UBB Perspective
Universitas Bangka Belitung
Artikel UBB
Universitas Bangka Belitung's Article
03 Januari 2012 | 16:27:00 WIB
Lorong Gelap Penegakan Korupsi
Ditulis Oleh : Faisal
Dengan begitu masalah pokok bangsa ini adalah perilaku koruptif yang sudah sistemik. Tentu beban berada di pundak hukum untuk keluar dari perilaku koruptif. Harapan bangsa akan menuai hasil bila hukum mampu mereformasi dirinya. Tidak dapat berharap banyak kepada hukum yang lahir dari sentuhan kekuasaan yang korup. Walaupun kita mesti memberikan apresiasi terhadap reformasi yang mampu melahirkan mesin pembasmi korupsi yaitu KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), tapi reformasi juga memiliki anomali (penyimpangan) terhadap subtansi hukum yang tak pro terhadap komitmen pemberantasan korupsi. Sebut saja, lahirnya Undang-Undang No 32 Tahun 2004 yang telah dirubah dengan Undang-Undang No 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah (Pemda) menjadi lorong gelap dalam upaya pemberantasan korupsi.
UU Pemda khusus pada Pasal 36, merupakan celah untuk mengisolasi kekuasaan dari sentuhan hukum. Bagamaina tidak, dengan hadirnya Pasal 36 tersebut membuat kepala daerah/wakil kepala daerah mendapat perlakuan khusus ketika ia terduga melakukan tindak pidana korupsi. Sebab untuk dimulainya proses penyelidikan dan penyidikan kasus korupsi wajib mendapat izin atau persetujuan dari Presiden.
Ijin Presiden akan sangat mengganggu agenda pemberantasan korupsi. Secara norma, ketentuan dalam Pasal 36 UU Pemda tersebut memiliki prosedur izin yang berlapis. Akibatnya, proses penegakan hukum yang seharusnya dilaksanakan dengan cepat dan sederhana sulit terwujud. Pendapat tersebut pernah terlontar ketika pihak Litbang Kejaksaan Agung meminta penulis untuk menjadi responden dalam kegiatan penelitian terkait Pasal 36 tersebut. Pihak kejaksaan merasa dihambat dalam melakukan pemberantasan korupsi dengan adanya prosedur izin ke Presiden ketika ada pihak kepala daerah/wakil kepala daerah terindikasi melakukan korupsi. Itulah yang penulis sebut tadi bahwa hukum belum sepenuhnya mereformasi dirinya dalam mempersiapkan melawan kekuasaan yang korup.
Pasal 36 Menerobos Asas
Sejatinya asas dapat menjadi kaidah penuntun dalam mengoperasikan hukum. Terkadang asas juga dijadikan sebagai kerangka pikir dalam mereformulasi norma hukum dalam setiap undang-undang. Jika, cara kita berhukum selalu menempatkan asas sebagai asesoris semata, maka hukum mesti keluar dari orientasi awalnya. Karena asas, merupakan pondasi yang membuat hukum menjadi kokoh sekalipun ada perbaikan pada bagian-bagian lainnya.
Keberadan Pasal 36 dalam UU Pemda seakan bocah yang berjalan tanpa ada yang menuntun. Alhasil, bocah itu binggung, tak jarang menjerit tanpa dapat dimengerti apa maunya. Tentu dalam hal ini, asas equality before the law (persamaan di depan hukum) dan asas contante justitie (peradilan cepat, sederhana dan biaya murah) dapat menjadi penuntun untuk mengoreksi keberadaan Pasal 36.
Koreksi dan kritik pada Pasal 36 yang mengharuskan izin berlapis ketika kepala daerah/wakil kepala daerah melakukan korupsi justru tidak sejalan dengan prinsip bahwa semua orang memiliki pengakuan serta persamaan di muka hukum (asas equality before the law). Bagaimana bisa pengakuan serta persamaan dapat terwujud bila Pasal 36 menjadi tembok yang begitu kokoh, justru akan melahirkan ketidaksamaan dihadapan hukum.
Kemudian keberadaan Pasal 36 berpotensi mengganggu harapan upaya efektivitas peradilan yang cepat (asas contante justitie). Sebagaimana dalam praktiknya, terkadang izin yang dimintakan tidak pernah ada jawabannya. Sehingga, penanganan perkara menjadi tidak jelas dan terkatung-katung penyelesaiannya. Artinya, harapan publik degan proses peradilan cepat terhadap perkara korupsi sulit dapat terwujud ketika Pasal 36 masih dipertahankan. Lebih parah lagi, ketentuan Pasal 36 sangat berpotensi disalahgunakan. Salah satunya disebabkan tidak adanya mekanisme kontrol terhadap proses perizinannya. Hal itu merupakan bentuk nyata lorong gelap dalam penegakan korupsi.
Jalan Keadilan di Mahkamah Konstitusi
Semoga Mahkamah Konstitusi (MK) dapat menjadi rumah keadilan bagi komitmen pemberantasan korupsi. Penggiat anti korupsi tidak diam melihat kenyataan ini. Mereka Teten Masduki (TI), Zainal Arifin Mochtar (Pukat UGM), Danang Widoyoko (ICW) dan Saldi Isra (Guru Besar Andalas) melakukan judicial review terhadap Pasal 36 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Upaya tersebut mendapat dukungan oleh Kejaksaan Agung, dikarenakan Pasal 36 mempersempit upaya kejaksaan dalam mengungkap kejahatan korupsi, walaupun Pasal 36 itu tidak berlaku untuk KPK.
Sebagaimana dalam criminal justice system penegakan hukum tak bisa dilakukan dengan pendekatan sektoral, diperlukan upaya integratif dalam rangka memperkuat sistem penegakan kejahatan korupsi. Bila MK berani membatalkan Pasal 36, hal ini menunjukkan MK sedang mengajarkan bahwa menegakkan hukum tidak keluar dari kaidah penuntun, yaitu konstitusi dan asas. Terlebih lagi MK mesti memperhatikan penegakan hukum yang tidak terkesan compang-camping, misal kewenangan yang berbeda antara polisi-jaksa dan KPK dalam penangan kasus korupsi. Sementara UU Tipikor berkata korupsi sebagai extra ordinary crime (kejatahan luar biasa). Dimana letak keluarbiasaan kasus korupsi bila ia menghadang terwujudnya asas equality before the law dan asas contante justitie. Semoga MK benar-benar menjadi jalan keadilan bagi agenda reformasi hukum di bidang penegakan korupsi.
Opini Babel Pos, Selasa (3/1)
Penulis : Faisal
Dosen FH UBB dan PW Pemuda Muhammadiyah
UBB Perspectives
FAKTOR POLA ASUH DALAM TUMBUH KEMBANG ANAK
MEMANFAATKAN POTENSI NUKLIR THORIUM DI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG : PELUANG DAN DAMPAK LINGKUNGAN
Pengaruh Sifat Fisika, Kimia Tambang Timah Terhadap Tingkat Kesuburan Tanah di Bangka Belitung
Akuntan dan Jurnalis: Berkolaborasi Dalam Optimalisasi Transparan dan Pertanggungjawaban
Sustainable Tourism Wisata Danau Pading Untuk Generasi Z dan Alpa
Perlunya Revitalisasi Budaya Lokal Nganggung di Bangka Belitung
Semangat PANDAWARA Group: Dari Sungai Kotor hingga Eksis di Media Sosial
Pengaruh Pembangunan Produksi Nuklir pada Wilayah Beriklim Panas
Pendidikan dan Literasi: Mulailah Merubah Dunia Dari Tindakan Sederhana
Mengapa APK Perguruan Tinggi di Babel Rendah ?
Dekonstruksi Cara Pikir Oposisi Biner: Mengapa Perlu?
PENINGKATAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK DENGAN ASAS GOOD GOVERNANCE
UMP Bangka Belitung Naik, Payung Hukum Kesejahteraan Pekerja atau Fatamorgana Belaka?
Peran Generasi Z di Pemilu 2024
Pemilu Serentak 2024 : Ajang Selebrasi Demokrasi Calon Insan Berdasi
Menelusuri Krisis Literasi Paradigma dan Problematik di Bumi Bangka Belitung
Jasa Sewa Pacar: Betulkah Menjadi sebuah Solusi?
Peran Sosial dan Politis Dukun Kampong
Mahasiswa dan Masalah Kesehatan Mental
Analogue Switch-off era baru Industri pertelevisian Indonesia
Di Era Society 50 Mahasiswa Perlu Kompetensi SUYAK
HUT ke-77 Kemerdekaan Republik Indonesia, sudah merdekakah kita?
Pemblokiran PSE, Pembatasan Kebebasan Berinternet?
Pentingnya Pemahaman Moderasi Beragama Pada Mahasiswa di Perguruan Tinggi Umum
SOCIAL MAPPING SEBAGAI SOLUSI TATA KELOLA SUMBER DAYA ALAM
Bisnis Digital dan Transformasi Ekonomi
Masyarakat Tontonan dan Risiko Jenis Baru
Penelitian MBKM Mahasiswa Biologi
PEREMPUAN DI SEKTOR PERTAMBANGAN TIMAH (Refleksi atas Peringatan Hari Kartini 21 April 2022)
Kiat-kiat Menjadi “Warga Negara Digital” yang Baik di Bulan Ramadhan
PERANG RUSIA VS UKRAINA, NETIZEN INDONESIA HARUS BIJAKSANA
Kunci Utama Memutus Mata Rantai Korupsi
Pengelolaan Sumber Daya Air yang Berkelanjutan
SI VIS PACEM PARABELLUM, INDONESIA SUDAH SIAP ATAU BELUM?
KONKRETISASI BELA NEGARA SEBAGAI LANGKAH PREVENTIF MENGHADAPI PERANG DUNIA
Memaknai Sikap OPOSISI ORMAWA terhadap Birokrasi Kampus
Timah, Kebimbangan yang Tak akan Usai
Paradigma yang Salah tentang IPK dan Keaktifan Berorganisasi
Hybrid Learning dan Skenario Terbaik
NEGARA HARUS HADIR DALAM PERLINDUNGAN EKOLOGI LINGKUNGAN
Mental, Moral dan Intelektual: Menakar Muatan Visi UBB dalam Perspektif Filsafat Pierre Bourdieu
PEMBELAJARAN TATAP MUKA DAN KESIAPAN
Edukasi Kepemimpinan Milenial versus Disintegrasi
Membangun Kepemimpinan Pendidikan di Bangka Belitung Berbasis 9 Elemen Kewarganegaraan Digital
Menuju Kampus Cerdas, Ini yang Perlu Disiapkan UBB
TI RAJUK SIJUK, DIANTARA KESEMPATAN YANG TERSEDIA
Mengimajinasikan Dunia Setelah Pandemi Usai
ILLEGAL MINING TIMAH (DARI HULU SAMPAI HILIR)
PERTAMBANGAN BERWAWASAN LINGKUNGAN
Inflasi Menerkam Masyarakat Miskin Semakin Terjepit
NETRALITAS DAN INTEGRITAS PENYELENGGARA PEMILU
Siapa Penjarah dan Perampok Timah ???
Menjaga Idealisme dan Kemandirian Pers
POLITIK RAKYAT DAN TANGGUNG JAWAB PEMIMPIN
Penelitian Rumpon Cumi Berhasil di Perairan Tuing, Pulau Bangka
Gratifikasi, Hati-Hatilah Menerima Sesuatu
Perairan Tuing, Benteng Sumberdaya Perikanan Laut di Kabupaten Bangka