UBB Perspective
Universitas Bangka Belitung
Artikel UBB
Universitas Bangka Belitung's Article
24 April 2012 | 21:59:45 WIB
Saatnya Mencontoh Sumber Energi Alternatif Brazil
Ditulis Oleh : Ardiansyah Kurniawan
Indonesia bukan negara kaya minyak
Beberapa hari ini kita sering membicarakan pendapat-pendapat Wakil Menteri ESDM Widjajono Partowidagdo yang meninggal saat pendakian gunung tambora. Salah satunya adalah saat Widjajono Partowidagdo mengingatkan masyarakat Indonesia tentang persepsi keliru bahwa Indonesia merupakan negara kaya minyak. Sebenarnya Indonesia bukan negara yang kaya minyak. Pernyataan Widjajono Partowidagdo ini sesuai dengan data energi nasional 2010, cadangan minyak Indonesia terbukti 3,7 milyar barel atau 0,3% cadangan minyak terbukti dunia (finance.detik.com). Angka ini jauh di bawah negara penghasil minyak dunia untuk cadangan minyak dan perbandingan dengan cadangan minyak dunia yang dikutip dari economy.okezone.com berdasarkan data dari Energy Information Administration dan CIA World Factbook yaitu Arab Saudi (262,6 milyar barel atau 17,85%), Venezuela (211,2 miliar barel, atau 14,35%), Kanada (175,2 miliar barel atau 11,91 %), Iran ( 137 miliar barel, atau 9,31 %), Irak (115 miliar barel, atau 7,82 %), Kuwait (104 miliar barel, atau 7,07%), Uni Emirat Arab (97,8 miliar barel, atau 6,65%), Rusia (60 miliar barel, atau 4,08%), Libia (44,3 miliar barel, atau 3,15%), Nigeria (37,2 miliar barel, atau 2,53%), Kazakhstan (30 miliar barel, atau 2,04%), Qatar (25,38 miliar barel, atau 1,72%), Amerika Serikat (20,68 miliar barel, atau 1,41%), China (14,8 miliar barel, atau 1,01 %), dan Brazil (12,86 miliar barel, atau 0,87%).
Brazil yang memiliki cadangan minyak lebih besar dibandingkan Indonesia hingga hampir 3 kali lipat telah berupaya menekan ketergantungan terhadap sumber energi tidak terbarukan ini. Sejak tahun 1976, pemerintah Brazil telah mewajibkan semua mobil di Brasil harus bisa menggunakan bahan bakar campuran etanol dengan bensin, yang besarannya beragam, mulai dari 10% sampai 22%. Hingga Juli 2007, penggunaan bahan bakar mobil menjadi 25% etanol dan 75% bensin. SPBU di Brasil yang dikelola Petrobras menyediakan 2 tipe bahan bakar yaitu etanol dan bensin.
Bioetanol di Indonesia
Sebenarnya bioetanol juga bukan hal yang baru di Indonesia. Pada akhir Januari 2005, menteri Negara riset dan teknologi Dr. Kumayanto Kadiman memamerkan bahan bakar Gasohol BE-10 yang merupakan bahan bakar bioetanol. Dan bulan Maret lalu, wagub Jawa Barat, Dede Yusuf mempromosikan penggunaan bioetanol sebagai pengganti BBM yang ada selama ini dengan perbandingan 1:1 antara bioetanol dan bensin untuk mobil dinas dan motor trail miliknya. Dalam aplikasi di masyarakat, bioetanol mulai diproduksi oleh Soelaiman Budi di desa Doplang, Karanganyar dari bahan singkong dan dapat digunakan sebagai bahan bakar motor. Penggunaan bioetanol ini dapat menekan ketergantungan terhadap harga BBM yang terus melambung dimana ketika harga minyak mentah US$69,81/barel, harga bensin tanpa subsidi Rp 6.500,-/liter dan bioetanol Rp 5.600,-/liter (asumsi 1US$1 = Rp10.000).
Bioetanol dapat diolah dari berbagai jenis tanaman berpati (ubikayu, jagung, sorgum biji, sagu), tanaman bergula (tebu, sorgum manis, bit) serta serat (jerami, tahi gergaji, ampas tebu). Brazil mengandalkan produksi tebu sebagai bahan baku bioetanol. Hal ini dimungkinkan dengan geografis negara Brazil yang lebih banyak daratan sehingga memungkinkan penanaman tebu dalam skala besar dilakukan.
Selain tanaman berpati yang ditanam di daratan, terdapat tanaman berpati yang dapat dibudidayakan di lautan yaitu rumput laut. Bioetanol dari rumput laut telah terbukti lebih murah biaya dan menguntungkan dibanding dari tebu dan kayu karena pertumbuhannya lebih cepat sehingga memungkinkan panen sampai enam kali dalam setahun. Apalagi rumput laut tumbuh subur di berbagai lokasi perairan Indonesia. Biaya produksi bioetanol dari rumput laut lebih murah dibanding dari kayu karena rumput laut tidak mengandung lignin sehingga proses pengolahannya tidak direpoti penanganan pendahuluan.
Menurut Dr. Ir. M.Arif Yudiarto M.Eng (Kabid Teknologi etanol dan derivat, Balai Besar Teknologi Pati), tanaman berpati dan bergula memiliki produktifitas rata-rata bioetanol 5.000 liter/ha per- tahun. Jika konsumsi seluruh bensin di Indonesia sebesar 16 juta kilo per-tahun (asumsi kebutuhan bensin sebesar 40% dari total prediksi BBM Indonesia sebesar 40 juta kilo liter) dapat diproduksi dengan budidaya bahan baku seluas 3,2 juta hektar. Maka luas lahan buddiaya bahan baku bioetanol di Indonesia hanya membutuhkan 1,7% dari luas daratan Indonesia atau 0,064% luas lautan Indonesia saja.
Kompetisi bahan baku atau peningkatan kesejahteraan
Memang terjadi pro dan kontra terhadap upaya pengembangan bioetanol sebagai biofuel. Komoditas tebu yang digunakan sebagai bahan baku bioetanol di Brazil lebih banyak digunakan sebagai bahan gula di Indonesia. Selain itu terjadi kekhawatiran adanya persaingan bahan baku makanan dengan bahan baku bio etanol. Produksi bioetanol besar-besaran juga berpotensi menyebabkan penurunana keanekaragaman hayati melalui monokultur bahan baku.
Namun kebutuhan bahan baku dalam jumlah besar memberikan peluang kesejahteraan bagi masyarakat untuk ikut membudidayakan bahan baku bioetanol. Lahan-lahan yang sebelumnya belum termanfaatkan. Terutama pada bahan baku dari rumput laut dimana perairan laut Indonesia yang sedemikian luas, menjadi potensi sumber penghasilan masyarakat Indonesia. Teknik budidaya rumput laut yang mudah dan biaya produksi yang murah serta kemampuan panen hingga 6 kali setiap tahunnya dapat meningkatkan pendapatan masyarakat Indonesia melalui penyediaan bahan baku rumput laut untuk bioetanol.
Komitmen perubahan
Untuk merubah bensin murni menjadi kombinasi dengan bietanol membutuhkan komitmen kuat pemerintah dalam pngembangannya. Subsidi BBM dapat digunakan sebagian untuk pembangunan pabrik-pabrik bioetanol diberbagai daerah mendekati lokasi bahan baku. Selanjutnya dibentuk kluster-kluster pembudidaya rumput laut di berbagai daerah perairan yang sesuai untuk produksi bahan baku bioetanol dari rumput laut. Proses sedemikian memang tidak mudah dan singkat, namun dengan keinginan kuat melepaskan ketergantungan pada bensin yang dapat diartikan ketergantungan pada produk impor serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia melalui lapangan usaha budidaya bahan baku bioetanol dan peningkatan subsidi pendidikan dan kesehatan dari pengurangan subsidi BBM akibat lebih terjangkaunya harga bioetanol.
Alangkah indahnya kehidupan disaat harga barang dan kebutuhan pokok tidak lagi tergantung harga minyak dunia. Kita bisa memilih bahan bakar yang kita inginkan apakah itu bensin atau kombinasi bioetanol dan bensin.
Penulis : Ardiansyah Kurniawan
Dosen FPPB UBB
Website : https://ardiansyah.ubb.ac.id
UBB Perspectives
FAKTOR POLA ASUH DALAM TUMBUH KEMBANG ANAK
MEMANFAATKAN POTENSI NUKLIR THORIUM DI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG : PELUANG DAN DAMPAK LINGKUNGAN
Pengaruh Sifat Fisika, Kimia Tambang Timah Terhadap Tingkat Kesuburan Tanah di Bangka Belitung
Akuntan dan Jurnalis: Berkolaborasi Dalam Optimalisasi Transparan dan Pertanggungjawaban
Sustainable Tourism Wisata Danau Pading Untuk Generasi Z dan Alpa
Perlunya Revitalisasi Budaya Lokal Nganggung di Bangka Belitung
Semangat PANDAWARA Group: Dari Sungai Kotor hingga Eksis di Media Sosial
Pengaruh Pembangunan Produksi Nuklir pada Wilayah Beriklim Panas
Pendidikan dan Literasi: Mulailah Merubah Dunia Dari Tindakan Sederhana
Mengapa APK Perguruan Tinggi di Babel Rendah ?
Dekonstruksi Cara Pikir Oposisi Biner: Mengapa Perlu?
PENINGKATAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK DENGAN ASAS GOOD GOVERNANCE
UMP Bangka Belitung Naik, Payung Hukum Kesejahteraan Pekerja atau Fatamorgana Belaka?
Peran Generasi Z di Pemilu 2024
Pemilu Serentak 2024 : Ajang Selebrasi Demokrasi Calon Insan Berdasi
Menelusuri Krisis Literasi Paradigma dan Problematik di Bumi Bangka Belitung
Jasa Sewa Pacar: Betulkah Menjadi sebuah Solusi?
Peran Sosial dan Politis Dukun Kampong
Mahasiswa dan Masalah Kesehatan Mental
Analogue Switch-off era baru Industri pertelevisian Indonesia
Di Era Society 50 Mahasiswa Perlu Kompetensi SUYAK
HUT ke-77 Kemerdekaan Republik Indonesia, sudah merdekakah kita?
Pemblokiran PSE, Pembatasan Kebebasan Berinternet?
Pentingnya Pemahaman Moderasi Beragama Pada Mahasiswa di Perguruan Tinggi Umum
SOCIAL MAPPING SEBAGAI SOLUSI TATA KELOLA SUMBER DAYA ALAM
Bisnis Digital dan Transformasi Ekonomi
Masyarakat Tontonan dan Risiko Jenis Baru
Penelitian MBKM Mahasiswa Biologi
PEREMPUAN DI SEKTOR PERTAMBANGAN TIMAH (Refleksi atas Peringatan Hari Kartini 21 April 2022)
Kiat-kiat Menjadi “Warga Negara Digital” yang Baik di Bulan Ramadhan
PERANG RUSIA VS UKRAINA, NETIZEN INDONESIA HARUS BIJAKSANA
Kunci Utama Memutus Mata Rantai Korupsi
Pengelolaan Sumber Daya Air yang Berkelanjutan
SI VIS PACEM PARABELLUM, INDONESIA SUDAH SIAP ATAU BELUM?
KONKRETISASI BELA NEGARA SEBAGAI LANGKAH PREVENTIF MENGHADAPI PERANG DUNIA
Memaknai Sikap OPOSISI ORMAWA terhadap Birokrasi Kampus
Timah, Kebimbangan yang Tak akan Usai
Paradigma yang Salah tentang IPK dan Keaktifan Berorganisasi
Hybrid Learning dan Skenario Terbaik
NEGARA HARUS HADIR DALAM PERLINDUNGAN EKOLOGI LINGKUNGAN
Mental, Moral dan Intelektual: Menakar Muatan Visi UBB dalam Perspektif Filsafat Pierre Bourdieu
PEMBELAJARAN TATAP MUKA DAN KESIAPAN
Edukasi Kepemimpinan Milenial versus Disintegrasi
Membangun Kepemimpinan Pendidikan di Bangka Belitung Berbasis 9 Elemen Kewarganegaraan Digital
Menuju Kampus Cerdas, Ini yang Perlu Disiapkan UBB
TI RAJUK SIJUK, DIANTARA KESEMPATAN YANG TERSEDIA
Mengimajinasikan Dunia Setelah Pandemi Usai
ILLEGAL MINING TIMAH (DARI HULU SAMPAI HILIR)
PERTAMBANGAN BERWAWASAN LINGKUNGAN
Inflasi Menerkam Masyarakat Miskin Semakin Terjepit
NETRALITAS DAN INTEGRITAS PENYELENGGARA PEMILU
Siapa Penjarah dan Perampok Timah ???
Menjaga Idealisme dan Kemandirian Pers
POLITIK RAKYAT DAN TANGGUNG JAWAB PEMIMPIN
Penelitian Rumpon Cumi Berhasil di Perairan Tuing, Pulau Bangka
Gratifikasi, Hati-Hatilah Menerima Sesuatu
Perairan Tuing, Benteng Sumberdaya Perikanan Laut di Kabupaten Bangka