UBB Perspective
Universitas Bangka Belitung
Artikel UBB
Universitas Bangka Belitung's Article
19 Januari 2012 | 15:54:30 WIB
Rakyat Berdaulat Tolak Politik Uang
Ditulis Oleh : Faisal, SH., MH.
KPU Terikat Norma Hukum dan Etik
Jika ingatan kita belum berkurang, bahwa prosesi menuju pilkada Babel sudah ternodai dengan politik uang. Setidaknya fakta itu telah saling terkonfirmasi seperti apa yang dilontarkan oleh salah satu bakal calon "Pak Gani" dengan mantan partai pendukungnya. Tanpa ragu-ragu Pak Gani membeberkan kekecewaan itu ke beberapa media lokal, bahwa ia merasa dikhianati bahkan ditipu oleh partai pendukung setelah komitmen politik dibangun. Rasa kecewa Pak Gani tak terbendung dikarenakan telah mengeluarkan mahar politik ke beberapa partai pendukung. Apalagi, keputusan Pak Gani untuk maju mengikuti kontestasi politik di dampingi oleh perwakilan kaum perempuan yaitu Ibu Jamilah (mantan ketua KPU Babel). Alhasil, KPU mengeliminir berkas pencalonan Pak Gani dengan alasan tak cukup syarat.
Aneh tapi nyata, KPU mengambil keputusan kontradiktif untuk tetap melakukan verifikasi berkas Pak Gani, walaupun keputusan akhir KPU bahwa Pak Gani tak bisa ikut kontestasi pilkada. Sulit untuk menerima kenyataan itu dengan logika yang waras, mengapa KPU begitu berani melakukan verifikasi sementara Pak Gani telah mengakui melakukan transaksi politik uang ke beberapa partai pendukungnya. Bagi penulis, bukannya KPU bekerja terikat dengan norma hukum serta norma etik. Secara etik, KPU sudah keliru karena melakukan verifikasi terhadap sesuatu yang sedari awal melalui transaksi politik uang.
Apakah KPU berani untuk membantah dihadapan publik bahwa ia bekerja tidak terikat oleh norma etik. Bukannya asas penyelenggaraan pilkada bukan semata dilakukan dengan cara langsung, akan tetapi secara esensial harus dilalui dengan cara-cara yang demokratis. Apakah politik uang itu bagian dari demokratisasi, justru hal itu akan membuat demokrasi kita menjadi defisit kejujuran.
Sulit untuk tidak mengakui bahwa pilkada Babel setidaknya telah terkena virus demokrasi transaksional. Paling tidak fakta di atas mengingatkan kita untuk menjaga kualitas pilkada Babel tidak sekedar berfikir bagaimana cara untuk menang duduk di kursi kekuasaan. Sebab pikiran seperti itu akan mengarahkan demokrasi ke dalam kubangan politik uang. Kata menang jangan hanya dikalkulasi pada orientasi untuk berkuasa, tapi menang harus dilalui dengan cara-cara anti manipulatif.
Mahalnya ongkos politik yang harus dikeluarkan calon kepala daerah dalam pilkada menyebabkan separuh lebih provinsi di Indonesia, menurut Menteri Dalam Negeri, dipimpin kepala daerah bermasalah. Tidak main-main: satu tersangka setiap pekan (Kompas, 18 Januari 2011). Hal ini menunjukkan bahwa pilkada yang mahal dan apalagi melalui politik uang akan berpotensi melahirkan pemimpin daerah yang korup.
Sejatinya, pesta demokrasi lokal yang menjadi ajang saluran kedaulatan rakyat daerah tercemar oleh gurita tradisi politik uang. Para kontestan dituntut menghalalkan segala cara demi memenangi kontestasi lokal. Tak ayal, rakyat disuguhi calon-calon yang memiliki modal besar dan pencari rente ketika terpilih. Watak manipulatif kontestan pilkada tak jarang di sokong oleh korporasi yang berjiwa kapitalistik. Menyuguhkan sumbangan haram atas nama dukungan politik dengan kompensasi ketika kandidatnya terpilih dapat menjadi mitra strategis dalam memenuhi hasrat kapitalnya.
Kegamangan sistem politik seperti itu tidak sepenuhnya kesalahan mesti dialamatkan oleh aktor politik yang gemar mengunakan cara-cara manipulatif dalam setiap momentum pilkada. Karena negara pun dapat menjadi faktor penentu dalam memperlemah kapasitas pilkada yang berdaulat. Francis Fukuyama dalam bukunya "memperkuat negara, dalam tata dunia Abad 21" mengatakan suatu negara yang kuat ditandai oleh kemampuannya menjamin bahwa hukum dan kebijakan politik yang dilahirkannya mesti menjamin kapasitas kedaulatan rakyatnya.
Rakyat secara terus menerus ingin berdaulat ditengah-tengah sistem demokrasi yang serba langsung ini, akan tetapi sistem hukum pilkada sangat memberikan celah terjadinya politik uang sehingga ongkos demokrasi menjadi mahal. Sebut saja, hal yang paling konkrit tidak ada pembatasan penggunaan dana kampanye serta nir-regulasi terhadap transparansi sumber pendanaan politik.
Komitmen Keberpihakan
Kedaulatan rakyat merupakan pilihan ideologi politik bangsa ini. Secara konstitusional komitmen keberpihakan itu ditunjukkan rakyat sebagai sosok yang berdaulat dalam menunjuk tangan kekuasaan yang mewakilinya. Konsesus politik itu secara eksplisit disebutkan bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat dan dijalankan sepenuhnya menurut undang-undang. Kehendak rakyat termanifestasi pada mekanisme distribusi kekuasaan kepada pihak yang mewakilinya. Dari hal itu menujukkan ada yang sedang "berdaulat/rakyat dan "didaulat/pemerintah".
Kita harus berani mengatakan bahwa konstitusi telah mengukuhkan bahwa rakyatlah penguasa sebenar-benarnya dan pemerintah sebagai pelayan dari kehendak/aspirasi rakyat. Dalam konteks pilkada Babel, rakyat dihadapkan pilihan politik untuk memilih pelayan terbaik dalam memenuhi kepentingan konstitusionalnya. Jika rakyat dapat berfikir kritis, ia pasti akan memilih figur atau visi kandidat yang memiliki komitmen keberpihakan terhadap konsep kedaulatan rakyat. Bila hal itu terwujud, sosok pelayan terpilih pasti dapat menginventarisasi kepentingan konstitusional rakyat Babel dalam taraf lokal maupun nasional.
Rakyat Babel pun dapat melawan watak manipulatif politik uang, dan kata menang hanya dimiliki kandidat yang jujur, berani, serta peduli dengan nasib rakyat dan lingkungan. Spekulasi politik para elite dan pengamat menjadi buyar karena kata menang hanya bersandarkan pada faktor koalisi partai, atau modal kampanye yang besar. Semua tergantung dari rakyat, apakah ia mau menggunakan hak kedaulatan yang dijamin konstitusi tanpa di pengaruhi oleh politik uang, jika tidak demikian, jangan berharap kita dapat melalui pilkada Babel yang bersih dan jujur.
Di akhir tulisan ini, penulis mengajak rakyat Babel mengawal proses pilkada yang memiliki kapasitas dan kualitas kedaulatan rakyat. Jangan mudah tertipu dengan calon pemimpin demagog, yaitu sosok calon pemimpin pandai menebar janji, setelah terpilih justru menebar duri penderitaan. Pilkada Babel kedepan adalah kesempatan emas rakyat Babel untuk menentukan pelayan terbaik. Karena mungkin saja ini kesempatan terakhir untuk memilih Gubernur secara langsung, sebab jika tidak ada halangan yang berarti Gubernur akan dipilih dan ditetapkan oleh DPRD Provinsi tentu setelah pemerintah pusat mengesahkan RUU Pemilukada sebagai dasar hukum yang baru. Semoga pilkada Babel memiliki pemilih yang benar-benar berdaulat, anti politik uang dan hanya memilih pelayan rakyat yang terbaik. Ayo tolak politik uang!!!!
Opini Babel Pos 17/01/20121>
Penulis : Faisal
Dosen FH UBB dan PW Pemuda Muhammadiyah
UBB Perspectives
FAKTOR POLA ASUH DALAM TUMBUH KEMBANG ANAK
MEMANFAATKAN POTENSI NUKLIR THORIUM DI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG : PELUANG DAN DAMPAK LINGKUNGAN
Pengaruh Sifat Fisika, Kimia Tambang Timah Terhadap Tingkat Kesuburan Tanah di Bangka Belitung
Akuntan dan Jurnalis: Berkolaborasi Dalam Optimalisasi Transparan dan Pertanggungjawaban
Sustainable Tourism Wisata Danau Pading Untuk Generasi Z dan Alpa
Perlunya Revitalisasi Budaya Lokal Nganggung di Bangka Belitung
Semangat PANDAWARA Group: Dari Sungai Kotor hingga Eksis di Media Sosial
Pengaruh Pembangunan Produksi Nuklir pada Wilayah Beriklim Panas
Pendidikan dan Literasi: Mulailah Merubah Dunia Dari Tindakan Sederhana
Mengapa APK Perguruan Tinggi di Babel Rendah ?
Dekonstruksi Cara Pikir Oposisi Biner: Mengapa Perlu?
PENINGKATAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK DENGAN ASAS GOOD GOVERNANCE
UMP Bangka Belitung Naik, Payung Hukum Kesejahteraan Pekerja atau Fatamorgana Belaka?
Peran Generasi Z di Pemilu 2024
Pemilu Serentak 2024 : Ajang Selebrasi Demokrasi Calon Insan Berdasi
Menelusuri Krisis Literasi Paradigma dan Problematik di Bumi Bangka Belitung
Jasa Sewa Pacar: Betulkah Menjadi sebuah Solusi?
Peran Sosial dan Politis Dukun Kampong
Mahasiswa dan Masalah Kesehatan Mental
Analogue Switch-off era baru Industri pertelevisian Indonesia
Di Era Society 50 Mahasiswa Perlu Kompetensi SUYAK
HUT ke-77 Kemerdekaan Republik Indonesia, sudah merdekakah kita?
Pemblokiran PSE, Pembatasan Kebebasan Berinternet?
Pentingnya Pemahaman Moderasi Beragama Pada Mahasiswa di Perguruan Tinggi Umum
SOCIAL MAPPING SEBAGAI SOLUSI TATA KELOLA SUMBER DAYA ALAM
Bisnis Digital dan Transformasi Ekonomi
Masyarakat Tontonan dan Risiko Jenis Baru
Penelitian MBKM Mahasiswa Biologi
PEREMPUAN DI SEKTOR PERTAMBANGAN TIMAH (Refleksi atas Peringatan Hari Kartini 21 April 2022)
Kiat-kiat Menjadi “Warga Negara Digital” yang Baik di Bulan Ramadhan
PERANG RUSIA VS UKRAINA, NETIZEN INDONESIA HARUS BIJAKSANA
Kunci Utama Memutus Mata Rantai Korupsi
Pengelolaan Sumber Daya Air yang Berkelanjutan
SI VIS PACEM PARABELLUM, INDONESIA SUDAH SIAP ATAU BELUM?
KONKRETISASI BELA NEGARA SEBAGAI LANGKAH PREVENTIF MENGHADAPI PERANG DUNIA
Memaknai Sikap OPOSISI ORMAWA terhadap Birokrasi Kampus
Timah, Kebimbangan yang Tak akan Usai
Paradigma yang Salah tentang IPK dan Keaktifan Berorganisasi
Hybrid Learning dan Skenario Terbaik
NEGARA HARUS HADIR DALAM PERLINDUNGAN EKOLOGI LINGKUNGAN
Mental, Moral dan Intelektual: Menakar Muatan Visi UBB dalam Perspektif Filsafat Pierre Bourdieu
PEMBELAJARAN TATAP MUKA DAN KESIAPAN
Edukasi Kepemimpinan Milenial versus Disintegrasi
Membangun Kepemimpinan Pendidikan di Bangka Belitung Berbasis 9 Elemen Kewarganegaraan Digital
Menuju Kampus Cerdas, Ini yang Perlu Disiapkan UBB
TI RAJUK SIJUK, DIANTARA KESEMPATAN YANG TERSEDIA
Mengimajinasikan Dunia Setelah Pandemi Usai
ILLEGAL MINING TIMAH (DARI HULU SAMPAI HILIR)
PERTAMBANGAN BERWAWASAN LINGKUNGAN
Inflasi Menerkam Masyarakat Miskin Semakin Terjepit
NETRALITAS DAN INTEGRITAS PENYELENGGARA PEMILU
Siapa Penjarah dan Perampok Timah ???
Menjaga Idealisme dan Kemandirian Pers
POLITIK RAKYAT DAN TANGGUNG JAWAB PEMIMPIN
Penelitian Rumpon Cumi Berhasil di Perairan Tuing, Pulau Bangka
Gratifikasi, Hati-Hatilah Menerima Sesuatu
Perairan Tuing, Benteng Sumberdaya Perikanan Laut di Kabupaten Bangka