Pancasila. Meskipun sebenarnya dasar-dasar konstitusional bagi demokrasi di Indonesia sebagaimana yang berlaku sekarang ini sudah dan berlaku jauh sebelum tahun 1965, tetapi istilah demokrasi pancasila itu baru dipopulerkan sesudah lahirnya Orde Baru. Dalam perjalanannya demokrasi pancasila pada orde baru memiliki kencenderungan watak otoriter, sehingga nilai-nilai demokrasi pancasila tidak dapat terlembaga secara konsolidatif.
Secara historis lahirnya demokrasi pancasila ialah bentuk ketidakpercayaan terhadap "Demokrasi Terpimpin" pada era orde lama. Soekarno mencetuskan demokrasi terpimpin sebagai usaha pemusatan kekuasaan berada di tangannya. Gagasan demokrasi terpimpin pada prinsipnya mengenal mekanisme "musyawarah untuk mufakat" yang apabila jika kata mufakat tidak dicapai maka persoalannya akan diserahkan sepenuhnya kepada pemimpin untuk mengambil kebijaksanaan. Sedangkan konsep demokrasi pancasila juga mengutamakan musyawarah untuk mufakat, tetapi pemimpin tidak diberi hak untuk mengambil keputusan sendiri, maka jalan voting (pemungutan suara) menjadi pilihan.
Demokrasi pancasila tidaklah hanya dipahami dalam hal teknis prosedural seperti itu saja, secara subtansial demokrasi pancasila mengandung arti kedaulatan rakyat yang mana dijiwai dan diintegrasikan dengan sila-sila lainnya. Hal ini berarti bahwa dalam menggunakan hak-hak demokrasi haruslah selalu disertai dengan rasa tanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa menurut keyakinan agama masing-masing, haruslah menjujung tinggi nilai-nilai kemanusiaan sesuai dengan martabat dan harkat manusia, haruslah menjamin dan mempersatukan bangsa, serta harus dimanfaatkan untuk mewujudkan keadilan sosial.
Demokrasi pancasila memiliki etika diskursus yang bertolak dari keyakinan jati diri bangsa, yaitu asas gotong-royong yang berdiri tegak dalam dimensi kemajemukan. Dengan demikian demokrasi pancasila merupakan konsensus moral bangsa yang tak dapat ditawar lagi, akan tetapi merupakan keharusan dalam mengamalkannya. Jika elite partai politik dan elite pemerintahan amnesia atau rabun terhadap nilai demokrasi pancasila, justru disinilah peran pemuda agar lebih responsif dapat mendorong prinsip-prinsip demokrasi pancasila agar terinternalisasi dalam kehidupan bernegara dan berbangsa.
Mengawal demokrasi pancasila tentu bukan hal yang mudah, akan tetapi memahami demokrasi pancasila yang berpusat pada ideologi bangsa ini (pancasila) sudah barang tentu bukan hal sulit. Oleh karena, demokrasi pancasila memiliki landasan prinsip-prinsip ketuhanan, kemanusiaan, dan persatuan, serta keadilan sosial menjadi tujuan akhir dari perjalanan demokrasi bangsa.
Diperlukan kepeloporan dari generasi muda untuk selalu merawat demokrasi melalui ideologi bangsa yaitu Pancasila. Sehingga demokrasi bangsa ini tidak terkesan hanya menjadi teks-teks normatif tanpa makna, dan harapan kita bersama mewujudkan demokrasi subtantif yang berkeadilan sosial serta mensejahterakan rakyat. Semoga.!!!!!!
Ditulis Oleh : Faisal, SH.MH.
Dosen Fakultas Hukum UBB
UBB Perspectives
FAKTOR POLA ASUH DALAM TUMBUH KEMBANG ANAK
MEMANFAATKAN POTENSI NUKLIR THORIUM DI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG : PELUANG DAN DAMPAK LINGKUNGAN
Pengaruh Sifat Fisika, Kimia Tambang Timah Terhadap Tingkat Kesuburan Tanah di Bangka Belitung
Akuntan dan Jurnalis: Berkolaborasi Dalam Optimalisasi Transparan dan Pertanggungjawaban
Sustainable Tourism Wisata Danau Pading Untuk Generasi Z dan Alpa
Perlunya Revitalisasi Budaya Lokal Nganggung di Bangka Belitung
Semangat PANDAWARA Group: Dari Sungai Kotor hingga Eksis di Media Sosial
Pengaruh Pembangunan Produksi Nuklir pada Wilayah Beriklim Panas
Pendidikan dan Literasi: Mulailah Merubah Dunia Dari Tindakan Sederhana
Mengapa APK Perguruan Tinggi di Babel Rendah ?
Dekonstruksi Cara Pikir Oposisi Biner: Mengapa Perlu?
PENINGKATAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK DENGAN ASAS GOOD GOVERNANCE
UMP Bangka Belitung Naik, Payung Hukum Kesejahteraan Pekerja atau Fatamorgana Belaka?
Peran Generasi Z di Pemilu 2024
Pemilu Serentak 2024 : Ajang Selebrasi Demokrasi Calon Insan Berdasi
Menelusuri Krisis Literasi Paradigma dan Problematik di Bumi Bangka Belitung
Jasa Sewa Pacar: Betulkah Menjadi sebuah Solusi?
Peran Sosial dan Politis Dukun Kampong
Mahasiswa dan Masalah Kesehatan Mental
Analogue Switch-off era baru Industri pertelevisian Indonesia
Di Era Society 50 Mahasiswa Perlu Kompetensi SUYAK
HUT ke-77 Kemerdekaan Republik Indonesia, sudah merdekakah kita?
Pemblokiran PSE, Pembatasan Kebebasan Berinternet?
Pentingnya Pemahaman Moderasi Beragama Pada Mahasiswa di Perguruan Tinggi Umum
SOCIAL MAPPING SEBAGAI SOLUSI TATA KELOLA SUMBER DAYA ALAM
Bisnis Digital dan Transformasi Ekonomi
Masyarakat Tontonan dan Risiko Jenis Baru
Penelitian MBKM Mahasiswa Biologi
PEREMPUAN DI SEKTOR PERTAMBANGAN TIMAH (Refleksi atas Peringatan Hari Kartini 21 April 2022)
Kiat-kiat Menjadi “Warga Negara Digital” yang Baik di Bulan Ramadhan
PERANG RUSIA VS UKRAINA, NETIZEN INDONESIA HARUS BIJAKSANA
Kunci Utama Memutus Mata Rantai Korupsi
Pengelolaan Sumber Daya Air yang Berkelanjutan
SI VIS PACEM PARABELLUM, INDONESIA SUDAH SIAP ATAU BELUM?
KONKRETISASI BELA NEGARA SEBAGAI LANGKAH PREVENTIF MENGHADAPI PERANG DUNIA
Memaknai Sikap OPOSISI ORMAWA terhadap Birokrasi Kampus
Timah, Kebimbangan yang Tak akan Usai
Paradigma yang Salah tentang IPK dan Keaktifan Berorganisasi
Hybrid Learning dan Skenario Terbaik
NEGARA HARUS HADIR DALAM PERLINDUNGAN EKOLOGI LINGKUNGAN
Mental, Moral dan Intelektual: Menakar Muatan Visi UBB dalam Perspektif Filsafat Pierre Bourdieu
PEMBELAJARAN TATAP MUKA DAN KESIAPAN
Edukasi Kepemimpinan Milenial versus Disintegrasi
Membangun Kepemimpinan Pendidikan di Bangka Belitung Berbasis 9 Elemen Kewarganegaraan Digital
Menuju Kampus Cerdas, Ini yang Perlu Disiapkan UBB
TI RAJUK SIJUK, DIANTARA KESEMPATAN YANG TERSEDIA
Mengimajinasikan Dunia Setelah Pandemi Usai
ILLEGAL MINING TIMAH (DARI HULU SAMPAI HILIR)
PERTAMBANGAN BERWAWASAN LINGKUNGAN
Inflasi Menerkam Masyarakat Miskin Semakin Terjepit
NETRALITAS DAN INTEGRITAS PENYELENGGARA PEMILU
Siapa Penjarah dan Perampok Timah ???
Menjaga Idealisme dan Kemandirian Pers
POLITIK RAKYAT DAN TANGGUNG JAWAB PEMIMPIN
Penelitian Rumpon Cumi Berhasil di Perairan Tuing, Pulau Bangka
Gratifikasi, Hati-Hatilah Menerima Sesuatu
Perairan Tuing, Benteng Sumberdaya Perikanan Laut di Kabupaten Bangka