UBB Perspective
Universitas Bangka Belitung
Artikel UBB
Universitas Bangka Belitung's Article
06 Januari 2011 | 08:57:42 WIB
Spot-Spot Baru Kerusakan Ekosistem Terumbu Karang Pulau Bangka
Ditulis Oleh : Indra Ambalika Syari, S.Pi
Waktu itu saya tak berminat untuk menghitung jumlah kapal isap yang sedang beroperasi. Kemungkinan jumlahnya lebih dari 20. Lagipula sebagian besar kapal isap beroperasi cukup jauh dari pesisir. Mungkin antara satu sampai tiga mil dari pantai.
Tanggal 16 September 2010, Tim Eksplorasi Terumbu Karang UBB kembali lagi berkesempatan melakukan reef check di daerah ini. Namun bukan di Pulau Pemuja Penganak. Tapi di laut sebelah Pulau Pemuja, Laut Ketap. Laut Ketap dan Laut Penganak dibatasi oleh Pulau Pemuja. Tim berangkat dari perairan penganak menyewa perahu milik nelayan yang bukan digunakan lagi untuk menangkap ikan. Saat melewati Pulau Pemuja, miris melihat kondisi pulau ini. Kapal isap yang dulu masih relative jauh menambang dari pulau kini menambang bersebelahan dengan pulau, bahkan ada beberapa kapal isap yang menambang hanya berjarak puluhan meter. Bayangkan, tak lebih dari 100 meter dari pesisir Pulau Pemuja. Padahal menurut informasi yang saya dapatkan. Peraturan Daerah (perda) Kabupaten Bangka Barat tidak mengizinkan penambangan pada jarak 0 sampai 1 mil laut dari garis pantai. Tapi peraturan ini tak berlaku bagi Pulau Pemuja. Saya tak mengerti, entah seperti apa pengawasan terhadap kerja dari aktivitas penambangan kapal isap oleh PT Timah Tbk dan juga oleh tim pengawas dari pihak pemerintah daerah agar kapal isap beroperasi sesuai dengan jalurnya.
Keistimewaan kapal isap dibandingkan kapal keruk adalah dari segi mobilitas. Pagi hari beroperasi di tengah laut tapi pada malam hari bisa jadi beroperasi di pinggir pantai. Jaminan terhadap lokasi penambangan yang tidak merusak daerah terumbu karang masih jauh panggang dari api. Kenyataan dilapangan menunjukkan bahwa ekosistem vital pesisir Pulau Pemuja luluh lantak dan demikian pun dengan hasil pengukuran di Laut Ketap. Terdapat sekitar tujuh kapal isap beroperasi diperairan tersebut saat kami sedang melakukan reef check. Total jumlah kapal isap di laut ketap dan penganak saya hitung satu per satu dengan mata telanjang, 35 unit.
Pulang dari kegiatan reef check di Laut Ketap, melewati perairan penganak yang keruh dan tampak ada tumpahan solar di laut, saya berpikir "Jika timah di perairan penganak ini tak potensial lagi ditambang, tak mungkin kapal isap-kapal isap ini menganggur. Kemana lagi 35 kapal isap ini akan mencari lokasi baru? Mengerikan!". Sempat juga terpikirkan oleh saya "Darimana dan atas dasar apa diberikannya izin menambang suatu lokasi diserbu oleh 35 kapal isap ini?". Karena kerusakan ekosistem laut akibat penambangan oleh 35 kapal isap akan jauh lebih besar dan parah dibandingkan dengan kerusakan yang diakibatkan oleh dua unit kapal keruk. Apalagi dengan apa yang dapat diperbuat oleh kapal isap yang sebagian besar pekerjanya dari Thailand.
Sedihnya, maaf maksud saya sayangnya, beroperasinya kapal isap diikuti juga oleh beroperasinya ratusan TI Apung disekitar daerah operasi kapal isap. Ini membuat kondisi perairan Bangka semakin luluh lantak. Padahal konsep total mining dengan jaminan reklamasi pasca penambangan belum dipersiapkan. Terkesan seperti ada pembenaran, jika perusahaan boleh menambang, maka masyarakat pun boleh. Kerusakan yang telah diakibatkan oleh TI Apung pun tak jauh berbeda dengan kapal isap. Sedihnya, maaf maksud saya sayangnya, pihak swasta maupun pemerintah daerah terkesan lepas tangan atas tanggung jawab yang telah diakibatkan oleh TI Apung. Padahal, Timah hasil TI Apung dijual kepada pihak swasta dan pemerintah hanya mendapat "sedikit cipratan" untuk PAD.
Hampir setiap daerah yang beroperasi kapal isap secara sporadis, hasil tangkap nelayan di daerah tersebut menurun drastis. Bahkan, Desa Teluk Limau Jebus dan Desa Pesaren Belinyu yang tidak terdapat kapal isap pun mengalami nasib yang tak jauh berbeda. Kedua desa ini hanya mendapat getah dari dampak penambangan lepas pantai di daerah yang tidak jauh dari desa mereka. Berdasarkan hasil reef check yang telah Tim Eksplorasi Terumbu Karang UBB lakukan, kondisi ekosistem terumbu karang di kedua desa ini sangat menyedihkan. Sebagian besarnya tertutup lumpur bahkan tertimbun oleh debu sisa penambangan timah lepas pantai. Kerusakan ekosistem alami peissir ini akhirnya berdampak pada menurunnya stock perikanan yang dibuktikan dengan menurunnya hasil tangkapan nelayan. Ini membuktikan bahwa kerusakan akibat penambangan berdampak hingga bermil-mil jauhnya. Dampaknya, harga ikan di Pulau Bangka menjadi mahal dan daya beli masyarakat terhadap ikan secara tidak langsung semakin menurun.
Pemulihan (recovery) ekosistem terumbu karang yang rusak akibat aktivitas penambangan sangat sulit untuk dilakukan. Ini karena telah terjadi perubahan tipe substrat dan tertutupnya terumbu karang oleh lumpur dan debu. Syarat utama untuk melakuakn rehabilitasi adalah tidak terjadi lagi tekanan ekologis. Ini artinya laut harus steril dari aktivitas penambangan lepas pantai. Berdasarkan hasil penelitian dari tim geologi Pelayaran Kebangsaan Ilmuwan Muda (PKIM) kerjasama antara LIPI dan DIKNAS selama lima hari melakukan penelitian di bagian selatan, timur dan utara pulau Bangka menunjukkan bahwa sediment debu dari aktivitas penambangan lepas pantai terperangkap dikolom perairan pantai. Ini artinya, debu dan lumpur hanya sebagian besar yang terperangkap di pantai tapi terperangkap di kolom perairan. Pasir pantai tetap terlihat putih namun perairannya sangat mudah keruh jika ditempa arus atau gelombang. Hal ini karena persentase lempung dan debu yang jauh meningkat dari sebelumnya.
Bangkapos, 12 November 2010 halaman 4, memberitakan bahwa 19 kapal isap dari penganak berpindah ke perairan tempilang dan mentok kabupaten Bangka barat karena alasan berlindung dari gelombang. Perairan penganak sedang ditempa gelombang musim barat. Tapi dari berita yang ditulis, ternyata kapal isap-kapal isap tersebut tidak hanya berlindung tetapi juga tetap beroperasi dikawasan kapal isap tersebut berlindung. Selain itu, PT Timah Tbk bersama mitra juga telah menyiapkan belasan kapal isap untuk perairan jeliti dan pantai rebo Kecamatan Sungailiat Kabupaten Bangka. Ternyata apa yang saya khawatirkan sudah mulai terjadi. Penganak-penganak baru akan segera menyusul sementara jaminan program reklamasi ekosistem pesisir pasca tambang belum ada. Sungguh menakutkan nasib laut di kampung halamanku.
Untuk Laut Biru yang kami rindu ...
Lihat Halaman Terumbu Karang UBB di : Explorasi Terumbu Karang
Oleh : Indra Ambalika Syari
(Ketua Tim Eksplorasi Terumbu Karang dan Dosen Perikanan UBB)
UBB Perspectives
FAKTOR POLA ASUH DALAM TUMBUH KEMBANG ANAK
MEMANFAATKAN POTENSI NUKLIR THORIUM DI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG : PELUANG DAN DAMPAK LINGKUNGAN
Pengaruh Sifat Fisika, Kimia Tambang Timah Terhadap Tingkat Kesuburan Tanah di Bangka Belitung
Akuntan dan Jurnalis: Berkolaborasi Dalam Optimalisasi Transparan dan Pertanggungjawaban
Sustainable Tourism Wisata Danau Pading Untuk Generasi Z dan Alpa
Perlunya Revitalisasi Budaya Lokal Nganggung di Bangka Belitung
Semangat PANDAWARA Group: Dari Sungai Kotor hingga Eksis di Media Sosial
Pengaruh Pembangunan Produksi Nuklir pada Wilayah Beriklim Panas
Pendidikan dan Literasi: Mulailah Merubah Dunia Dari Tindakan Sederhana
Mengapa APK Perguruan Tinggi di Babel Rendah ?
Dekonstruksi Cara Pikir Oposisi Biner: Mengapa Perlu?
PENINGKATAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK DENGAN ASAS GOOD GOVERNANCE
UMP Bangka Belitung Naik, Payung Hukum Kesejahteraan Pekerja atau Fatamorgana Belaka?
Peran Generasi Z di Pemilu 2024
Pemilu Serentak 2024 : Ajang Selebrasi Demokrasi Calon Insan Berdasi
Menelusuri Krisis Literasi Paradigma dan Problematik di Bumi Bangka Belitung
Jasa Sewa Pacar: Betulkah Menjadi sebuah Solusi?
Peran Sosial dan Politis Dukun Kampong
Mahasiswa dan Masalah Kesehatan Mental
Analogue Switch-off era baru Industri pertelevisian Indonesia
Di Era Society 50 Mahasiswa Perlu Kompetensi SUYAK
HUT ke-77 Kemerdekaan Republik Indonesia, sudah merdekakah kita?
Pemblokiran PSE, Pembatasan Kebebasan Berinternet?
Pentingnya Pemahaman Moderasi Beragama Pada Mahasiswa di Perguruan Tinggi Umum
SOCIAL MAPPING SEBAGAI SOLUSI TATA KELOLA SUMBER DAYA ALAM
Bisnis Digital dan Transformasi Ekonomi
Masyarakat Tontonan dan Risiko Jenis Baru
Penelitian MBKM Mahasiswa Biologi
PEREMPUAN DI SEKTOR PERTAMBANGAN TIMAH (Refleksi atas Peringatan Hari Kartini 21 April 2022)
Kiat-kiat Menjadi “Warga Negara Digital” yang Baik di Bulan Ramadhan
PERANG RUSIA VS UKRAINA, NETIZEN INDONESIA HARUS BIJAKSANA
Kunci Utama Memutus Mata Rantai Korupsi
Pengelolaan Sumber Daya Air yang Berkelanjutan
SI VIS PACEM PARABELLUM, INDONESIA SUDAH SIAP ATAU BELUM?
KONKRETISASI BELA NEGARA SEBAGAI LANGKAH PREVENTIF MENGHADAPI PERANG DUNIA
Memaknai Sikap OPOSISI ORMAWA terhadap Birokrasi Kampus
Timah, Kebimbangan yang Tak akan Usai
Paradigma yang Salah tentang IPK dan Keaktifan Berorganisasi
Hybrid Learning dan Skenario Terbaik
NEGARA HARUS HADIR DALAM PERLINDUNGAN EKOLOGI LINGKUNGAN
Mental, Moral dan Intelektual: Menakar Muatan Visi UBB dalam Perspektif Filsafat Pierre Bourdieu
PEMBELAJARAN TATAP MUKA DAN KESIAPAN
Edukasi Kepemimpinan Milenial versus Disintegrasi
Membangun Kepemimpinan Pendidikan di Bangka Belitung Berbasis 9 Elemen Kewarganegaraan Digital
Menuju Kampus Cerdas, Ini yang Perlu Disiapkan UBB
TI RAJUK SIJUK, DIANTARA KESEMPATAN YANG TERSEDIA
Mengimajinasikan Dunia Setelah Pandemi Usai
ILLEGAL MINING TIMAH (DARI HULU SAMPAI HILIR)
PERTAMBANGAN BERWAWASAN LINGKUNGAN
Inflasi Menerkam Masyarakat Miskin Semakin Terjepit
NETRALITAS DAN INTEGRITAS PENYELENGGARA PEMILU
Siapa Penjarah dan Perampok Timah ???
Menjaga Idealisme dan Kemandirian Pers
POLITIK RAKYAT DAN TANGGUNG JAWAB PEMIMPIN
Penelitian Rumpon Cumi Berhasil di Perairan Tuing, Pulau Bangka
Gratifikasi, Hati-Hatilah Menerima Sesuatu
Perairan Tuing, Benteng Sumberdaya Perikanan Laut di Kabupaten Bangka